Anak Agung Gde Oka Kerebek:
Sang Pencatat Pengetahuan Sepanjang Hayat

Putu Eka Guna Yasa

Bhūṣaṇa wastra mukya têkaping para jana milih…
śāstra wiśesa mukyanira sang muniwara pilihên (Nītiśāstra, Sargah II, bait 1)

Orang biasa memilih busana dan pakaian sebagai barang berharga,
Tetapi seorang pertapa bijaksana yang dipilih sebagai hal yang berharga adalah sastra utama.

Anak Agung Gde Oka Kerebek seakan tak terpisahkan dari pangrupak dan lontar dalam menapaki kehidupan. Kemampuan langka ini tentu tidak hanya didapatkan dari pembelajaran yang beliau lakukan secara ideologis di lingkar para sastrawan Ubud pada masa lalu. Akan tetapi, bakat intelektualitas ini juga diturunkan dari lalangit beliau secara biologis. Sebab, apabila dilihat dari silsilah kawangsan, beliau adalah keturunan dari Ida Cokorda Gde Oka Gelgel. Sementara itu, leluhur beliau adalah Ida Dewa Agung Panji yang berasal dari garis Ida Dalem Sri Aji Kresna Kapakisan yang meletakkan tonggak peradaban Bali dengan sintesis capaian-capaian monumental Majapahit.
Lingkungan istana dengan para Bhagawanta (penasihat kerajaan) pasti memberikan berbagai pelajaran yang intensif kepada keluarga raja. Babad Dalem mewartakan bahwa seorang Dalem Waturenggong yang istananya berpusat di Gelgel, diberi berbagai ajaran Rājaniti seperti Dharma Yuddha (ilmu perang), Dhanurdara (ilmu panah), Aji Aswasiksa (ilmu transportasi), Acumbwana Krama (ilmu bercinta), dan yang lainnya oleh Dang Hyang Nirartha. Dengan demikian, sebelum terjun ke medan perang dengan mengangkat keris, para keturunan raja dipastikan mempelajari pusparagam pengetahuan itu dengan mengguratnya menggunakan pisau tulis. Kuladresta ini pula yang tampaknya mentradisi di lingkungan Anak Agung Gde Oka Kerebek.
Anak Agung Oka Gde Kerebek kala menulis lontar dalam berbagai posisi seperti sedang melakukan yoga. Posisi duduk beliau yang kadang bersila dan juga menegakkan kaki sebagai sandaran lontar seperti sedang melakukan gerakan asana. Tangan kiri beliau yang memegang lontar dengan tangan menggerakkan pangrupak pengrupak tampak menari lincah mengguratkan aksara demi aksara. Matanya yang tajam dengan nafas terkendali dan fokus yang tinggi seperti pranayama, darana, dan diana. Maka, ketika dewa pengetahuan berhasil distanakan dalam puncak hening kesadaran, seorang penulis sesungguhnya sedang melakukan samadhi, meski tanpa beliau sadari (asamadhi ri candhi pustaka).

Sakawenang dan Anurat Asing Gon

Dalam bahasa penekun balian Usadha, figur seperti Anak Agung Gde Oka Kerebek telah mampu menulis dengan sarana sakawenang atau sarana apapun. Dua hal yang menjadi modal beliau yang pasati adalah landeping idep “ketajaman pemikiran” dan jnyana nirmala “batin yang suci”. Tak perlu tempat khusus, tak perlu suasana istimewa, dan yang lainnya. Anak Agung Gde Oka Kerebek adalah figur yang sehaluan dengan Ida Padanda Made Sidemen dalam laku anurat asing gon yang bermakna menulis di semua tempat, menggurat aksara di semua ruang.
Tampaknya beliau sadar betul bahwa sekali pemikiran dituangkan dalam guratan aksara yang membentuk pengetahuan maka pengetahuan itu akan lebih abadi dari penulisnya sendiri. Dengan demikian, melalui tinggalan-tinggalan lontar itulah kita bercengkrama secara imajiner dengan Anak Agung Gde Oka Kerebek dalam menghadapi suka dan duka kehidupan untuk berada di atas keduanya. Dengan wahana aksara yang telah beliau guratkan dalam naskah lontar, kita diberi jalan kembali ke masa lalu tanpa perlu mesin waktu.
Atas keteguhan beliau bertani kata di ladang sastra, Puri Kauhan Ubud kini mewarisi lebih dari 50 naskah lontar. Untuk satu keluarga, jumlah naskah ini cukup banyak. Terlebih beliau salah satu figur yang senantiasa sibuk mendampingi Ida Tjokorda Gde Sukawati dalam menjalankan swadharma sebagai pucuk pimpinan di wilayah Ubud hingga ke desa-pradesa. Hanya kesadaran dan kesabaranlah yang pasti memotivasi beliau untuk senantiasa terus menulis dengan tulus untuk menghasilkan naskah-naskah di Puri Kauhan Ubud saat ini.

