Grya Mangasrami

 

Keberadaan Puri tidak terlepas dari Grya sebagai Purohita atau bhagawanta. Demikianpula dengan Puri Kauhan Ubud tidak bisa dilepaskan dengan Grya Mangasrami, atau sering disebut Grya Mengwi. Dari nama Grya terlihat jelas Grya Mangasrami memiliki keterkaitan dengan  Kerajaan Mengwi.

 

Laporan politik controleur JP Van Eerde, tanggal 13 Desember 1896 mencatat pada tahun 1892, dua orang bangsawan yang sangat berpengaruh di kerajaan Mengwi, yaitu  Anak Agung Kerug dan Anak Agung Pekel melarikan dari Mengwi dan meminta suaka di Ubud, mengikuti pelarian putra mahkota Kerajaan Mengwi yang bernama Anak Agung Gde Agung.

 

Dalam laporan itu juga disebutkan pelarian itu membawa tidak kurang 6000 pengiring setia. Para pengiring setia ini menempati daerah-daerah perbatasan Ubud, dan membangun pemukiman dari utara ke selatan sepanjang sungai Ayung. Para Ksatrya Mengwi kemudian ditempatkan di Puri Kelodan yang khusus dibangun pada tahun 1892. Selain Puri, juga didirikan Grya khusus bagi Pedanda dan brahmana dari Kerajaan Mengwi yang ikut mengungsi ke Ubud. Grya tersebut diberi nama Grya Pemaron atau Grya Mangasrami.

 

Dalam laporan J.H Liefrinck disebutkan bahwa selain membangun Griya Mangasrami, Tjokorde Gde Soekawati juga memerintahkan membangun Puri Anyar. Para Undagi dibagi menjadi tiga kelompok: satu kelompok undagi yang berasal dari Sedang, Mambal dan Bongkasa menggarap Puri Kelodan. Kelompok undagi kedua berasal dari Taman, Jungut dan Peliatan, mempunyai tugas membangun Grya Mangasrami. Dan kelompok undagi ketiga yang berasal dari Sayan, Bunutan dan Tegallalang dan Carangsari bertugas membangun Puri Anyar. Pada Bulan Mei tahun 1897 seperti yang dicatat oleh Agung Rempe, berlangsung upacara besar di Puri Ubud, Catus Pata, Puri Kelodan, Griya Mangasrami dan Puri Anyar yang dipimpin oleh Pedanda dari Sukawati dan Batuan.

 

Letak Grya Mangasrami hanya beberapa meter saja, ke arah timur Puri Ubud, tepatnya di depan, seberang jalan, Pasar Ubud. Lokasi Grya yang sangat dekat dengan Puri Ubud menunjukkan bahwa peranan Grya Mengwi sangat penting sebagai bhagawanta Puri. Bhagawanta Puri yang utama adalah Ida Pedanda Made Alangkajeng 2, yang ketika masih muda bernama  Ida Bagus Made Kajeng. Ida Pedanda adalah klan Brahmana Mas. Ayah beliau adalah Ida Pedanda Made Alangkajeng I dulunya merupakan purohita, penasehat spiritual Raja Agung di Kerajaan Mengwi.[1]

 

Ida Pedanda Made Alangkajeng 2 memilki dua orang istri. Istrinya yang pertama bernama Ida Pedanda Istri Ketut Mas, yang memberikannya tujuh anak perempuan dan dua orang laki-laki: Ida Bagus Ketut Sidemen dan Ida Bagus Rai, yang tercatat dalam sejarah sebagai dokter pertama di Bali dan pendiri Rumah Sakit Sanglah. Istrinya yang kedua, Si Luh Griya melahirkan seorang anak laki-laki, Ida Bagus Oka, insinyur pertama di Bali.[2]

 

Ida Pedanda Made Alangkajeng 2 dan putra-puranya itu adalah sahabat dekat keluarga besar Puri Kauhan Ubud. Sama dengan bangsawan Puri Kauhan Ubud, dia bisa disebut sebagai intelektual strategis Puri Ubud. Hanya saja bedanya Ida Pendanda Made Alangkajeng lebih mengarah ke intelektual tradisional, sedangkan bangsawan Puri Kauhan, terumata Oka Krebek sebagai intelektual organik.[3] Sama dengan di tempat asalnya, Tjokorde Gde Soekawati meminta Ida pedanda Made Alangkajeng sebagai bhagawanta, penasehat spiritual serta pemuput upacara yadnya  di Puri Ubud.[4]

 

 

[1] Ketika Agung Munggu tampil sebagai penguasa Mengwi dia membawa serta kaum brahmana penting. Salah satunya adalah Ida Pedanda Made Alangkajeng alias Ida Pedanda Made Pemaron. Ia tinggal di Gria Alangkajeng, Banjar Alangkajeng. Lihat, Henk Schulte Nordholt, op. cit., p. 91.

[2] Lihat lebih jauh Ida Bagus Putu Maron, “Silsilah Wangsa Brahmana Mas Turunan Nira Ida Pedanda Made Alangkajeng I Griya Alangkajeng-Mangwi” (manuskrip Duk Alah Mangwi Lawan Badung Kesah Nuju Bhumi Ubud/1813), p. 11.

[3] Intelektual organik adalah intelektual yang kehadirannya terkait dengan struktur produktif dan politik masyarakat, yakni dengan kelompok atau kelas yang mereka wakili. Intelektual organik tampil sebagai “fungsionaris” atau “deputi” kelompok penguasa, yang aktivitas intelektualnya diarahkan untuk memproduksi dan menyebarkan filsafat, teori politik maupun ekonomi, dan sebagainya. Sementara, intelektual tradisional adalah semua orang yang menunjukkan aktivitas keintelektualan. Lihat lebih jauh Antonio Gramsci, Slection From The Prison Notebooks, edited and translated by Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publisher, 1971), p. 5, 9, dan 12

[4] Hasil dialog dengan Ida Bagus Ari Putra, usia 42 tahun, generasi penerus Ida Pedanda Made Alangkajeng 2 di Ubud. Dialog berlangsung tanggal 14 Oktober 2017 di Griya Mangasrami Ubud.