Posisi Tjokorda Ketut Rai sebagai pendamping, penasehat politik Tjokorda Gde Soekawati, akhirnya digantikan oleh Anak Agung Gded Oka Krebek. Tanggung jawab lebih luas dari yang duku diemban oleh ayahnya. Selain penasehat politik, Oka Krebek juga ditugasi sebagai utusan. Ia pernah diutus ke Kerajaan Karangasem. Mengapa ke Karangsem dan bukan tempat lain? Ini terkait dengan upaya penyelamatan Kerajaan Klungkung agar tidak lagi diserang oleh musuh-musuh, terutama Bang dan Klungkung. Karangasem adalah kerajaan yang disegani, karena dia merupakan perpanjangan tangan dari Kerajaan Karangasem Sasak. Di Lombok.

 

                  Akhirnya arti penting penugasan Oka Krebek sebagai utusan Tjokorda Gde Soewati ke Karangasem terjawab melalui dokumen J.H. Liefrinck, ternyata bukan hanya untuk kepentingan Ubud, tetapi lebih jauh lagi Gianyar pada umumnya dan Bali khususnya di tahun 1893. Ia membawa surat yang dibuat oleh para punggawa Gianyar yang isinya sama persis dengan yang dikirimkan oleh Dewa Ngurah Agung, sehingga semakin mengaburkan siapa sesungguhnya yang berada di balik semua itu.

 

                  Dalam surat itu juga disebutkan agar Kerajaan Gianyar bisa diletakkan di bawah perlindungan Raja Karangasem dan bersedia membantu apabila ada serangan dari Kerajaan Bangli. Dalam surat jawabannya Raja Karangasem menyampaikan pertanyaan kepada Dewa Ngurah Agung terkait dengan kembalinya dia ke Gianyar, apakah tidak ada keberatan dari pihak kerajaan Klungkung? Bagaimana status daerah Banjarangkan? Setelah ada jawaban itu Raja Karangasem akan memberitahukan permohonan Dewa Ngurah Agung kepada raja Lombok.[1]

 

                  Jadi, surat yang dibawa oleh Oka Krebek untuk disampaikan kepada Raja Karangasem, menegaskan bahwa Kerajaan Gianyar ingin meminta perlindungan darinya. Padahal semua itu hanya strategi, taktik, manuver yang mereka gunakan agar Klungkung dan Bangli tidak menyerang Gianyar. Surat tersebut dibuat mirip dengan surat asli yang oleh Raja Gianyar, namun dibuat terkesan anonim, tanpa ruang dan waktu. Raja Karangasem terkecoh.

 

Sampai kemudian pemerintah kolonial Belanda menyetujui dan mengesahkan Akte van verband dan mengukuhkan Dewa Pahang sebagai Raja Gianyar baru. Kerajaan Gianyar pun menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda dan Raja Gianyar memerintah dalam sistem indirect role, tidak langsung. Dalam menjalankan roda pemerintahannya seorang kontrolir yang selalu mengawasinya. Dia memerintah bukan hanya menggunakan hukum dan kebiasaan kerajaan, tetapi juga aturan-aturan dalam kontrak yang dibuat oleh pendahulunya tanggal 25 Juni 1849.

 

Nasehat-nasehat politik yang diberikan oleh Tjokorda Gde Soekawati kepada Raja Dewa Pahang akhirnya menjadi faktor penentu keutuhan wilayah Kerajaan Gianyar seperti terwariskan sekarang dan hanya sebagian kecil saja yang hilang, masih di kuasai oleh Bangli dan Klungkung. Ceritanya bermula ketika Tjokorda Gde Soekawati menikmati hasil karya politiknya setelah berakhirnya perang Negara dan Mengwi.

 

Tjokorda Gde Soekawati tampil menjadi seorang punggawa yang telah mendapatkan kekuasaan dan kekayaan besar, sehingga sampai banyak yang keliru termasuk van Kol, menempatkan Tjokorda Gde Soekawati sebagai seorang raja dan Ubud sebuah kerajaan. Kekeliruan itu bisa dimengerti karena dia telah berhasil mengembangkan wilayah kekuasaannya dari 40 desa menjadi 130 desa. Bersama dengan para sekutunya Tjokorda Gde Soekawati mampu menggerakkan 18 ribu pengikut. Demi dapat megkonsolidasikan semua hasil perjuangannya, dia mencontoh negeri Karangasem, yang telah menjadi negara protektorat pertama di Bali.[2]

