Ide Anak Agung Gde Ngurah Asti
Secara keseluruhan Oka Krebek memiliki 12 orang anak dari lain ibu, seperti yang disebutkan dalam Babad Puri Kauhan Ubud. Dari istrinya yang bernama Anak Agung Ayu Gebrog, masih merupakan kerabat dari Puri Pegambangan Batubulan, Oka Krebek memiliki seorang anak laki-laki bernama Anak Agung Gde Rai Gelgel.
Dari istrinya yang bernama Desak Nyoman Ganda dari Puri Angkling, dia memiliki dua orang anak perempuan, yakni Anak Agung Ayu Raka Pugelan dan Anak Agung Ayu Oka Wati. Anak Agung Ayu Oka Wati yang menikah dengan Tjokorde Oka melahirkan seorang anak bernama Tjokorde Raka Soekawati yang kemudian dikenal sebagai penemu teknik jalan layang bebas hambatan Sosrobahu.
Dari istrinya yang bernama Anak Agung Ayu Pelidit dari Puri Batan Bunut Klungkung, Oka Krebek mendapatkan seorang anak laki-laki bernama Anak Agung Gde Anom Asta. Dari istrinya yang bernama Jero Nyoman Sarasija, dia mendapat seorang anak bernama Anak Agung Ayu Rai Kartika, Anak Agung Ayu Oka Juwita, dan Anak Agung Gde Raka. Jadi Oka Krebek memiliki empat orang anak laki-laki, yakni Anak Agung Ngurah Asti, Anak Agung Gde Rai Gelgel, Anak Agung Gde Anom Asta, dan Anak Agung Gde Raka.
Kisah Anak Agung Gde Ngurah Asti disinggung dalam tulisan MacRae yang mengambil inspirasi dari otobiografi Tjokorde Gde Agung Soekawati saat dia menceritakan pengalaman kakak sulungnya, Tjokorde Gde Raka Soekawati duduk di sekolah dasar. Kakaknya itu masuk di sekolah dasar milik pemerintah kolonial Belanda di Gianyar, namun guru-gurunya dari Bali dan Jawa. Di sekolah itu juga ada Anak Agung Ngurah Asti, putra dari Oka Krebek yang ditugasi mengurus harta kekayaan ayahnya. Ketika sudah menyelesaikan studinya, mereka mengalami kesulitan untuk melanjutkan studi ke sekolah pamong praja yang dikelola oleh Belanda di Jawa. Tjokorde Gde Raka Soekawati dan Anak Agung Ngurah Asti kemudian melanjutkan studi ke Probolinggo Jawa Timur, seperti terungkap dalam kutipan di bawah ini,
“All my brothers went to the primary school
in Gianyar run by the Dutch but with teachers
from Bali and Java. They did very well in school.
Also in the school was Anak Agung Ngurah Asti, the son of Anak Agung Oka Krebek, who took care of my fathers property. When they finished school they jad difficulty trying to continue their study in the Rulers School Ofleidings School runs by the Dutch in Java.
My olders brother Tj Raka and Anak Agung Ngurah went to school in Probolinggo East Java.”[1]
Jadi, sudah jelas sekali disebutkan Oka Krebek memiliki seorang anak bernama Anak Agung Ngurah Asti, selanjutnya disebut Ngurah Asti bersekolah ke Probolinggo.
MacRae lalu menyebut, anak itu (Ngurah Asti) kemudian tumbuh menjadi sedahan sekaligus juru tulis puri. Dia bertugas menjaga catatan ekstensif, dan jurnal dari segala sesuatu yang terjadi di Ubud. Logika berpikir seperti itu terungkap dalam catatan kaki bukunya sebagai berikut,
“……The Jaksa referred to is not the original Brahmana who became a pedanda but apperas to be Anak Agung Oka Krebek whose portofolio, according to his grandson included this along with several other funtions.”[2]
Jadi, MacRae sebenarnya sudah menduga bahwa jaksa tersebut bukan seorang brahmana asli yang nantinya bisa menjadi pedanda, melainkan Anak Agung Oka Krebek.
