Memaknai Watugunung dan Oedipus Raja

Sebagai Mitos Tentang Waktu yang Melampaui Waktu

Oleh Jean Couteau[1]

 

Pengantar

Yang ingin saya kaji secara komparatif  di bawah adalah makna lebih dalam dari mitos Watugunung dan Oedipus, dengan fokus utama pada Watugunung. Kedua mitos ini merupakan mitos kultural pokok yang bertemakan asal usul larangan inses. Yang pertama adalah mitos dari Yunani, yang kemudian diadopsi seluruh dunia Barat. Yang satunya adalah mitos dari Jawa-Bali[2]. Keduanya bisa dibandingkan sekaligus juga disandingkan. Bila mitos Oedipus dan simbolisme terkait sudah dikenal oleh kalangan luas, kini tiba saatnya menelusuri mitos Watugunung, yang tak kalah menarik itu. Lebih-lebih kajian ilmiah atas  mitos ini saya anggap suatu kesempatan yang unik untuk merenungkan asas-asas kultural masyarakat Bali (dan juga untuk sebagian Jawa) dalam perbandingan dengan asas-asas masyarakat Barat serta untuk mempertimbangkan sejauh mana dan bagaimana asas-asas Bali tersebut dapat ditawarkan kelak di dalam “market” simbol-simbol dan nilai-nilai global.

 

Mitos Watugunung

Di dalam tradisi Bali dikenal dua kalender, Kalender Saka, yang diatur berdasarkan siklus bulan, dan Kalender Pawukon, dengan siklus 210 hari[3]. Kalender Pawukon ini yang mengatur sebagian terbesar dari ritual-ritual agama Bali, dan dulunya Jawa. Jadi sistem perhitungan waktu sebagaimana terdapat di Pawukon itu dianggap tidak terpisahkan dari agama serta adat setempat, dan oleh karena itu memiliki suatu nilai sakral. Otonan, odalan, pengabenan, perayaan-perayaan agung seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, Pagerwesi dan lain-lain; hampir semua ritual Bali ditentukan hari jadinya berdasarkan perhitungan-perhitungan yang berdasarkan kombinasi hari-hari dari Pawukon.

Salah satu hari terpenting dari kalender Pawukon adalah Hari Raya Saraswati, yang juga merupakan hari terakhir dari siklus Pawukon itu. Pada hari tersebut, masyarakat Hindu menghaturkan banten pada lontar dan buku, serta melakukan persembahyangan pada Dewi Saraswati sebagai Dewi pengetahuan. Keesokan harinya adalah hari Banyu Pinaroh, yaitu hari pertama dari siklus Pawukon berikut. Pada kesempatan ini, orang Hindu-Bali melakukan penyucian ritual di sungai atau laut. Jadi rententan upacara Saraswati dan Banyu Pinaroh tak ayal disadari oleh masyarakat Bali sebagai upacara-upacara pergantian siklus, dari suatu Pawukon ke Pawukon berikutnya.

Tak kurang penting ialah asal muasal kalender Pawukon terkait dengan mitos Watugunung, yang menceritakan kisah inses seorang putra, Sang Watugunung, dengan ibunya, Sinta, serta bagaimana kedua pelaku ini dipisahkan secara simbolis oleh titik batas siklus kalender baru setelah intervensi para Dewata.

Kajian di bawah ini tidak membicarakan segi religius dari mitos Watugunung dan kalender Pawukon di atas. Yang saya cermati hanyalah sudut-sudut psiko-antropologisnya. Telaah saya hendaknya dipandang semata-mata sebagai salah satu upaya tafsir kembali dari mitos-mitos dan simbol-simbol Indonesia untuk. Saya berharap bahwa bacaan kembali ini, yang sesungguhnya dapat diperdalam lagi, akan dapat turut mengilhami reinterpretasi modern dari naskah-naskah lampau dan mendorong kreatifitas para seniman.

Kajian ini dipermudah oleh kekayaan pusaka sastra Bali-Jawa. Berbeda dengan banyak kebudayaan lokal dunia dimana mitos dan sistem kalender diwariskan secara lisan saja, Bali – dan Jawa- mempunyai suatu mitos tertulis yang bila dikaji, menjelaskan dan memberikan arti makna pada sitem Pawukon dan ritual terkait. Cerita Watugunung yang saya sadur secara relatif setia disini berdasarkan versi yang kini tersimpan di Gedung Kirtya Singaraja, coll III/b. 287/15[1]. Berbagai versi lain, dengan variasi-variasi yang minor, ditemukan di susastra Jawa dan di dalam cerita rakyat Bali dan Jawa[4].