 

Tjokorda Gde Soekawati berargumentasi, jika Gianyar bisa juga menjadi negara protektorat, maka pertempuran yang terjadi selama bertahun-tahun melawan musuh-musuhnya dengan sendirinya akan berakhir. Saluran irigasi yang terbengkelai akan dapat dinormalkan kembali. Keinginan itu terpenuhi. Tahun 1890, negara Gianyar pun menjadi negara protektorat kedua di Bali. Orang yang ditetapkan sebagai wali negara adalah salah seorang putra Dewa Manggis VII, yang bernama Dewa Gde Raka. Secara resmi Tjokorda Gde Soekawati mendukung keputusan itu dengan tulus, sekalipun dalam praktiknya dia bertindak sesuai dengan kemauannya sendiri. Bagaimana juga orang yang terpilih sebagai wali negara tersebut adalah raja yang kekuasaannya sangat terbatas, karena itu dia tidak perlu merasa takut jadinya.

 

Tentunya secara interpretatif, Oka Krebek tidak ikut memberikan sumbang pikir munculnya nasehat tersebut?

 

Pada tahun 1903 wali negara tersebut dilantik menjadi raja Gianyar. Upacara pelantikannya, di sisi lain menandai adanya permulaan persaingan antara Kerajaan Gianyar dengan Puri Ubud. Hasil akhir dari persaingan itu akan terlihat nanti pada wacana yang berkembang di hari kematiannya Tjokorda Gde Soekawati seperti yang akan dibicarakan pada bagian lain. Dengan demikian, sebenarnya keinginan Tjokorda Gde Soekawati menjadikan Gianyar sebagai negara protektorat, bukan semata-mata demi dan untuk kemulian kerajaan itu, melainkan juga untuk kepunggawaan Ubud.

 

Dewa Gde Raka dilantik sebagai Raja Gianyar pada tahun 1898 dengan gelar Dewa Manggis VIII. Selanjutnya pada 22 Desember 1896 dilangsungkan penandatanganan kontrak antara Residen Hindia Belanda yang baru, F.A. Liefrinck, yang merupakan kakak kandung J.H. Liefrinck[3] dengan Dewa Gde Raka di Gianyar yang mengakui Dewa Gde Raka sebagai Raja Gianyar. Kontrak tersebut lalu dikukuhkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Carel Herman Aart pada 18 Mei 1897. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Dewa Gde Raka mengalami banyak tantangan. Salah satunya adalah masih terasanya dampak dari krisis politik yang terjadi sejak tahun 1883, terlihat dari meluasnya kemelaratan yang menjangkau sampai ke seluruh wilayah kerajaan Gianyar.

 

Lagipula sikap permusuhan Dewa Agung Klungkung dan Dewa Tangkeban Bangli masih belum terkikis dari hati sanubari mereka yang terdalam. Dewa Agung Klungkung menganggap penggabungan Gianyar dan Klungkung menjadi satu kerajaan pada satu dekade yang lalu masih tetap berlaku. Demikian pula Dewa Tangkeban Bangli belum mau mencabut sikap permusuhannya dengan raja-raja Gianyar, sesuai dengan janji yang diberikan kepada almarhum ayahnya. Dengan adanya kondisi tersebut, maka ketentraman dan keamanan di wilayah kerajaan Gianyar tidak bisa diwujudkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Apalagi terbukti kepribadian Dewa Gde Raka sangat lemah dan sering memperlihatkan sikap ragu-ragu dalam mengambil keputusan.[4]

 

Faktor tersebut di atas tentu ikut mematangkan lahirnya keputusan untuk menjadikan kerajaan Gianyar sebagai negara protektorat. Berubahnya posisi Gianyar dari kerajaan merdeka menjadi negara bawahan pemerintah Hindia Belanda tidak terlepas dari gagasan Tjokorda Gde Soekawati dengan alasan-alasan yang sudah disebutkan di atas. Namun dia bukan hanya aktif di dalam sumbang pikir, tatapi ikut bergerak melalui perundingan dengan Residen di Singaraja.

