Lalu bagaimana kisahnya sehingga Tjokorda Ketut Rai dan keturunannya sampai bisa tunggal di Ubud? Bermula dari pertikaan politik raja-raja Bali di abad XXI, setelah jatuhnya kerajaan Buleleng di tangan Belanda. Diwali dengan kasus Apuan, salah satu desa di Gianyar yang meminta sula politik kolektif ke Kerajaan Bangli. Supaya kasus Apuan tak terulang lagi, Raja Klungkung memengaruhi para punggawa di wilayah kerajaan Gianyar supaya memberontak kepada Raja Gianyar. Salah seorang dari mereka terbius oleh ajakan itu. Dia adalah Tjokorda Oka Negara, selanjutnya cukup disebut Oka Negara yang merupakan Punggawa Negara, yang terletak di wilayah barat kerajaan Gianyar. Pada tahun 1884 Punggawa ini menyatakan daerahnya lepas dari kekuasaan Kerajaan Gianyar dan sebaliknya mengakui kekuasaan Dewa Agung di Klungkung.[1]
Terjadi perang yang melibatkan Gianyar, Klungkung, dan Bangli. Sebagai akibat dari perang tersebut, kerajaan Gianyar terpecah tiga, yang masing-masing dikuasai oleh Bangli, Klungkung, dan tiga wilayah otonom yang berada di bawah kepunggawaan masing-masing, yakni Peliatan, Ubud, dan Tegalalang (Ida Anak Agung Gde Agung, 1989 : 418)
Tidak satupun laskar Oka Negara mampu mengalahkan laskar Peliatan. I Dewa Ketut Sandat dan Gusti Ngurah Gembrong lari tebirit-birit dari medan laga ketika berhadapan dengan Tjokorda Gde Soekawati yang membawa keris sakti bernama I Campuan. Sedangkan laskar Oka Negara lainnya yang terdiri dari pasukan Ketewel, Negara, dan Sukawati dapat dikalahkan oleh laskar Peliatan-Tegallalang di bawah pimpinan Manca Peliatan Tjokorda Gde Rai.
Kekalahan itu tak membuat Oka Negara menyerah. Ia masih melanjutkan peperangan, padahal pengikutnya hanya tinggal 60 orang saja. Oka Negara akhirnya gugur dalam perang itu. Jenazahnya dibawa oleh putrinya Dewa Ayu Muter ke Puri Mas dan selanjutnya dipulangkan ke Negara (Wayan Dunia, 1984: 110).
Kerajaan Mengwi terlibat di dalam perang tersebut, demikian pula Tjokorda Ketut Rai dan sanak saudaranya. Keterlibatan itu merupakan pilihan politik yang tidak terhindarkan. Mengapa, karena di dalam negerinya sendiri, Mengwi sedang mengalami proses pelemahan. Sedangkan di luar negeri, Agung Kerug harus memilih sebuah alternatif untuk mempertahankan Mengwi, di antara adanya dua blok kekuasaan antara Ubud dan Klungkung. Di antara dua blok itu, Agung Kerug memilih Ubud. Selain melihat kekuatan Tjokorda Gde Soekawati, juga karena memiliki hubungan tali persaudaraan dengan Ubud, melalui Tjokorda Putu Kandel dengan Raja Mengwi terdahulu Tjokorda Made Kandel seperti yang akan dijelaskan pada bagian lain.
Dengan demikian keberpihakan Tjokorda Ketut Rai, pendiri Puri Kauhan Ubud dalam Perang Negara I merupakan bagian dari kepentingan negara, karena mengikuti pilihan politik para pejabat tinggi Kerajaan Mengwi. Lalu bagaimana dengan Perang Negara II?
Setelah gugurnya Oka Negara pada tahun 1890. Punggawa Ubud yang menjadi komando penyelamatan Gianyar ternyata melakukan aksi pembersihan guna mencari manca-manca Gianyar yang masih dikuasai oleh Klungkung. Langkah pertama yang lakukan oleh laskar koalisi Peliatan ini adalah menghancurkan Puri Negara, istana Oka Negara dengan cara membakarnya. Menurut Ide Anak Agung Gde Agung (1989: 420) setelah Tjokorda Oka Negara gugur, istananya tidak dirusak dan bahkan keluarganya masih diizinkan tinggal di dalamnya.