 

Cerita Watugunung adalah sebagai berikut :

Dahulu kala hidup seorang raja yang kesohor dan nama Giriswara, atau Penguasa Gunung[5]. Giriswara memiliki dua isteri yang cantiknya tidak kepalang. Yang pertama bernama Sinta sedangkan yang kedua Landep. Meskipun telah lama menikah, tiada satu pun di antara kedua isteri itu dikarunai anak. Situasi ini berlangsung hingga, pada satu hari yang tak berbulan, Sinta merasa sakit di perut dan berkata girang pada suaminya:” O, Giriswara Tuanku,  saya akan melahirkan tuan seorang putra yang kuat. Saya merasa tendangannya yang keras di dalam rahim saya. Dia akan menguasai baik hari maupun malam saya. Giriswara, yang mungkin mempunyai firasat akan hari depannya, menjawab: “O, isteriku, saya pun berharap kau melahirkan seorang putra, tetapi sudah tibalah waktu bagi saya untuk pergi bertapa di gunung. Asuh-lah anak itu dengan baik, menanti saat dia menjadi penguasa dunia kelak.” Setelah berkata demikian, beliau menuju gunung.   

Beberapa waktu kemudian, Sinta merasa sakit perut yang tak tertahankan, pertanda kelahiran mendekat. Landep pun tidak mampu membantu. Ternyata sang bayi tengah memukul rahim dengan sedemikian kerasnya hingga menyebabkan suatu badai yang sangat besar, disertai angin topan dan halilintar yang dasyat. Kedua wanita takut dan memohon bantuan para Dewata. Lalu muncullah sang Brahma yang membantu kelahiran sang bayi. Bayi itu sangat besar, mirip raksasa, dengan raut muka yang merah menakutkan.  

Kedua wanita merasa terhibur oleh kehadiran bayi itu. Mereka mengasuhnya dengan penuh kasih sayang. Tetapi dia yang ketika itu masih disebut Jabang Bayi itu berperangai buruk, dan sering sekali marah, dengan alasan yang sepele pun. Apa lagi dia sering meminta hal-hal yang tidak mungkin mereka berikan. Jadi amat merisaukan dan memayahkan kedua wanita. Sampai pada suatu hari, ketika ibunya tengah menanak nasi, dan nasinya belum matang, dia didekati oleh putranya yang berkata: “O, Ibu, berikanlah putra ibu si Jabang Bayi secuil nasi.” Tetapi ibunya tidak mau dan menegornya atas permintaannya. Penolakan itu disambut teriakan dan tangisan yang bukan kepalang kerasnya; lalu Si Jabang Bayi menjatukan diri di tanah sembari meronta. Merasa gusar, dipungut cedok nasi oleh ibunya dan dipukullah kepala putranya dengan itu. Mucratlah darah segarnya. Melihat ini, si Jabang Bayi berkata pada ibunya: O, Ibu, kau tidak bersikap sebagaimana seorang ibu semestinya kepada anaknya. Maka saya akan pergi meninggalkanmu.” Betapa pun Sinta dan Landep mencoba menahan dia dan mencegahnya pergi, percuma saja; Jabang Bayi seketika berlari dan tak seberapa lama dia sudah jauh. “Dia pasti kembali dan kita akan mengobati lukanya,” kata Landep. Tetapi putranya tidak kembali.   