 

Tjokorda Gde Soekawati tidak datang sendirian, melainkan menyertakan juga Oka Krebek, karena seperti dikatakan oleh Agung Aji Raka berdasarkan cerita ayahnya, saat itu Tjokorda Gde Soekawati masih belum bisa berbahasa Melayu, sedangkan Oka Krebek bukan hanya mampu berbahasa Melayu, tapi juga sering bercakap-acap memakai bahasa China dengan warga keturunan China Mengwi yang kini tinggal di Gianyar. Jadilah Oka Krebek bukan hanya sebagai pengiring perjalanan, tetapi sekaligus juru bahasa Tjokorda Gde Soekawati dalam menjalankan tugasnya sebagai utusan Raja Gianyar. Dia sampai meninggalkan anak sulungnya, Ngurah Asti yang masih balita di rumah bersama istri dan sanak keluarganya yang lain.

 

Peran Tjokorda Gde Soekawati dalam perundingan itu ditulis dengan cukup baik oleh Hanna. Dia menyebutkan pada tahun 1898 Dewa Gde Raka, Raja Gianyar yang baru dilantik mulai berunding dengan Residen Bali Lombok untuk menyerahkan kerajaannya sebagai protektorat. Pemerintah Hindia Belanda pada mulanya ragu-ragu memenuhi permintaan itu, karena takut nantinya akan dapat memancing kemarahan Dewa Agung Klungkung dan para penguasa Bali selatan lainnya. Dewa Gede Raka meminta restu penguasa Karangasem yang mendapat kepercayan bagus dari pemerintah Hindia Belanda. Dia juga mengirimkan punggawanya yang dinilai paling cakap, Tjokorda Gde Soekawati untuk berunding dengan residen secara pribadi di Buleleng.[5]

 

 

Tjokorda Gde Raka Soekawati berdiri di lantai gedong. Di bawah (kanan) Anak Agung Gde Oka Krebek.

 

Kedatangan Tjokorda Gde Soekawati ke Singaraja untuk bertemu dengan Residen di tahun 1898 itu menjadi momen yang begitu penting dalam kelangsungan hidup Gianyar dan Ubud seperti terwariskan sekarang ini. Sebab seperti ditulis oleh Ide Anak Agung Gde Agung, setahun sebelumnya, sejak tahun 1897 Kerajaan Klungkung dan Bangli masih membangun serangan terbuka terhadap Kerajaan Gianyar. Pada tanggal 14 Agustus 1897 pasukan Klungkung dan Bangli menyerang Tampaksiring. Dua hari kemudian pasukan Klungkung dalam jumlah cukup besar menyerang Desa Lebih di pantai selatan kota Gianyar. Namun ada perlawanan dari warga desa ini dan bahkan pasukan Klungkung dapat diusir. Dari pihak Klungkung jatuh korban sebanyak 22 orang, sedangkan yang dari Gianyar hanya 6 orang.[6]

 

Tjokorda Gde Soekawati lalu melakukan aksi pembalasan dengan cara menyerang Desa Banjarangkan dan Kuripan. Kedua desa ini dapat ditaklukkan, namun tidak diduduki. Setelah membakar sejumlah rumah, Tjokorda Gde Soekawati kembali membawa pasukannya ke markas besarnya di Puri Ubud. Selanjutnya, pada Juni 1898 Kerajaan Badung menyerang Gianyar, namun sama seperti yang dialami oleh Klungkung, Tjokorda Gde Soekawati mampu memukul mundur mereka di Abiansemal. Dalam serangan yang kedua, Badung membawa sekitar 1000 orang pasukan, berhasil pula dikalahkan oleh Tjokorda Gde Soekawati di Penarungan. Oka Krebek Ikut serta dalam perang melawan pasukan Badung.

 

                  Menjelang Gianyar menjadi negara protektorat, berkali-laki ada serangan oleh tiga kerajaan yang merupakan musuh-musuhnya dari berbagai arah. Bangli menyerang dari arah utara, menyusup langsung ke ibu kota Gianyar. Klungkung dari arah timur, dan Badung dari arah barat, langsung menuju ke daerah perbatasan dengan Gianyar. Dalam situasi seperti ini, maka Raja Gianyar beserta para petinggi kerajaan dan punggawa mengadakan rapat terbatas untuk mencari jalan keluarnya. [7]

 

Akhirnya mereka sepakat meminta pertolongan kepada Raja Karangasem, Gusti Putu Gde Jelantik. Lalu dikirim tim perutusan ke Karangasem. Namun kedudukan negeri Karangasem sekarang berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Kini Karangasem sudah berada langsung di bawah kontrol pemerintah Hindia Belanda, sehingga tidak lagi punya kuasa mengambil keputusan secara mandiri. Sebelum mengambil keputusan, terlebih dahulu Raja Karangasem harus melapor kepada Residen di Buleleng.

