Skip to content
ARI DWIPAYANA SAMPAIKAN PERJALANAN PANJANG INTELEKTUAL BALI PERJUANGKAN EKSISTENSI HINDU
ARI DWIPAYANA SAMPAIKAN PERJALANAN PANJANG INTELEKTUAL BALI PERJUANGKAN EKSISTENSI HINDU
Universitas Hindu Negeri, I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar memperingati Dies Natalis ke-1 di Kampus Bangli, Selasa (25/5). Dies Natalis pertama dihadiri Koordinator Staf Khusus Presiden RI AAGN Ari Dwipayana, Gubernur Bali I Wayan Koster, Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI, Tri Handoko Seto yang juga hadir secara virtual, dan Bupati Barngli, Sang Nyoman Sedana Arta.
Pada kesempatan itu, Ari Dwipayana menyampaikan orasi ilmiah yang mengambil judul: Keluar dari Pusaran: Aktivisme Hindu dalam Menghadapi Tantangan dan Masa Depan. Dalam paparannya, Ari memaparkan perjalanan panjang intelektual Bali memperjuangkan eksistensi agama Bali dalam menghadapi ancaman dari pihak eksternal maupun untuk mendapatkan pengakuan dari negara sebagai agama resmi.
Sebelumnya, Agama Bali tidak memiliki nama atau identitas tunggal. Ada yang menyebutkan sebagai agama Siwa-Budha, Agama Tirtha, Agama Tri Murti, Agama Hindu-Bali dan Agama Bali-Hindu. Keragaman penamaan Agama Bali ini terjadi karena orang Bali menjalankan agama secara otopraksis, melanjutkan tradisi yang mengalir tanpa putus dari masa ke masa.
Semua tradisi itu berasal dari akar Hinduisme di India dan telah mengalami proses pelokalan atau localiziation, dengan bercampur dengan tradisi-tradisi lokal yang tumbuh dalam masyarakat Jawa maupun Bali. Ari juga menyebutkan di balik polemik kebudayaan yang sering terjadi, para intelektual Bali memiliki kesamaan pemikiran: pertama, para intelektual Bali merasa perlu mempertahankan Bali dari ancaman penyebaran agama lain dari luar. Kedua, mereka memandang Bali sebagai entitas tunggal yang memiliki adat dan kebiasaan sendiri.
ali mencari pertautan agama Bali dengan India. Upaya ini dilakukan dengan mendorong kaum terpelajar Bali memperdalam pengetahuan mereka tentang bahasa Sansekerta, agar bisa menemukan sumber-sumber utama Wedha, Upanisad dan Bhagawadgita. Selain itu terjadi interaksi antara intelektual Bali dengan kaum terpelajar India, ditandai dengan kedatangan Prof. Raghu Vira dan Pandhit Shastri ke Bali. Sebaliknya, dimulai tahun 1950, India Council fo Cultural Relations memberikan beasiswa kepada kaum terpelajar Bali untuk belajar di Universitas di India.
Salah satunya Ida Bagus Mantra yang mendapatkan kesempatan belajar di Vishva Bharati di Shantiniketan, Benggala, yang kemudian dikuti beberapa penerima beasiswa lainnya, seperti lda Bagus Oka Punyatmadja dan Tjokorda Rai Sudartha. Dengan basis intelektualitas yang semakin beragam, kaum terpelajar Bali berhasil mencapai titik penting dalam perumusan dasar-dasar kanon teologis agama Hindu Bali. Kanon teologis tersebut akan bisa menjadi dasar dan pegangan dalam memberikan penjelasan ke pihak eksternal maupun menjadi basis internalisasi ke dalam.
Setelah kemerdekaan, Ari Dwipayana menyebutkan bahwa tantangan utama yang dihadapi para kaum terpelajar Bali adalah masalah pengakuan dari Negara Republik Indonesia. Hal itu terjadi karena Negara RI yang baru merdeka ikut memberikan mendefinisikan agama dan menentukan kriteria agama yang resmi diakui Negara. Pada tahun 1952, Kementerian Agama menetapkan syarat-syarat agar suatu agama diakui oleh Negara.
Dalam merespons tantangan baru tersebut, para intelektual Bali membutuhkan waktu kurang lebih tiga belas tahun untuk mendapatkan pengakuan dari Negara. Momen puncaknya adalah tanggal 29 Juni 1958, delegasi yang mewakili lima perkumpulan Agama Hindu-Bali menemui Presiden Sukarno di Istana Tampaksiring untuk menyampaikan resolusi. Delegasi terdiri dari lda Pedanda Made Kemenuh (Paruman Para Pandita), I Gusti Anandakusuma (Satya Hindu Dharma), Ida Bagus Wayan Gede (Yayasan Dwijendra), lda Bagus Gde Dosther (Angkatan Muda Hindu-Bali), dan I Ketut Kandia (Panti Agama Hindu Bali). Presiden Sukarno didampingi I Gusti Putu Merta (Ketua DPRD), A.A. Bagus Suteja dan l Gusti B- Sugriwa dari Dewan
Tantangan Baru
Pada orasi ilmiahnya, Ari Dwipayana yang juga Tokoh
Puri Kauhan Ubud, menyebutkan salah satu keberhasilan kaum terpelajar Bali adalah invensi kelembagaan dengan mendirikan Parisada. Pembentukan Parisada sebagai Majelis tertinggi agama Hindu yang berskala nasional, memberikan peluang yang lebih besar bagi kalangan intelektual untuk menyatukan rumusan kanon teologis yang bersifat universal, membakukan bahan ajar agama Hindu serta menstandarisasi sistem ritual yang berlaku di berbagai tempat di Indonesia.
Sampai dititik ini proses penyatuan dan pelembagaan agama Hindu di Indonesia telah membuahkan hasil. Dan capaian ini menjadi prestasi tersendiri, karena di berbagai negara, termasuk di India sekali-pun, mengalami kesulitan dalam menyatukan dan melembagakan berbagai variasi aspirasi Hinduisme dalam sebuah Lembaga tunggal seperti Parisada. Namun Ari Dwipayana mengingatkan ditetapkannya Parisada sebagai Majelis tertinggi agama Hindu yang bersifat tunggal, tersentralisir dan berskala nasional menimbulkan konsekuensi. Parisadha menjadi medan baru yang menjadi saluran aspirasi berbagai kepentingan kelompok keumatan.
Dan memindahkan arena perdebatan, polemik kebudayaan yang terjadi sebelumnya terjadi antar berbagai perkumpulan ke parisadha. Hal ini nampak jelas dari dinamika yang terjadi di tubuh Parisada, sejak awal berdirinya sampai dengan hari ini.
Walaupun Parisada masuk dalam berbagai pusaran, Ari Dwipayana menekankan bahwa pergerakan Hindu yang sesungguhnya tidak hanya berputar di parisada. Aktivisme Hindu justru bergerak di akar rumput, terutama di kantong-kantong umat Hindu diluar Bali yang melahirkan para pembela dan pejuang terus bergerak di tengah kesulitan. Kehadiran mereka membuat Agama Hindu mempunyai harapan, bukan hanya untuk bisa bertaha, tetapi untuk bergerak untuk kehidupan yang lebih baik.
Artikel ini telah tayang di balipost.com dengan judul ARI DWIPAYANA SAMPAIKAN PERJALANAN PANJANG INTELEKTUAL BALI PERJUANGKAN EKSISTENSI HINDU
Page load link