Kelompok Sarapustaka

Pentingnya warisan naskah sebagai wahana literasi tradisi Bali ini yang barangkali mendorong Anak Agung Gde Oka Kerebek berkenan memenuhi permintaan Tjokorda Gde Soekawati sekitar tahun 1919-1920 untuk menoreka usaha pengumpulan judul-judul naskah di lingkungan Ubud. Di tahun yang sama Tjokorda Gde Sukawati juga meninggal dunia dan manunggal dengan keabadian. Dengan demikian tugas pengumpulan lontar itu seperti wasiat terakhir beliau kepada Anak Agung Gde Oka Kerebek yang mendampinginya.
Judul-judul naskah yang beliau kumpulkan dalam satu buku itu berjudul Wastan Rontal Padrêweyan Hida Dane Para Skā Sarapustakā Swang-Swang. Dalam bahasa Indonesia, judul ini bermakna “Judul Lontar Milik Pribadi Masyarakat Anggota Kelompok Sarapustaka”.
Aktivitasme pengumpulan judul naskah ini sejatinya dilakukan jauh sebelum bangsa Barat mengerjakan katalogisasi terhadap naskah-naskah lontar Bali yang tonggaknya dimulai sekitar tahun 1928 melalui pendirian Gedong Kirtya di Singaraja. Nama yang beliau berikan untuk kumpulan ini juga menarik yaitu Sarapustakā yang bermakna ‘intisari pustaka’. Maksudnya, barangkali pustaka-pustaka pilihan yang menjadi saripati pengetahuan intelektual dan spiritual di Ubud kala itu.
Betapa tidak, pemilik lontar tersebut adalah tokoh-tokoh penting pada zamannya seperti Ida Padanda Made Padang Tegal, Ida Padanda Putu Taman, Ida Tjokorda Punggawa (Puri Ubud), Ida Tjokorda Gde Ngoerah (Puri Saren Kauh), Ida Tjokorda Rai (Puri Anyar Ubud), dan yang lainnya. Ida Tjokorda Ngurah Puri Saren Kauh adalah salah satu sastrawan produktif yang menulis pustaka Gajah Mada, Gurit Sri Nata Wasitwa Amla Nagantun, Geguritan Rajendra Prasad, Geguritan Tataka Suddha, dan yang lainnya. Naskah-naskah tersebut, kini sebagian tersimpan di puri peninggalan Tjokorda Rai yaitu Puri Anyar Ubud. Kala itu, Anak Agung Gde Oka Kerebek bersama para sastrawan lainnya seperti membuat lingkar intelektual yang siap bertukar pengetahuan untuk mengambil keputusan-keputusan penting tanah kelahirannya.
Dengan pengumpulan judul naskah dalam buku Sarapustaka, proses interaksi, transaksi, dan transmisi pengetahuan akan lebih mudah terjadi. Keterbukaan memberitahu judul dan jumlah koleksi lontar saat itu adalah teladan baik, bagaimana mata air pengetahuan dibukakan jalan untuk mengalir ke telaga-telaga batin masyarakat yang memerlukan. Inspirasi gerakan Anak Agung Gde Oka Kerebek di masa lalu ini sangat mendesak dilakukan saat ini. Kesadaran beliau tentang dunia naskah sebagai wujud ragawi pengetahuan sesungguhnya sangat visioner.
Khusus untuk Bali, saat ini kita sama sekali belum punya katalog induk naskah digital yang menunjukkan persebaran lontar Bali sekaligus capaian langkah yang lebih maju dari benih aktivisme yang telah dirintis oleh Anaka Agung Gde Oka Kerebek.