Jenasah Oka Negara yang belum diupacarai sebagaimana mestinya ikut terbakar seiring dengan terbakarnya istana tersebut. I Dewa Ayu Muter, putri Oka Negara bersama suaminya Tjokorda Pelonot melarikan diri ke daerah kerajaan Badung.
Setelah itu pasukan koalisi Peliatan yang dipimpin oleh Tjokorda Gde Soekawati menghancurkan Singapadu dan Batubulan. Keesokan harinya mereka menyerang Blahbatuh yang saat itu masih dikuasai oleh putra Dewa Agung Klungkung Lingsir Nagi. Oleh karena tak berdaya menghadapi gempuran laskar koalisi Peliatan, maka Lingsir Nagi bersama dengan anak istrinya melarikan diri ke daerah asalnya, kerajaan Klungkung (Wayan Dunia, 1984: 116).
Dengan demikian perjuangan punggawa, manca, pejabat, dan kerabat kerajaan Gianyar yang dipimpin oleh Tjokorda Gde Soekawati itu akhirnya berhasil memulihkan kembali kerajaan Gianyar, yang kemudian dipimpin oleh putra Dewa Manggis VII yang bernama Dewa Pahang.
Menurut versi Ide Anak Agung Gde Agung (1989 : 121), setelah Oka Negara gugur dalam perang, putrinya yang bernama Anak Agung Istri Putra (bukan I Dewa Ayu Muter seperti yang disebutkan di atas) akan dinikahkan dengan keponakan Punggawa Peliatan, bernama Tjokorda Saren Kangin. Akan tetapi putri itu mengulur-ulur waktu, sampai akhirnya setahun kemudian, ia dinikahkan dengan keluarga Dewa Agung Klungkung bernama Tjokorda Pelonot. Peristiwa ini menjadi pemicu dari meletuskan perang Negara II.
Pendiri Puri Kauhan Ubud, Tjokorda Ketut Rai semakin mendalam terlibat dalam pusaran permusuhan antarkerajaan di Bali. Demi mengikuti kepentingan negara Mengwi, sekalipun pada diri Tjokorda Ketut Rai mengalir darah Ksatria Dalem Gelgel yang dengan sendirinya merupakan bagian dari keluarga besar Kerajaan Klungkung, namun demi kepentingan Mengwi, Tjokorda Ketut Rai harus berpihak pada Punggawa Ubud.
Selain alasan kenegaraan, sebelum runtuhnya Mengwi tahun 1891, Tjokorda Ketut Rai telah menjalin hubungan baik dengan Tjokorda Gde Soekawati. Ia ikut mensuplai kebutuhan senjata api yang digunakan oleh pasukan Tjokorda Gde Soekawati dalam setiap peperangan. Senjata-senjata tersebut didatangkan oleh Tjokorda Ketut Rai dari Singapura melalui perantara para pedagang China.
Jadi, jelas Tjokorda Ketut Rai mempunyai peran penting dalam meraih dan menjaga kemenangan Tjokorda Gde Soekawati dalam setiap perang yang dia jalani, sebab untuk mendatangkan senjata dari luar negeri tidaklah mudah. Namun tidak demikian halnya bagi para pedagang China yang biasanya selalu punya cara untuk menyelundupkan barang dari luar negeri. Apalagi orang-orang mereka sangat diuntungkan oleh negeri Mengwi yang memiliki sejumlah pelabuhan penting di Bali.
Ketika pelabuhan-pelabuhan di bagian utara sudah dikuasai raja-raja Buleleng dan yang di Blambangan sudah jatuh ke tangan pemerintah kolonial Belanda di tahun 1880-an,[2] kerajaan Mengwi masih memiliki pelabuhan penting di bagian Selatan. Pelabuhan-pelabuhan yang masih tersisa itu memudahkan Mengwi melakukan hubungan dengan para pedagang asing, sehingga memungkinkan mereka membeli senjata api dan mengimpor teknik-teknik militer baru, yang selanjutnya membuat pelaksanaan kekuasaan mereka semakin efektif.[3]
Perang Oka Negara II dimulai ketika sisa-sisa pendukung setia Oka Negara di bawah pimpinan Dewa Ketut Sandat menyerang pasukan Mengwi. Pasukan Mengwi yang diserang oleh pendukung Oka Negara sedang berada di wilayah Negara atas permintaan Tjokorda Gde Soekawati. Tujuan sebenarnya hanya untuk pamer kekuatan saja. Namun justru menjadi pemicu dari pecahnya perang Negara II. Dalam perang itu, pasukan Negara mendapat restu dari Dewa Agung Klungkung. Sementara, tentara koalisi Peliatan, Ubud, dan Tegallalang mendapat dukungan Kerajaan Mengwi.
