Bersama-Sama Merawat dan Memuliakan Air
Universitas Hindu Indonesia (Unhi) berkolaborasi dengan Yayasan Puri Kauhan Ubud menggelar Focus Group Discussion (FGD) ‘Mangusadha Sangaskara Toya’ atau menyembuhkan peradaban air.
Kegiatan bertempat di Aula Rektorat Universitas Hindu Indonesia dan daring youtube live streaming, Jumat 4 Februari 2022 dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Rektor Unhi Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa, MS., menjelaskan, air adalah sumber kehidupan yang perlu dijaga dan dilindungi. Bahkan saking pentingnya, air dikatakan sebagai penyembuh peradaban.
Tema FGD ini, kata Damriyasa, juga sangat erat kaitannya dengan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah Provinsi Bali melalui Peraturan Gubernur Nomor 24 Tahun 2020 tentang Perlindungan terhadap Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut.
Tujuan FGD ini, menurutnya, juga akan menggali dari berbagai referensi kearifan lokal Bali yang mana disebutkan leluhur melindungi mata air sebagai sumber utama kehidupan, serta disebut juga sebagai penyembuh peradaban dunia.
“Kami Universitas Hindu Indonesia, sebagai perguruan tinggi berbasis keagamaan dan bersumber dari kearifan lokal, perlu menggali lebih jauh tentang makna penyembuhan peradaban air, kemudian mengimplementasikan referensi-referensi yang telah diwariskan tersebut,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Pembina Yayasan Puri Kauhan Ubud Anak Agung Bagus Ari Brahmanta mengatakan, selain berkolaborasi dengan Unhi, pihaknya juga telah bekerja sama dengan Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, dan STAH Mpu Kuturan Singaraja dengan tujuan bagaimana yayasan bisa banyak memahami melalui referensi yang dimiliki dan dari FGD ini, sehingga bisa menarik kesimpulan selanjutnya akan diimplementasikan di masyarakat.
Dikatakan, saat ini terjadi problema di masyarakat tentang perlindungan mata air, oleh karenanya hasil FGD ini nantinya akan dirangkum dan dipublikasi ke masyarakat luas.
Pihaknya mendorong agar bisa bergerak bersama sebagai inovator atau kreator untuk bisa melanjutkan program dan diimplementasikan, serta diharapkan adanya suatu program atau regulasi di tingkat desa atau desa adat yang ada di lingkungan sumber mata air.
Setop Penggunaan Laser
Lebih lanjut, Ari Brahmanta juga menyinggung maraknya praktik penggunaan laser untuk membendung hujan saat ada hajatan yadnya maupun acara tertentu.
Menurutnya, praktik ini harus segera disetop melalui perarem desa adat. Ia menyebut, kegiatan mencegah turunnya hujan sama dengan melawan kodrat alam. Padahal, hujan adalah sumber air bagi kehidupan manusia di bumi.
“Jadi kita harus bersyukur meski pun saat punya hajatan terjadi hujan. Misalnya dalam upacara yadnya, itu kan tidak cuma sehari rangkaiannya. Jadi ya terima saja kehendak alam,” ajaknya.
Leluhur, kata dia, telah mengajarkan umat manusia bagimana cara memuliakan dan menjaga alam. Bahkan berdasarkan suatu sumber, pada abad ke 11, raja mengeluarkan peraturan ketat.
“Dulu raja memerintahkan siapapun yang menebang pohon di areal danau, wajib menanam empat pohon pengganti. Abad 11 aja bisa. Sekarang kita juga harus bisa merawat sumber air, tentunya dengan adanya regulasi terlebih dahulu,” katanya.
Ia mengingatkan krama Bali wajib bersyukur karena Bali punya empat danau yang menopang kebutuhan air. Rasa syukur ini bisa diimplementasikan secara sekala dan niskala.
Ketua Panitia Dr. I Komang Gede Santhyasa, MT., mengemukakan, FGD ini diselenggarakan sebagai rangkaian dari kegiatan “Sastra Saraswati Sewana 2022” yang diinisiasi oleh Yayasan Puri Kauhan Ubud dengan tema sentral “TOYA URIPING BHUWANA, USHADANING SANGASKARA” air sumber kehidupan, penyembuh peradaban.
Tema sentral ini juga menegaskan posisi air sebagai episentrum kehidupan yang mulai bergeser. Budaya industri modern melahirkan berbagai episentrum baru yang banyak melahirkan persoalan terkait air, seperti kelangkaan air, krisis air, tercemarnya air, konflik air serta komersialisasi air terjadi di berbagai belahan dunia termasuk di Bali.
“Karena itu, menjadi sangat penting dan mendesak untuk menggulirkan gerakan kesadaran untuk mengembalikan air sebagai entitas yang harus dirawat dan disucikan,” kata Santhyasa.
Gerakan pembangkitan kesadaran ini, lanjut dia, tidak selesai pada wacana saja, tetapi harus mampu melahirkan inovasi pemikiran dan aksi-aksi nyata. Dalam konteks inilah Gerakan kesadaran perlu diladasi epistemologi yang kokoh.
“Hasil yang diharapkan dari FGD ini paling tidak ada 2 poin penting: Rujukan manuskrip kearifan lokal mengenai lingkungan/ekologi yang terkait dengan pelestarian air dan (2) terobosan/gagasan/inovasi yang diusulkan untuk mengatasi berbagai persoalan ekologi terkait air saat ini,” imbuhnya.
Rumusan-rumusan dari hasil FGD ini akan didiskusikan dalam seminar bersama yang akan diselenggarakan oleh Yayasan Puri Kauhan Ubud pada tgl 23 Pebruari 2022 mendatang.
Hadir sebagai nara sumber yakni, Prof. Dr. I Wayan Sukayasa, M.Si., Dr. IB Dharmika, MA., Dr. Drs. IB Suartama, M.Si., Dr. Ketut Gede Dharma Putra, M.Sc., dan AA Ngurah Panji Astika, ST. Sedangkan IGA Paramitha bertindak sebagai moderator