Isi Batin Anak Agung Gde Oka Kerebek: Refleksi dari Tetamian Sastra

Melalui naskah-naskah lontar yang kini diwarisi di Puri Kauhan Ubud kita sejatinya tahu bahwa Anak Agung Gde Oka Kerebek adalah figur yang polimorfik (punya banyak pengetahuan, keterampilan, dan keahlian). Sama seperti kita yang hidup di zaman sekarang, koleksi buku dan isi perpustakaan menjadi cermin bening bidang pengetahuan yang diminati, ditekuni, dan dijalani seseorang. Melalui pengetahuan “guna” itulah seseorang menjalani profesinya dengan profesional “gina” sehingga menghasilkan materi penyangga kehidupan “gunakaya”.
Sebagai seorang juru bahasa dalam mendampingi Tjokorda Gde Soekawati memutar jantra pemerintahan di Puri Ubud, beliau membekali diri dengan dua naskah penting yaitu Dasa Nama dan Kretha Basa. Dasanama adalah naskah yang memuat persamaan makna kosakata bahasa Bali dengan bahasa Jawa Kuno dan Sanskerta. Substansi naskah ini sama seperti kamus sinonim di era saat ini. Di dalamnya, kita akan temukan bahwa kata lembongan bermakna pisang, kata raja kusuma bermakna teratai, kata tunda pala bermakna tumbuhan waribang dan seterusnya.
Selanjutnya, apabila Dasa Nama lebih mengarah pada makna leksikal. Maka, Krethabhāša menyangkut makna tata bahasa atau gramatikal. Seperti yang diteliti Cokorda Rai Suddharta dalam disertasinya (1986), Krethabasa memuat pedoman mempelajari tata bahasa Sanskerta sesuai kearifan masyarakat Nusantara. Dengan demikian, melalui warisan lontar Dasa Nama dan Krethabasa, kita tahu bahwa Anak Agung Gde Oka Kerebek adalah seoreng juru bahasa atau interpreter yang pasti memiliki pengetahuan linguistik dengan tingkat sangat memadai.
Dengan kemampuan bahasa ini pula, sesungguhnya beliau mampu menjalankan usaha diplomasi dan negosiasi di titik-titik krusial zaman seperti penghalauan peperangan. Wacana adalah kemampuan paling penting dalam mempengaruhi parilaksana orang lain terhadap kita. Ini tentu bagian yang paling disadari Anak Agung Gde Oka Kerebek sehingga berhasil merekonsiliasi peperangan yang kerap dilakukan kepada Kerajaan Gianyar, khususnya Bangli dan Klungkung. Untuk melengkapi itu, beliau menulis lontar Tutur Bhagawan Kamandaka dan Rana Yadnya. Kedua naskah ini tergolong rājaniti atau naskah yang memuat ilmu politik, tata negara, dan pemerintahan. Rana Yadnya yang telah dituturkan dalam Ramayana, Bharata Yuddha, Arjuna Wiwaha memang menjadi kurikulum yang juga dipelajari dan dipraktikkan oleh para penasihat raja dan raja, termasuk Dalem Waturenggong pada masa lalu sehingga berhasil menancapkan tonggak kekuasaan yang luas dan puncak peradaban yang tinggi.
Dalam titik teremergensinya, pengetahuan tentang Rana Yadnya pasti beliau terapkan. Sebab Anak Agung Oka Kerebek juga menjadi salah satu pasukan Tjokorda Gde Sukawati yang terlibat langsung di medan perang. Maka, di titik ini teks-teks lontar Kawisesan seperti Pupulan Kaputusan yang ada di Puri Kauhan Ubud pasti dimanfaatkan semaksimalnya sebagang pangraksa jiwa “penjaga diri” dan diaktifkan untuk memukul mundur musuh.
Di samping itu, naskah-naskah Usadha juga diperlukan apabila ada prajurit yang terluka dan membutuhkan pertolongan cepat. Hingga kini, di Puri Kauhan masih ada warisan lontar Dharma Usadha sebagai landasan pengobatan wajib bagi penekun Usadha Bali. Tak hanya itu, masyarakat sekitar yang sulit melahirkan atau keturunannya cendek yusa ‘berumur pendek’ kerap dititipkan di Puri Kauhan hingga berhasil melahirkan dan tumbuh menjadi anak-anak seperti umumnya.
Pengetahuan tentang usadha untuk mencapai kasidian secara maksimal, biasanya dilengkapi dengan wariga sebagai ilmu astronomi dan perhitungan waktu. Hingga kini, Puri Kauhan Ubud mengoleksi sejumlah lontar wariga termasuk juga tenung sebagai kemampuan kulminatif dari penekun wariga. Anak Agung Oka Kerebek barangkali sangat memahami bahwa segala kebaikan atau ayu hanya mungkin diraih melalui pemilihan dewasa ayu ‘perhitungan waktu yang baik’.
Lontar usada dan wariga di atas tampaknya menjadi bagian tak terpisahkan untuk dijadikan bekal menghadapi dinamika politik yang berujung pada payudan atau peperangan. Pertempuran yang beliau lakukan bersama Punggawa Ubud serta ksatria lainnya di beberapa wilayah memang secara filosofis termuat dalam lontar koleksi Puri Kauhan Ubud berjudul Rana Yadnya.