Bersama dengan sanak familinya, terutama Punggawa Tegallang dan Peliatan, Tjokorda Gde Soekawati berhasil menguasai hampir seluruh daerah Barat Daya Gianyar. Hal ini menjadikan Mengwi berhadapan dengan Ubud sebagai kelompok kekuatan baru di timur yang dihindari untuk dilawan. Seperti sudah dibicarakan pada bagian lain, di bawah kepemimpinan Agung Kerug, Mengwi justru bersekutu dengan Tjokorda Gde Soekawati yang sedang bermusuhan dengan Klungkung. Mengwi pun secara terang-terangan ikut melawan Dewa Agung Klungkung.
Jika Agung Kerug, seorang pejabat tinggi (patih) kerajaan Mengwi saja sudah berkoalisi dengan Tjokorda Gde Sukawati dan Mengwi sebagai sebuah kerajaan sudah secara terang-terangan ikut melawan Dewa Agung Klungkung saat berlangsung Perang Negara, lalu di mana posisi Tjokorda Ketut Rai, apakah dia harus berpihak pada Mengwi atau Klungkung?
Nordholt (2006: 242) mengatakan, persekutuan itu terlihat ketika Agung Kerug berkoalisi dengan Tjokorda Gde Soekawati untuk terlibat dalam Perang Negara II. Mereka melakukan serangan bersama terhadap pengikut Dewa Agung Klungkung yang masih menguasai daerah selatan Gianyar. Pada bulan Juli 1890 dan Januari 1891, berarti enam bulan sebelum runtuhnya Mengwi, sekutu Klungkung memberikan perlawanan. Saat itu mereka masih kuat. Namun pada bulan Mei 1981, sebulan sebelum runtuhnya Mengwi, pasukan koalisi Mengwi dan Ubud kembali melakukan serangan. Kali ini mereka tampil sebagai pemenang. Puri Negara dibakar dan perlawanan Klungkung terpecah.
Tiba-tiba terjadi serangan balik dari pasukan sekutu Klungkung. Dalam suasana kacau dan panik sejumlah laskar Mengwi menyerah dan sebagian besar lainnya terbunuh. Campur tangan Mengwi di Gianyar pun tidak banyak membuahkan hasil. Hasil tak terduga itu mengakibatkan pasukan Mengwi telah mengalami kemunduran drastis. Sementara Tjokorda Gde Soekawati tidak mampu memberikan bantuan secara maksimal kepada Mengwi, karena dia sendiri sedang membutuhkan banyak pasukan untuk mengamankan daerahnya (Notdholt, 2006 : 242).
Pasukan koalisi Peliatan di bawah pimpinan Tjokorda Gde Soekawati akhirnya dapat menghancurkan pasukan Negara. Wilayah Negara, dan daerah bekas taklukannya, kemudian dibagi menjadi daerah kekuasaan Punggawa Peliatan, Punggawa Ubud, dan Punggawa Tegallalang. Karena Tjokorda Gde Soekawati memainkan peranan yang sangat penting, maka kepadanya diberikan bagian yang paling besar.
Tjokorda Ketut Rai dan saudara-saudaranya yang terlibat dalam Perang Negara Negara II, mendapatkan pampasan perang berupa sebuah bale gede, bangunan tanpa dinding, yang seutuhnya merupakan hasil jarahan perang.
Dengan demikian, dari sumber tradisional dan kolonial yang dapat dicari dan ditemukannya Nordholt (242: footnoe nomor 72) menunjukkan ada tiga fakta penting yang dapat dipetik untuk mencari titik temu dan titik silang, yakni: satu, di bawah kepemimpinan Agung Kerug, Mengwi justru bersekutu dengan Tjokorda Gde Soekawati yang sedang bermusuhan dengan Klungkung. Mengwi pun secara terang-terangan ikut melawan Dewa Agung Klungkung. Dua pada bulan Juli 1890 dan Januari 1891, berarti enam bulan sebelum runtuhnya Mengwi, sekutu Klungkung memberikan perlawanan. Tiga, pada bulan Mei 1981, sebulan sebelum runtuhnya Mengwi, pasukan koalisi Mengwi dan Ubud kembali melakukan serangan.