Dari fakta di atas saja, diperoleh informasi bahwa pada tahun 1911 Oka Krebek sudah memiliki tiga orang anak. Sekarang tinggal mengetahui usia anak sulungnya saat itu. Anak sulungnya itu sempat disinggung oleh Van Kol saat bercerita mengenai anaknya Tjokorde Gde Soekawati yang kemungkinan besar merupakan calon penggantinya sebagai Punggawa Ubud. Dia seorang anak muda yang menarik perhatian. Dia dididik di sekolah pamong praja di Probolinggo. Kemampuannya dalam berbahasa Belanda cukup baik, sehingga menyenangkan para gurunya. Di sana pula dia bekerja. Anak Jaksa itu juga bersekolah di Probolinggo. Van Kol pun bertanya pada Oka Krebek,
“Om dokter-djawa te worden?” Vroeg ik.
“Neen, ik dien den vader, mijn zoon zal dienen den toekomstigen Tjokorde, zijn zoon.
(Apakah sekolah dokter-jawa?” tanya saya.
“Tidak, tidak saya adalah abdi Punggawa Ubud, anak saya akan melayani anak dari Tjokorde Gde Sukawati)
Hal itu juga terungkap dalam dialog dengan Agung Aji Raka, ketika dia membicarakan pandangan ayahnya terhadap sekolah modern. Ketika pemerintah Hindia Belanda memberikan kesempatan kepada orang-orang Bali bersekolah ke Jawa untuk dididik menjadi pamong praja, dia menyertakan putra sulungnya sebagai salah satu pesertanya,
“Kapan pengiriman anak-anak ke sekolah Jawa itu terjadi?
Ya, tahun 10 kan sudah mulai.
Berarti sebelum kunjungan Gubernur Jenderal Belanda yang pertama ke Bali, tahun 1918.
Barangkali. Kalau kakak saya kira-kira lebih awal ya.
dulu kan opleiding school namanya. Opleiding school itu kan sekolah latihan. Semacam sekolah kejuruan jadinya.
Bagaimana dengan Tjokorde Gde Raka Soekawati?
Itu sudah lain, belakangan dia, sekarang Mosvia.
Tjokorde Peliatan (almarhum)
sekolah juga Mosvia itu. Belakangan itu.
Orang yang diceritakan di atas adalah Anak Agung Gde Ngurah Asti, selanjutnya disebut Ngurah Asti, putra sulung dari Oka Krebek. Fakta menarik yang disampaikan oleh Agung Aji Raka dalam dialog itu, bahwa Ngurah Asti merupakan seniornya Tjokorde Gde Raka Soekawati dan Tjokorde Peliatan di sekolah Probolinggo. Jika mengacu pada pernyataan Van Kol, bahwa pada tahun 1911 Tjokorde Gde Raka Soekawati masih bersekolah, berarti sebagai seniornya Ngurah Asti, sedang berada di kelas 3 atau mungkin sudah lulus Opleiding School. Namun kemungkinan itu sangat kecil, sebab arah dialog Van Kol dengan Oka Krebek menunjukkan Ngurah Asti masih bersekolah, hanya saja Kol tidak mengetahui secara jelas bidang ilmu yang digelutinya.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, anak-anak para bangsawan Ubud itu sudah tentu lulusan Holladsch Inlandsch Scholl (HIS), sebab hanya sekolah dasar model ini yang mengijinkan para lulusannya melanjutkan ke sekolah menengah pertama. Sekolah ini hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan pejabat pemerintahan lokal dengan penghasilan yang sudah jelas. Lama studinya mencapai 7 tahun.[3]Akan tetapi seperti dilaporkan oleh Kaaden, kontrolir Gianyar, tidak ada HIS atau lembaga pendidikan tinggi di Gianyar. Sekolah pribumi klas-2 juga tidak tersedia di Gianyar. Tidak ada juga lembaga pendidikan swasta di Gianyar. [4]Jika demikian adanya, lalu di mana Ngurah Asti bersekolah sebelum melanjutkan studi ke Probolinggo? Bisa jadi sepenuhnya di Probolinggo.
