Dalam babad Puri Kauhan Ubud  disebutkan permintaan Raja Mengwi I Gusti Putu Agung kepada I Dewa Agung Sakti adalah raja Klungkung ke-4, yang berkuasa dari tahun 1750-1770. Lalu siapakah Raja Mengwi I Gusti Putu Agung? I Gusti Putu Agung adalah nama babad [alias] dari Raja Mengwi Tjokorda Munggu. Pada masa pemerintahannya raja ini adalah pemain politik yang disegani oleh lawan-lawannya. Salah satu peran politiknya adalah menyelesaikan pertikaian antara pewaris tahta Kerajaan Sukawati; I Dewa Gde Agung dan I Dewa Agung Made. I Gusti Putu Agung berpihak pada I Dewa Agung Made. Ia lalu mencoba mencari jalan keluarnya dengan cara berkirim surat kepada I Dewa Gde Agung di Sukawati agar bersedia memaafkan adiknya. Namun upaya itu gagal.

 

                  Terjadi perang saudara. Selain Mengwi, I Dewa Agung Made dan mendapat dukungan dari Raja Badung I Gusti Jambe Tangkeban, dan kerabat-kerabatnya yang lain, maka Kerajaan Sukawati diserang dari berbagai penjuru. Karena tidak mampu menghadapi serangan lawan-lawannya, maka I Dewa Agung Gede memilih melarikan diri ke Tojan, tinggal di rumah I Gusti Ngurah Jelantik. Kerajaan Sukawati pun jatuh ke tangan laskar Badung di bawah pimpinan I Gusti Monang dari Puri Grenceng [Tjok. Gede Agung, 1985: 58).

 

                  Peristiwa tersebut di atas sezaman [satu dekade] dengan masa penugasan Tjokorda Gde Oka Gelgel sebagai uger-uger saksi, duta Kerajaan Klungkung di Mengwi. Kata kuncinya adalah peristiwa perpecahan I Dewa Agung Gede dengan I Dewa Agung Made di Kerajaan Sukawati berlangsung setelah kematian ayahnya Raja Sukawati II pada tahun 1767, menjelang berakhirnya masa pemerintahan I Dewa Agung Sakti di Klungkung tahun 1770.

 

                  Tampaknya perang keluarga di kerajaan Sukawati terjadi di akhir tahun 1760-an, karena di awal tahun 1770-an sudah muncul Kerajaan Gianyar, sehingga kecil kemungkinan perang antara I Dewa Agung Gede dengan I Dewa Agung Made, tanpa melibatkan Dewa Manggis Api di dalamnya. Lagi pula pada awal 1770-an Mengwi masih berada di bawah kekuasaan Tjokorda Munggu. Karena itu sangat sulit mengabaikan pendapat bahwa Tjokorda Munggu itu adalah juga I Gusti Putu Agung.

 

                  Demi kepentingan politik, I Gusti Putu Agung datang ke Klungkung untuk memohon kepada Raja Klungkung I Dewa Agung Sakti supaya menugaskan salah seorang anaknya menjadi uger-uger saksi [duta] di Mengwi. Raja Klungkung lalu menugaskan salah seorang keponakannya, anak dari adik kandungnya, I Dewa Agung Sakti, bernama Tjokorda Gde Oka Gelgel, namun karena dia sudah dijadikan anak angkat oleh Punggawa Gelgel, Tjokorda Jambe Belatung, yang merupakan cucu dari I Dewa Agung Jambe (raja Klungkung ke-1]. Ayahnya dari Tjokorda Jambe Belatung adalah I Dewa Agung Ketut Agung [satu generasi dengan Raja Klungkung ke-2, I Dewa Agung Made (Tjokorda Raka Putra, 2015: 213)],

 

Tjokorda Jambe Belatung satu generasi dengan Raja Klungkung ke-3, I Dewa Agung Dimadia.  Ia gugur dalam perang melawan Karangasem. Karena tidak memiliki anak [hanya anak angkat], maka I Dewa Gde Agung Jambe digantikan oleh adik kandungnya, Tjokorda Jambe Muter, yang sebelumnya menjabat sebagai uger-uger saksi [duta kerajaan Klungkung] di Mengwi. Tjokorda Jambe Muter digantikan oleh Tjokorda Ngurah Badung, yang satu generasi dengan I Dewa Agung Sakti (Raja Klungkung ke-40) dan I Dewa Agung Panji [Raja Klungkung ke-5].

