Dharma Putra: Cegah Krisis Air Bali, Kelola Terpadu dan Sentuhan Teknologi

LingkunganPeneliti dan Pemerhati Lingkungan Bali Dr Ketut Gede Dharma Putra menilai pengelolaan sumber daya air di Provinsi Bali sudah dilaksanakan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Adanya kekhawatiran terhadap menurunnya potensi sumber daya air di Bali akibat pengembangan kawasan di beberapa wilayah sebagai akibat tingginya pertumbuhan investasi di bidang pariwisata perlu ditindak lanjuti secara arif dan bijaksana.

Diharapkan, manajemen air Bali dapat dilaksanakan melalui pendekatan terpadu dan berkelanjutan ( one island one management) dengan pendekatan social ekonomi budaya; kelembagaan dan teknologi.

Keberadaan system subak, sebagai system manajemen air di Bali perlu secara terus menerus diimplementasikan secara penuh pada program pemerintah.

Hal itu disampaikan ketika sebagai narasumber Focus Group Discussion FGD tentang Peradaban Air sebagai penyembuh dan yang disembuhkan di Denpasar, Jumat (4/2).

Acara itu dilaksanakan Yayasan Puri Kauhan Ubud bersama UNHI yang mengusung tema “Mangusadha Sangaskara Toya (Menyembuhkan Peradaban Air)” dibuka oleh Rektor UNHI Prof I Made Damriyasa dengan menghadirkan Narasumber Prof I Wayan Sukayasa, Dr Ida Bagus Dharmika, Dr Ida Bagus Suatama dan AA Nugrah Panji Astika.

Menurutnya, Air seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, merupakan kebutuhan dasar hidup manusia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa Indonesia.

Pasal 33 ayat (21 dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,  Air adalah cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat; bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Air merupakan kebutuhan yang amat penting bagi kehidupan. Dengan adanya ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air perlu dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi secara selaras untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi guna memenuhi kebutuhan rakyat.

Pulau Bali-Nusra secara total telah memanfaatkan sebanyak 111,35% melebihi daya dukung dan daya tampung ketersediaan air sebesar 20.691.671.908 m3/ tahun (Kementerian KLH).

Pulai Bali-Nusra lambat laun akan mengalami krisis ketersediaan air. Berdasarkan data-data itu, Bali sangat membutuhkan manajemen pengelolaan air yang baik.

Provinsi Bali memiliki 401 batang sungai, dimana 162 sungai bermuara di laut. Karakteristik sungai yang ada sebagian besar merupakan sungai intermitten dan annual sehingga pemanfaatan sumber air dari sungai-sungai ini tidak dapat diharapkan sepanjang tahun.

Hanya kurang dari 11% sungai yang memiliki debit aliran pada musim kemarau. Sungai-sungai yang potensial di Bali hanya berjumlah 66 sungai.

Sungai terpanjang di Bali adalah Tukad Ayung yaitu 62,5 km. Sungai yang memiliki debit air maksimum tertinggi di Bali adalah Tukad Medewi di Kabupaten Jembrana yaitu sebesar 233,81 m3/dtk.

Sungai lainnya dengan debit air relatif tinggi (diatas 100 m3/dtk) yaitu Tukad Telaga Waja (Karangasem), Tukad Penet (Badung), Tukad Melangit (Klungkung/ Gianyar), Tukad Unda (Klungkung), dan Tukad Pangyangan (Jembrana). Potensi air sungai menurut Sub Satuan Wilayah Sungai di Bali adalah 196,4 m3/detik atau 6.195,3 juta m3/tahun. Potensi air tertinggi terdapat pada Sub SWS 03.01.02 yaitu 29,09 m3/detik.

Sementara pertumbuhan ekonomi di Bali yang lebih banyak terjadi di wilayah Bali Selatan, khususnya di kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan) mengakibatkan pemanfaatan air yang semakin besar di kawasan tersebut, dibandingkan dengan wilayah bagian utara Bali.

Kondisi itu dipicu oleh adanya urbanisasi, serta pembangunan sarana dan prasarana kepariwisataan yang memerlukan air lebih besar daripada kebutuhan domestic.

Derasnya alih fungsi lahan dari kawasan pertanian menjadi kawasan terbangun memicu konflik pemanfaatan sumber daya air, khususnya air permukaan.

Permasalahan pengelolaan air semakin rumit akibat pemanfaatan air tanah yang banyak dilakukan di kawasan yang tidak dilayani system air perpipaan, menimbulkan dampak terhadap muka air tanah dan intrusi air laut.

Selain itu, pencemaran dan kerusakan lingkungan sehingga rendahnya kualitas air baku. Tingginya tingkat pencemaran air karena melewati kawasan pemukiman maupun kegiatan budi daya meningkatkan anggaran pengolahan air.

Pada musim hujan, pasokan air baku sering terganggu akibat kerusakan lingkungan seperti banjir dan longsor yang mengakibatkan kekeruhan air meningkat dan banyak sampah yang terbawa aliran air, yang berdampak pula terhadap biaya pengolahan air.

Pemerintah belum optimal dalam menetapkan klasifikasi kelas air sungai- sungai di Bali, yang mengakibatkan belum ada kesepakatan terhadap beban polutan yang diperbolehkan dialirkan di sungai.

Ketersediaan sarana dan prasarana pengelolaan air di Bali yang masih terbatas menjadi permasalahan klasik dalam manajemen air Bali.

Keberadaan waduk yang ada di Bali jumlahnya masih jauh dari kondisi ideal karena jumlah sungai yang demikian banyak, akibatnya, setiap hari air sungai terbuang secara percuma ke laut.

Padahal berdasarkan system subak yang telah diwariskan oleh leluhur Bali, air sungai harus dimanfaatkan secara terpadu dan berkelanjutan sebelum sampai ke Samudra.

“Untuk itu, dibutuhkan pengelolaan air dengan komprehensif dan dengan sentuhan teknologi yang ramah lingkungan,” pungkasnya. (ART/001)