 

                  Kecil sekali kemungkinannya, Oka Krebek tidak ikut serta datang ke Karangasem, hanya saja tidak tercatat dalam babad dan memori turun temurun di Puri Kauhan Ubud.

 

Demi dapat menyelesaikan persoalan tersebut, pada bulan April dan Mei 1898 Residen F.A. Lierinck mengadakan kunjungan ke kerajaan Klungkung, Bangli, dan Karangasem. Tujuannya untuk memberikan sekedar masukan kepada Dewa Agung Klungkung dan Dewa Tangkeban Bangli supaya bisa mengekang diri dan menghentikan permusuhan dengan Kerajaan Gianyar serta dapat menciptakan perdamaian demi terciptanya keamanan dan ketertiban di Bali.

 

Nasehat tersebut tidak digubris. Dewa Agung Klungkung menyatakan dalam statusnya sebagai susuhunan raja-raja Bali dan Lombok punya otoritas sepenuhnya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Selama tidak bersedia mengakui Dewa Agung Klungkung sebagai penguasa tertinggi di Bali, maka kerajaan Gianyar akan selalu mendapatkan serangan dari Kerajaan Klungkung. Sedangkan Bangli punya alasan lain, karena mengingat pada wasiat ayahnya sebelum meninggal untuk selalu memusuhi Gianyar. Sebelumnya, pada tanggal 12 April 1899 Bangli menyerang Desa Mancawarna, dekat Tampaksiring. Dan setelah itu pada tanggal 30 Juni 1899 mereka menyerang Desa Sloli. Namun semua serangan tersebut dapat dipatahkan oleh pasukan Gianyar di bawah pimpinan Tjokorda Gde Soekawati.

 

Jadi sekalipun sudah mendapatkan pengakuan dan pengesahan dari pemerintah Hindia Belanda, namun Kerajaan Gianyar masih tetap dikeroyok oleh musuh-musuhnya. Begitu banyak energi yang harus dikeluarkan oleh Gianyar untuk dapat mengalahkan musuh-musuhnya itu. Jika kondisi itu dibiarkan begitu saja, ada kemungkinan Gianyar akan kehabisan energi dan akhirnya dapat ditaklukan oleh musuh-musuhnya. Kemungkinan itu bisa saja terjadi karena perang yang berlangsung selama bertahun-tahun telah menimbulkan banyak penderitaan pada diri rakyat Gianyar. Akhirnya kembali dilakukan pertemuan para elite kerajaan untuk mencari jalan keluarnya, lalu muncullah kesepakatan untuk menempatkan Gianyar di bawah perlindungan pemerintah Hindia Belanda.

 

Atas usul Raja dan Punggawa Ubud, diputuskan supaya segera mengirim surat kepada Residen Bali dan Lombok di Singaraja untuk memohon agar Kerajaan Gianyar ditempatkan langsung di bawah pemerintah Hindia Belanda, dengan ketentuan semua hasil pungutan pajak hasil bumi yang biasanya diserahkan kepada Dewa Agung Klungkung dialihkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Nasehat itu didengar oleh Raja Gianyar. Apakah Oka Krebek tidak terlibat dalam perancangan nasehat itu, sebab sangat kecil kemungkinannya jika strategi politik seperti itu terlontar secara spontan dari pikiran Tjokorda Gde Soekawati. Namun ada data secuil pun di Puri Kauhan Ubud yang dapat dipakai untuk mendukung asumsi ini.