Jabang Bayi pergi ke gunung, dengan maksud akan menjumpai ayahnya. Tetapi dia tidak menemukannya disitu. Yang dia dapatkan ialah sebuah batu besar yang datar. Dan disitu dia bertapa, dalam posisi “agranasika” – memandang ujung hidung. Demikian hebatnya tapanya sehingga kahyangan oleng-kemoleng. Menyaksikan semua itu, dan dengan penuh kekhawatiran, Batara Siwa turun serta menegor anak muda yang tengah bermeditasi ini: ” O, putraku, mengapa kau bertapa dengan demikian, hingga kahyangan sendiri dibuat hendak runtuh? Mulai hari ini, kau kuberi nama Watugunung, yaitu batu dari gunung. Tetapi anugerah apa yang sejatinya hendak kau dapatkan dari saya. Katakanlah dan akan saya kabulkan.” Pada ujung kata Batara Siwa ini, seketika Watugunung menjawab: “ O, Siwa, dewa di antara dewa, saya ingin kuasa atas pria maupun wanita.” “Permintaan kau saya kabulkan,” kata Siwa, “kau akan berkuasa atas gunung, dan kau akan mengalahkan ke 27 raja yang berkuasa atas negeri-negeri di mayapada. Kau tidak akan gentar menghadapi siapa pun, apakah raksasa atau pun manusia, apakah api atau pun angin topan.” “Tetapi, O Batara Siwa,” tukas Watugunung, dapatkah Batara menjelaskan kepada hamba bagaimana akhir“nasib” saya?” “ Akan tib ajalmu,” jawab Siwa,” bila kau bertemu dengan suatu makhluk berkepala penyu raksasa dan berkuku lima (Panca Naka) yang dapat mengelilingi dunia dalam tiga ayunan langkah (Triwikrama). Betapa pun dasyat perlawananmu, O putraku, ingatkanlah petunjukku ini dan ketahuilah bahwa hari [kematian] kau telah tiba.” Dengan kata ini, Siwa menghilang. Wujudnya lenyap di udara, menjelma menjadi Gunung Siwagunungpala.

Watugunung melanjutkan perjalanannya, demi memenuhi garis nasib sebagaimana sabda sang Batara. Dia lalu mencapai kerajaan Emalaya yang dipimpin oleh raja Wukir (alias Giriswara, ayahnya yang terlupakan itu). Sesampai disitu ia begitu lelah dan penuh debu. Melihat suatu sungai yang bening dan jernih, seketika dia ingin mandi dan lalu beristirahat di situ. Sesaat dia mendengar suara perempuan yang menyanyi merdu. Terpesona oleh lagu itu, dia mendekat, dan terlihatnya seorang wanita nan jelita, tengah mandi telanjang di tengah sungai, dengan tubuhnya kemilau dicurahi cahaya matahari. Sungguh ia  mengingini wanita itu.

Lalu wanita itu disergap dan dijamah dengan nafsu yang tak tertahankan, tetapi dia berteriak minta tolong, dan suaminya, yang ketika itu tengah bekerja di sawah, datang membantu. Gusar menyaksikan sikap Watugunung, diancamnya Watugunung itu dengan celurit. Sementara orang-orang memberitahu Raja bahwa ada seorang laki-laki yang hendak memerkosa wanita yang sudah bersuami.  

Raja Wukir datang bergegas (ke tempat peristiwa itu) disertai serdadu-serdadu pilihannya. Mereka mengepung Watugunung, tetapi raksasa muda ini mengalahkan mereka semua, oleh karena sudah tersurat oleh takdir bahwa dia bakal menguasai seluruh dunia.  

Menyerahlah raja Wukir, demikian juga raja-raja yang berani menantang Watugunung. Mereka disebut raja-raja Wuku, yang keseluruhannya berjumlah 27, termasuk Wukir, yaitu: Kulantir, Taulu, Gumbreg, Wariga, Warigadian, Julungwangi, Sungsang, Dunggulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uyeh, Menail, Perangbakat,  Bala, Ugu, Wayang, Kulawu dan Dukut. [Dengan penyerahan raja-raja ini] tak ayal Watugunung telah menjadi raja di raja, raja raksasa di seluruh bumi.   

Pada suatu hari, ketika dia tengah berembuk dengan raja bawahannya, salah satu di antara mereka berkata:” O, Watugunung Tuanku, kau paling adijaya di antara para manusia; kami para raja pun takluk pada kedikdayaanmu. Tetapi bukankahlah masih ada dua putri cantik di Jalasanggara, di kaki gunung itu, yang patut pula ditaklukan. Maka pergilah, Tuanku, dan jadikanlah mereka isteri.” Terkipasi oleh tantangan ini, Watugunung segera menyerang [wilayah] kedua putri itu dan [dengan cepat] mengalahkan mereka. Lalu dia berkata kepada putri [yang telah ditaklukannya itu]:  ” O, putri-putri [yang bersemayam di] kaki gunung itu, kalian sedemikian jelita, perkennkanlah aku menjadikan kalian  berdua sebagai isteriku.” Dan singkat kata, Watugunung pun mengawini kedua putri itu.  