Ada sisa waktu satu bulan, rentang waktu yang relatif pendek untuk sebuah kisah sejarah, namun cukup panjang bagi Tjokorda Ketut Rai sekeluarga untuk ikut pulang menengok anak dan istrinya, yang tidak terlibat dalam Perang Negara II. Alasan historis ini sekaligus mementahkan pendapat yang mengatakan Tjokorda Ketut Rai dan keluarganya sudah ada di Ubud sebelum runtuhnya Mengwi. Ketika perang Mengwi berkecamuk ia memutuskan mengajak keluarga pindah ke Ubud. Apa alasan kepindahan Tjokorda Ketut Rai sekeluarga ke Ubud?
Serangan yang bertubi-tubi yang dilakukan oleh pasukan koalisi badung dan Tabanan [didukung Klungkung] menjadikan kemampuan Mengwi untuk bertahan nyaris musnah. Kebanyakan mekel dan manca menyadari tidak ada gunanya melanjutkan pertempuran. Mereka berbondong-bondong berbalik arah berpihak ke penakluk dan berjanji bersekutu dengan penguasa, sang penakluk (Nordholt, 2006 : 248).
Pada 20 Juni 1891, Mengwi kalah.[4] Tapi sebelum Mengwi runtuh, pasukan Badung menganggap tidak perlu lagi melanjutkan pertempuran, sebab semua keinginannya sudah tercapai. Oleh karena itu dia mengirim utusan ke Mengwi untuk meminta raja supaya menyerah seperti yang pernah terjadi di tahun 1823. Fakta tersebut menunjukkan ada kesempatan bagi Mengwi untuk melakukan sidang besar, guna mengambil keputusan apakah ingin melanjutkan perang atau menyerah?
Di mana posisi Tjokorda Ketut Rai saat itu. Tidak ada yang bisa menjawab, tapi melihat fakta lain yang menyertainya di kemudian hari, terbukti bahwa dia berkompromi dengan Klungkung. Tentunya atas sepengetahuan Klungkung pula, badung dan Tabanan mengibarkan bendara putih, karena bagi Klungkung tujuan perang melawan Mengwi, bukan untuk menghancurkannya, melainkan menguasainya, sebagai pengganti kegagalan menguasai Gianyar. Tjokorda Ketut Rai mengetahui taktik itu, sehingga dia tidak ikut melanjutkan peperangan, memilih berkompromi dengan Klungkung. Di sisi lain, ia juga sudah berjanji kepada Tjokorda Gde Soekawati untuk ikut membangun Ubud, seperti yang terekam dalam memori di Puri Kauhan Ubud.
Rupanya Raja Mengwi bergeming. Dia tidak melakukan apapun. Itu artinya bagi Badung sama dengan perang tetap berlanjut.
Keputusan Tjokorda Ketut Rai berkompromi dengan Klungkung terekam dalam sebuah memori, diperoleh Arybuwana dari salah seorang saudara sepupunya di Mengwi, yang tentunya didasarkan pada memori yang terwariskan di sana.
“Mengapa leluhur kita ke Ubud?” Tanya Arybuwana. “Karena beliau waktu sidang besar dimintai ketegasannya untuk ikut perang, tidak mau, dibandingkan ikut perang disana lebih baik mengingsir,” jawab saudara sepupunya.
Sebelum meninggalkan Mengwi Tjokorda Ketut Rai sempat mengajak saudaranya bersembahyang di altar pemujaan Meru Tumpang tiga di Pura Batan Nyuh. Pura ini dibangun oleh Tjokorda Gde Oka Gelgel sebagai tempat pemujaan kepada kawitan, leluhur. Setelah itu masih sempat menitipkan pura tersebut kepada warga Batan Tubuh yang juga merupakan pemaksan, penanggung jawab dan pelaksana upacaranya. Fakta ini menunjukkan perpindahan Tjokorda Ketut Rai ke Ubud berlangsung dalam situasi tidak ada atau jeda perang.
Bukti dari pernyataan itu dapat dilihat dari gambaran situasi saat Tjokorda Ketut Rai dan menyeberangi sungai Ayung. Saat itu Oka Krebek masih berusia sekitar 15 tahun, karena itu dia masih berpegangan dengan pamannya, Anak Agung Ketut Gelgel. Kakak sepupunya Oka Krebek, Anak Agung Raka Togog berpegangan dengan Tjokoda Ketut Rai, sedangkan ibu tirinya, Sayu Ketut dipegang oleh dua orang abdi laki-laki.