 

Pada tanggal 8 Januari 1900, Raja Gianyar Dewa Gde Raka mengirim surat kepada Residen Bali dan Lombok di Singaraja. Residen Bali dan Lombok menyerahkan keputusan itu ke Batavia. Setahun kemudian, tanggal 28 Februari 1900 turun telegram dari Gubernur Jenderal yang berisikan pengesahan Dewa Gde Raka sebagai Raja Gianyar bergelar Dewa Manggis VIII sebagai penguasa atau raja yang diangkat dan dilindungi oleh pemerintah Hindia Belanda. Status ini lebih tinggi ketimbang bupati yang diberikan kepada para penguasa kerajaan lainnya, kecuali dengan Karangasem, yang rajanya juga bergelar stedehouder, wali pemerintah. Oleh karena itu pemerintah Hindia Belanda memperluas kontrolnya dari Bali utara ke selatan.[8]

 

                  Pada tanggal 8 Maret 1900 Raja Dewa Gede Raka diangkat sebagai pemegang kuasa, kesempatan ini dirayakan di Puri Gianyar selama delapan hari dengan menyelenggarakan pesta dan hiburan bersama Residen Belanda dan semua punggawa. Tapi apa yang terjadi? Dewa Agung Klungkung segera memprotes karena masih menganggap negeri Gianyar termasuk wilayah Kerajaan Klungkung dan tidak bisa dipisahkan tanpa seijinnya, suatu tuntutan yang dengan mudah mempersatukan Bangli, Badung dan Tabanan. Pemerintah Hindia Belanda menanggapi, status quo yang baru di Gianyar telah diputuskan.

 

                  Jadi, pada tahun 1900 kehadiran pemerintah Hindia Belanda mulai jelas terasa di Bali Selatan, menyerupai hampir setengah abad sebelumnya di Bali Utara. Kontrolir Schwartz yang bersedia membimbing raja, maka Gianyar memasuki fase perubahan yang sama seperti yang terjadi beberapa dekade sebelumnya di Buleleng di bawah pengaruh Kontrolir Bloemen Waanders. Sistem administrasi diatur; pajak dipungut secara lebih efektif dan digunakan lebih bijaksana; jalan, jembatan dan sistem irigasi diperbaiki, pekerjaan umum dibangun, pelayanan kesehatan dan pendidikan diterapkan, sistem peradilan dirombak.

 

                  Seluruh negara mengalami keamanan dan kestabilan yang tak tertandingi sehingga pemerintah Hindia Belanda memujinya sebagai model keberhasilan kolonial dalam pasifikasi dan perkembangan. Model yang dikembangkan di Gianyar ini bukan hanya mengherankan tetangga-tetangganya, namun seperti yang sering ditegaskan oleh pemerintah Hindia Belanda, Gianyar di selatan sama halnya seperti Buleleng pada periode sebelumnya di utara menjadi penampungan bagi para pengungsi dari kekejaman raja-raja lain. Para pengungsi ini termasuk budak yang melarikan diri dan orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan.

 

                  Namun Dewa Agung Klungkung khususnya, tidak bisa menerima kehadiran kontrolir Belanda hanya dalam beberapa kilometer dari Puri Agung Klungkung. Dia bertekad menerapkan kekuasaannya dan segera menasehati Bangli, Badung dan Tabanan untuk berbuat hal yang sama. Dalam kebenciannya terhadap pemerintah Hindia Belanda dia menuduh Gianyar sebagai sasaran perhatiannya. Oleh karena itu dia tidak membiarkannya atau jika tidak, boleh dikatakan Raja Klungkung menghasut para petani tertentu di daerah perbatasan dengan Gianyar untuk bertindak. Para petani itu berusaha menanam batang bambu runcing di lahannya untuk merintangi tugas para peneliti yang sedang berusaha menetapkan garis batas pemilikan tanah.

 

                  Bangli juga melakukan sabotase dengan cara menutup saluran air, sehingga daerah persawahan di Gianyar kekeringan. Raja Gianyar lalu mengadakan rapat dengan melibatkan para pendeta dan punggawa. Oka Krebek hadir dalam rapat tersebut, mendampingi Tjokorda Gde Soekawati dan bahkan ikut menuangkan pendapat mengenai berapa jumlah denda yang seharusnya dibayar oleh Bangli atas tindakannya menutup saluran air.

 

                         Dalam rapat berikutnya, seperti yang dituturkan oleh Agung Aji Raka berdasarkan lontar yang diperoleh di Mambal itu, Oka Krebek mengatakan bahwa denda yang hendak diberikan kepada Bangli itu terlalu kecil. Bangli lalu dikenai denda yang jauh lebih besar, sehingga sampai tidak mampu membayarnya. Sebagai penggantinya mereka sampai menyerahkan 11 desa milik Gianyar yang direbut oleh Bangli di masa perang.