Seperti banyak dibahas dalam Niti Raja Sasana, seseorang yang menang dalam pertempuran akan mendapat kebahagiaan dunia, sedangkan yang kalah akan mendapatkan Wisnupada “alam Wisnu” (Sang Sura pejahing rananggana umusiring Wisnupada). Hal ini pasti beliau pahami juga dari lontar Babad Dalem yang dikoleksi di Puri Kauhan Ubud. Babon penulisan babad Bali ini dengan terang menyatakan bahwa penaklukan Bali tak dilakukan dengan cara biasa. Gajah Mada turun langsung menyerang Bali, termasuk Arya Damar, Arya Belog, Arya Sentong, dan lainnya. Darah ksatria yang juga mengalir dalam nadi Ida Anak Agung Gde Oka Kerebek pasti tak gentar menghadapi musuh hingga runtuh.
Dengan loyalitas kepada tanah dan natah Usadhi Desa pada masa kepemimpinan Tjokorda Gde Sukawati inilah yang menyebabkan beliau pernah menjabat sebagai seorang dyaksa atau jaksa. Hingga kini, di Puri Kauhan Ubud masih ada warisan lontar Adigama yang di dalamnya memuat aspek hukum, terutama wicara “perkara” dan pamindanda “sanksinya”. Pustaka Adigama yang pernah diterapkan di Majapahit ini pasti menjadi pegangan beliau dalam menjadi jaksa sekaligus salah satu penasihat politik Tjokorda Gde Sukawati. Dengan panduan Adigama, raja bisa menegakkan sasana dengan wicaksana. Dalam bahasa babad, raja adalah seorang yang writ wsi ujar pisan “sekali menulis tak boleh salah” dan “sekali berkata harus benar”. Di titik inilah naskah-naskah Adigama dan Paswara Ida Anak Agung Manggis yang diwarisi di Puri Kauhan Ubud menjadi landasan Anak Agung Oka Gde Kerebek dalam menjalankan swadharma beliau.
Pustaka lontar Paswara Ida Anak Agung Manggis jelas menjadi pegangan pokok beliau ketika mendampingi Tjokorda Gde Sukawati sebagai punggawa di Ubud. Kesepakaatan-kesepakatan dalam paswara di Gianyar juga mengikat punggawa-punggawa lain yang ada di wilayah Gianyar. Untuk memastikan aturan-aturan ini berjalan sesuai dengan manajamen yang baik inilah Anak Agung Gde Oka Kerebek menjadikan pustaka tersebut sebagai titian dan pegangan.
Pemahaman beliau terhadap Adigama yang pernah diterapkan di Majapahit dan Paswara berpuncak pada kepercayaan Tjokorda Gde Sukawati yang konon diberikan kepada Anak Agung Oka Kerebek dalam pembagian harta warisan. Pengetahuan utuh dan menyeluruh tentang adat yang beliau kuasai yaitu panca udara diterapkan agar pembagian ini dapat berlangsung harmoni. Pembagian ini menjadi penting sebab seperti yang sudah diingatkan oleh Nitisastra bahwa di zaman Kali, tak akan ada yang melebihi kekuatan material berupa uang dalam merubah sikap dan pendirian seseorang. Pustaka itu menegaskan ri tekaning yuganta kali, tan hana lewiha ring mahadana ‘ketika zaman Kali telah datang, tak ada yang akan melebihi hasrat seseorang untuk mendapatkan kekayaan.’
Meksi tugas ini pasti tidak mudah, beliau tetap lakukan dengan panduan-panduan sastra yang terwaris di Puri Kauhan Ubud. Saripati melakoni berbagai dinamika kehidupan di Ubud ini pula yang barangkali beliau catatkan dalam sebagian lontar koleksi Puri Kauhan Ubud saat ini. Bahkan, ketika beliau telah lingsir, Ida Anak Agung Gde Oka Kerebek tetap setia di jalur sastra. Dalam posisi yang terkena sakit rematik atau tuju, beliau masih mengguratkan pemikiran-pemikiran beliau di tempat tidur. Sungguh suatu elan semangat intelektual yang tak pernah karam dimakan usia dan peralihan zaman.

Bukan Sekedar Menggurat Pangrupak

Dari beliau kita sadar, menulis bukan sekedar mengguratkan pangrupak atau menggoreskan pena, tetapi dengan cara itulah beliau ingin memuja Saraswati yang distanakan dalam aksara. Bukan hanya saban enam bulan sekali, tetapi dalam kehidupan sehari-hari. Menulis juga usaha membaktikan diri pada pengetahuan. Pustaka Slokantara sudah menjelaskan bahwa di antara persembahan seperti makanan, busana, permata, dan anak perempuan, persembahan pengetahuan adalah yang paling utama. Anak Agung Gde Oka Kerebek memberi kita teladan penting tentang hal ini dalam laku yang nyata.
Dengan demikian, Ida Anak Agung Gde Oka Kerebek bukan saja juru bahasa, sastrawan, diplomat, negosiator yang handal, sedahan, jaksa, dan ksatria. Akan tetapi, beliau adalah seorang pencatat pengetahuan yang membaktikan hidupnya di dunia aksara sepanjang hayat.

Ksamākna ngwang ri Ida Sang Umoring Shunya