 

Siapakah Tjokorda Munggu? Seperti ditulis oleh Nordholt setelah Raja Agung Alangkajeng (1722-1940) meninggal, dinasti Mengwi berada dalam posisi yang sangat sulit. Dalam waktu yang relatif lama tidak jelas siapa yang akan naik tahta kerajaan. Raja Agung Alangkajeng memiliki empat orang istri: Gusti Luh Asem (Kaba Kaba), Gusti Ayu Patilik (Tumbakbayuh), putri Gusti Ngurah Tegeh Kori (Badung), dan Gusti Luh Suna. Istrinya yang pertama melahirkan Gusti Ayu Putu. Istri nomor dua melahirkan Gusti Agung Made Agung. Istri nomor tiga melahirkan Ni Gusti Ayu Bongan. Istri yang nomor empat melahirkan Sagung Ketut Bakungan. Dengan demikian yang menjadi putra mahkota adalah Gusti Agung Made Agung (Henk Schulte Nordholt, 2006: 443), namun karena itu dia diasingkan ke Desa Kapal (di Puri Kapal Kaleran).

 

Sebagai akibatnya, pusat kekuasaan menjadi lemah dan hubungan dengan daerah bawahan menimbulkan ketegangan, maka terjadi konflik yang hebat. Mengingat putra mahkota tidak mungkin akan menggantikannya sebagai raja, maka sebelum meninggal dia memberikan kesempatan kepada dua orang keponakannya, Agung Putu Mayun dan Agung Munggu sebagai penggantinya. Keduanya merupakan putra dari Agung Nyoman Alangkajeng (pendiri Puri Munggu) yang merupakan adik kandung dari Agung Alangkajeng. Ibunya bernama Siluh Alangkajeng, yang merupakan istri pertama dari Agung Anom (1690-1722) yang merupakan pendiri Kerajaan Mengwi (Nordholt, 2006: 422).

Agung Nyoman Alangkajeng memiliki tiga orang istri. Istrinya pertama bernama Tjokorda Istri Kaler (Klungkung), namun tidak memiliki keturunan. Istri nomor dua bernama Ni Gusti Ayu Ajeng (Kaba Kaba), melahirkan seorang anak bernama Agung Putu Mayun (1740-1740an). Istri nomor tiga bernama Ni Gusti Ayu Kladian (Kaba Kaba) melahirkan anak Agung Munggu (Henk Schulte Nordholt, 2006: 444).

 

Agung Putu Mayun lalu pindah ke ibukota kerajaan menggantikan pamannya, Agung Alangkajeng sebagai Raja Mengwi. Sama seperti pamannya, dia bertahta di Puri Kaleran Mengwi. Dia memiliki banyak istri orang istri, yakni Gusti Luh Abiantuwung, Agung Putu Mayun, Cokorde Kandel (Sukawati), Gusti Ayun Sayan (Puri Sayan), Gusti Ayu Godong (Puri Sibang), dan Gusti Nyoman Rai (Punggul). Agung Putu Mayun memiliki dua orang anak, yakni Agung Made Raka Gria dan Agung Mayun (1857-1871), namun tidak diketahui yang mana ibunya (Henk Schulte Nordholt, 2006: 445).

 

Ternyata Agung Putu Mayun tidak pernah dinobatkan menjadi Raja Mengwi seperti terlihat dari tidak adanya gelar seremonial Gusti Agung Ngurah Made Agung pada dirinya. Oleh karena itu dia tidak berhasil mengatasi pemberontakan yang terjadi di daerah timur Mengwi. Pemberontakan itu dimotori oleh Puri Singasari dan penguasa Bun. Peristiwa itu terjadi hampir bersamaan dengan ketika dia sedang berusaha mendapatkan pengakuan sebagai pusat kepemimpinan wangsa kerajaan. [1]

 

                  Melalui sebuah insiden, Agung Putu Mayun digantikan oleh adik tirinya raja Mengwi. Sudah sejak lama [semasih berkuasa di Puri Munggu] dengan Dewa Agung Klungkung, raja yang paling dihormati di Bali. Persekutuan Munggu dengan Klungkung diawali dengan pernikahan ayahnya (Agung Nyoman Alangkajeng) dengan putri Kerajaan Klungkung.

 

Persekutuan itu menjadikan Puri Munggu ikut mendapatkan keharuman nama Kerajaan Klungkung. Fakta inilah yang semestinya dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk menyebutkan bahwa kedatangan Mengwi ke Klungkung yang berlanjut pada penugasan Tjokorda Gde Oka Gelgel terjadi ketika Agung Munggu [yang dalam bahasa babad disebut I Gusti Putu Agung] sudah menjadi Raja Mengwi.

 

 

 

 

[1]  Lihat Henk Schulte Nordholt, The Spell of Power, Sejarah Politik Bali 1650-1940 (Denpasar, Pustaka Larasan, 2006), pp. 80-115.