 

                  Lalu apa yang terjadi setelah itu? Sama halnya dengan Karangasem, setelah menjadi negara protektorat, Kerajaan Gianyar terikat pada aturan-aturan kenegaraan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Ubud yang merupakan wilayah kepunggawaan Gianyar dengan sendirinya harus patuh dan disiplin pada aturan tersebut. Salah satunya, pemerintah Hindia Belanda melarang kontak bersenjata dengan sesama negara protektorat dan kerajaan-kerajaan independen di Bali bagian selatan. Oleh karena itu Punggawa Ubud tidak boleh lagi menempatkan diri atau ditempatkan sebagai pelindung oleh para pelarian Mengwi yang ingin merebut kembali negara mereka.

 

                  Sejak itu Oka Krebek tidak mau terlibat lagi dengan segala persoalan yang terkait dengan para penguasa bekas kerajaan Mengwi tersebut. Dia memilih tetap tinggal di Ubud, melayani Tjokorda Gde Soekawati. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kini Tjokorda Gde Soekawati sudah tidak lagi terlibat dalam peperangan. Sebagian besar waktunya dapat dihabiskan untuk menikmati kekayaan dan kemasyuran yang diperolehnya dari perang dan menempatkan dirinya selaku punggawa agung sebagaimana mestinya.

 

                  Demikian pula Oka Krebek, tidak banyak pula yang dilakukannya, menjalankan kegemarannya menyalin dan membaca lontar. [9] Oka Krebek juga menyempatkan diri membenahi pemerajan, dalam arti mengganti tempat pemujaan yang sebelumnya bersifat darurat menjadi lebih permanen, menggunakan bata merah.  Material ini dibuat sendiri, dikerjakan mulai dari mencangkul tanah, membuat adonan, mencetak, menjemur, dan membakarnya, yang dikerjakan sendirian.

 

Sebagian bata merah tersebut juga digunakan untuk membangun rumah seiring dengan adanya penambahan anggota keluarganya. Ngoerah Asti sudah memiliki adik, Anak Agung Ayu Rai Saci. Secara keseluruhan dari istrinya yang pertama, Anak Agung Ayu Samba, yang berasal dari kerabat Puri Negara, Oka Krebek mendapat enam orang anak. Empat yang lainnya adalah Anak Agung Ayu Raka Siti, Anak Agung Ayu Oka Santi, Anak Agung Ayu Ngurah Niti, dan Anak Agung Ayu Rai Susilawati. Puterinya diambil istri Tjokorda Ngurah Saren Kauh. Ikatan Puri Kauhan Ubud dengan Puri Ubud semakin kuat.

________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________

 

[1] “Voor De Resident Bali en Lombok, Afscschrft No. 5 Geheim Bijlangen 13, Boeleleng, 25 Mei 1893, De Controleur (wg) J.H. Liefrinck voor eensluidend Afscschrft De Secretaries van Bali en Lombok” (dokumen koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia), lembar ke- 2.

[2] Bagian ini sampai dengan catatan kaki berikutnya dipetik dari Henk Schulte Nodholt, The Spell of Power, Sejarah Politik Bali 1650-1940 (Denpasar: Pustaka Larasan, 2009), pp. 262-263.

[3] Lihat lebih jauh Henk Schulte Nordholt, op. cit., p. 262, footnote nomor 20.

[4] Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., p. 469.

[5] Willard A. Hanna, Bali Profile: People, Events, Circumstances 1001-1976 (Moluccas: Rumah Budaya Banda Naira, 1990), p. 79.

[6] Bagian ini sampai dengan catatan kaki berikutnya merupakan petikan dari Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., pp. 472-475.

[7] Bagian ini sampai dengan catatan kaki berikutnya merupakan petikan dari Ide Anak Agung Gde Agung, Bali Pada Abad XIX Perjuangan Rakyat dan Raja-Raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808-1908 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), pp. 472-475.

[8] Pada bagian ini dan seterusnya hingga catatan kaki berikutnya, dipetik dari Willard A. Hanna, Bali Profile: People, Events, Circumstances 1001-1976 (Moluccas: Rumah Budaya Banda Naira, 1990), p. 80.

[9] Lontar milik Anak Agung Gde Oka Krebek yang bisa terselamatkan dan sekarang menjadi koleksi Puri Kauhan Ubud sebanyak 65 judul. Lihat lebih jauh, “Katalog Lontar Duwe Puri Kauhan Ubud” (manuskrip, Puri Kauhan Ubud, 2017).