Jelasnya sekarang hanya bisa sedikit dipastikan, anak-anak di zaman itu biasanya mulai bersekolah ketika usianya sudah menginjak 9 tahun, yang ditandai dengan kemampuan menyentuh telinga kanan memakai tangan kiri dan sebaliknya. Itu berarti Ngurah Asti mulai masuk ke sekolah menengah saat usianya mencapai 16 tahun. Jika di tahun 1911 itu dia sudah kelas duduk kelas I berarti usianya sudah 17 tahun. Analisis spekulatif itu harus dijauhi, karena sebuah angka tahun yang tercantum dalam babad Puri Kauhan akan dapat menguraikan persoalan ini lebih jelas lagi,
Yen mungwing Ide Anak Agung Gde Ngurah Asti polih masekolah HIS mekadi Kopliding School ring Probolinggo ring Jawi. Suwen ipun roras tahun Belanda. Sebudal itu saking sekolahan polih ngiring pekayunan Gupermen tigang tahun, dados Laisen Lantenar Enam sasih, dados mantri polisi ring Bondalem ring Singaraja enem sasih, Dados sedan-agung ring Jembrana a tahun, malih pindah dados sedan-agung ring Singaraja a tahun, raris newata ring Buleleng, duk cara Belanda tanggal ping selikur (21) bulan pitu siusangaatus telulikur (1923).
Jadi, setelah lulus opleiding scholl, Ngurah Asti sempat berkarir selama enam tahun, sebelum meninggal pada tanggal 21 Juli 1923. Pada tahun yang 1923, dua orang anggota keluarga Puri Kauhan meninggal dunia. Mereka adalah Anak Agung Gde Raka Togog yang pernah bertugas sebagai punggawa di Kapal. Satu lagi, Agung Ngurah Asti yang merupakan putra sulung Oka Krebek.
Itu berarti dia lulus dari sekolah tersebut tahun 1917. Mengingat dialog antara Van Kol dengan Oka Krebek terjadi pada tahun 1911, enam tahun sebelumnya, maka dapat dikatakan ketika itu Ngurah Asti masih duduk di bangku kelas 6 HIS, dan usianya baru 15 tahun. Jika demikian adanya, berarti dia lahir tahun 1896. Atas dasar itu mudah ditebak, ayahnya, Oka Krebek sudah menikah di tahun 1895. Kalau saat itu dia berusia 20 tahun, maka Oka Krebek lahir tahun 1875.
Demikianlah, pintu sejarah ini ditutup untuk sementara waktu, suatu saat nanti bisa saja dibuka kembali, karena masih banyak yang perlu diceritakan tentang keluarga ini, terutama pengalaman hidup Oka Krebek sampai akhir hayatnya di tahun 1956.
Selain itu, masih perlu dibicarakan kisah hidup anak-anaknya. Anak Agung Gde Rai Gelgel merupakan seorang undagi yang serba bisa, Anak Agung Gde Anom Asta pernah menjadi Prayoda di zaman Belanda dan Kapolres Klungkung di jaman Republik. Sedangkan Anak Agung Gde Raka adalah putera terkecil Ide Anak Agung Gde Oka Krebek, sekarang masih berdiam di Puri Kauhan Ubud.
[1] “Autobiographi Tjokorde Gde Agung Sukawati Ubu 1910-1978 as dictted to Rosemary Hilbery” (Orinally published as Reminiscences of a Balinese Prines Southeast Asian Paper No. 14 Southeast Asian Studies Univesty of Hawai 1979), p. 2.
[2] MacRae, loc. cit.
[3] Cf. “Autobiographi Tjokorde Gde Agung Sukawati Ubu 1910-1978 as dictted to Rosemary Hilbery” (Orinally published as Reminiscences of a Balinese Prines Southeast Asian Paper No. 14 Southeast Asian Studies Univesty of Hawai 1979), p. 2. Lihat kembali Bab 1.
[4] W.F. van der Kaaden, Controleur van Gianjar, “Nota van Toelichtingen betreffende het in te stellen Zelfbesturen Landschap Gianyar,” 15 Februari 1938 (dokumen koleksi Gedong Kirtya Singaraja), p. 48.