Rencananya setelah tiba di ubud, namun anaknya, Oka Krebek menolak. Lalu mereka menuju ke Puri Saren, tempat tinggal Tjokorda Gde Soekawati dan diajak tinggal di sana selama sebulan. Istana Tjokorda Gde Soekawati masih sangat sederhana saat itu. Bangunannya terbuat dari batang pohon Jarak, yang buahnya bisa diolah jadi minyak lampu. Berarti kondisinya sangat miskin sekali. Informasi ini jauh lebih masuk akal, karena sebelum perang meletus, masih ada peluang bagi Raja Mengwi untuk berdamai dengan musuh-musuhnya, dan peran Klungkung sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Setelah itu, Tjokorda Ketut Rai bersama dengan kakak sepupunya Oka Krebek, Anak Agung Raka Togog dan dua orang pengiringnya pergi ke Klungkung untuk memberitahukan Dewa Agung Klungkung bahwa mereka akan menetap di Ubud. Jika demikian, Oka Krebek dan ibunya dibiarkan tinggal di Ubud. Mengetahui hal itu Dewa Agung Klungkung memberikan izin, asalkan bisa membangun rumah dan merajan. Begitu kembali ke Ubud, mereka diberikan tanah kosong yang sekarang menjadi Puri Kauhan Ubud. Setelah tinggal sekitar setahun, mereka mulai membangun merajan [kuil keluarga], namun tidak sampai selesai. Merajan itu baru dapat diselesaikan sekitar tahun 1918.
Jadi, Tjokorda Ketut Rai tidak dapat menyaksikan secara langsung keruntuhan kerajaan Mengwi. Ketika pasukan Badung semakin mendekat ke istana, para pimpinan Mengwi melakukan pertemuan singkat di Puri Gede ia sudah berada di Ubud. Di tempat ini dia kemudian bertemu lagi dengan para pejabat tinggi kerajaan Mengwi yang dapat meloloskan diri dai medan perang.
Dibawah komando Punggawa Ubud para pelarian tersebut berniat menjalankan aksi untuk merebut kembali negara Mengwi. Mereka lalu bersekutu dengan Raja Karangasem untuk melawan Raja Klungkung (Nordholt, 2006 : 255-256). Anak Agung Gede Agung alias I Gedu putra mahkota Raja Mengwi bahkan sebelumnya sudah mengirim surat kepada Raja Karangasem untuk meminta perlindungan bagi dirinya dan keluarganya.
Sulit dipahami bagaimana respon Tjokorda Ketut Rai ketika gagasan itu dimufakati. Di mana posisinya, apakah ia berpihak pada para petinggi Mengwi itu atau membela Ubud? Nyatanya mereka tetap berada di Ubud, membela kepentingan Tjokorda Gde Soekawati. Karena itu fakta yang menyebutkan bahwa setelah beberapa waktu tinggal di Ubud, Tjokorda Ketut Rai sempat pergi ke Ke Klungkung, sulit dimengerti karena dalam pergaulan para kesatria tidaklah mungkin dalam situasi perang seperti itu, ada pihak yang bersikap mendua, di satu sisi berpihak kawan dan di sisi lain lawan.
________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
[1] Lihat A.A. Ngr. Ag. Wiyathagama, “Pembangkangan Rakyat Desa Apuan Terhadap Kerajaan Gianyar Tahun 1884” (Skripsi, Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar, 1986)
[2] Studi lebih jauh mengenai Blambangan dapat dilihat dalam I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII (Denpasar: Larasan Sejarah, 2001) dan juga dilihat dalam Sri Margana, Ujung Jawa Timur, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan (Yogyakarta: Pustaka Ipada, 2012).
[3] Dikembangkan dari Henk Sechulte Nordholt, op. cit., p. 156.
[4] Nordholt (2006: 248 dalam fn. 80) mengatakan informasi tentang bagian akhir perang Mengwi diperolehnya dari ARA, Mvk V4-4-1892-W4; laporan J.H. Liefrinck 29-6-1891; surat Raja Badung 23-6-1891; Sidemen 1980 : 101-106; Sambungan Babad Mengwi: 10; Babad Mengwi Lambing: 75; wawancara dengan Cokorda Gede Oka, Puri Gede Mengwi; G.Ag. Gede Rai, Puri Kajanan Mengwi; Ida Bagus Suwela, Gria Tohpati, Sukasada, Buleleng, I Putu Suwela Munggu; dan I Putu Jawa.