Sekian waktu setelah pernikahan, seusai mandi dan beristirahat, Watugunung merasa gatal di kepala dan meminta Sinta untuk menyisir rambutnya: “O, jelitaku, rasanya ada kutu di rambut saya. Tolonglah saya dengan mengenyahkan [kutu] itu.” Begitu dia membagi rambut Watugunung, Sinta melihat sesuatu yang mencengangkannya. Tepat di ujung kepalanya terlihat parut luka yang aneh. Yang dapat meninggalkan bekas seperti itu hanyalah sendok pengaduk nasi yang dipakainya ketika dia memukul sang Jabang Bayi, bertahun-tahun yang lalu di dapur rumahnya. Bingung, dia tak mampu menyisir lagi suaminya dan, mengaku lelah, dia meminta Landep, [madunya] untuk menyelesaikan [tugasnya] menyisir kutu itu. Dia juga meminta Landep agar memeriksa dengan teliti parut luka Watugunung. [Landep tidak hanya melakukan hal itu] dia lebih jauh lagi bertanya kepada Watugunung apa yang membuatnya mempunyai bekas luka seperti itu. ” Parut itu dibuat oleh ibuku yang memukulku ketika aku masih kecil,” sahut Watugunung . ” Dia memukul saya oleh karena saya lapar dan meminta tambahan nasi.…”

Seusai [menyisir kutu], Landep melapor kepada Sinta [apa yang telah dia lihat dan dengar.] Disadarilah dashyatnya aib yang telah menimpa mereka berdua: suami mereka yang ganteng itu tiada lain adalah juga masing-masing putra Sinta dan putra tiri Landep. Tetapi mereka tidak memberitahu [temuan mereka itu kepada Watugunung]. Mereka berkeputusan berpisah dengan Watugunung dengan cara apa pun, bahkan suatu tipu muslihat: mereka akan mendorongnya menyebabkan kemarahan para dewata. Maka mereka [mendatangi Watugunung dengan] dan berkata sebagai berikut:”  O Watugunung, kau tidak ada tara di antara raja-raja dan kekasih-kekasih, tetapi siapakah kami [dibandingkan kau]; kami hanyalah dua wanita manusia. Kau pantas mendapatkan [wanita] yang lebih daripada kami ini, Tuanku. Bukankah kau masih muda dan bugar. Kami berpikir-pikir bagaimanalah bila kau meminang [dan mengawini] wanita lain yang dapat memuaskan kau dan melahirkan putra yang tentu saja kau harapkan.” Watugunung diam tidak menyaut. “Kami telah mimpi bahwa kau akan menikahi Nawang Ratih..” ” Apa,” teriak Watugunung Gunung kaget,” maksud kau isteri Batara Wisnu?”” Dialah, Tuanku,” sahut kedua wanita serentak.  

Watugunung amat senang dengan usul [kedua isterinya]. Tanpa ba bi bu, dia langsung mengirim seorang duta, Raja Warigadian, ke hadapan Sang Wisnu, untuk meminta menyerahkan isterinya kepadanya.        

Tetapi, membaca pesan [yang diserahkannya] Wisnu menganggapnya sebagai perbuatan lancang tak kepalang. Berani mengingini isteri seorang dewa! Terlampau lancung! “Katakan kepada Tuanmu bahwa bila ia ingin isteri saya, dia harus datang kemari sendiri dan menantang saya di medan laga,” saut Wisnu kepada sang duta. “Bila dia mengalahkan saya, barulah saya rela menyerahkan Nawang Ratih.” 

[…Berlangsunglah perang, yang diikuti oleh Sapta Resi, Panca Resi dan Catur Lokapala[6]. Watugunung tidak terkalahkan hingga kedua isteri Watugunung, atas saran Bagawan Wrespati[7] merayunya mengatakan kepada mereka apa kunci kesaktiannya. Watugunung lalu berkata bahwa dia bakal menemui ajal bila dihadang oleh seorang makhluk berkepala penyu, berkuku lima (Panca Naka) dan berTriwikrama, alias melangkahi bumi dalam 3 langkah. Percakapan tersebut didengar oleh Sang Hyang Lumanglang[8], yang melaporkannya kepada para dewata….]  

…Ketika [beberapa waktu kemudian] kedua bala tentara berhadapan satu sama lainnya, Wisnu telah beralih rupa menjelma menjadi makluk yang mengerikan. Dia berwajah seperti penyu dan dipersenjatai dengan kuku Pancanaka. Menyaksikan itu, Watugunung [teringat sabda Batara Siwa] dan mengetahui bahwa saat ajalnya telah tak jauh tiba. Tak ada yang dapat dilakukan untuk melawan suratan takdir ini….   

Watugunung dilemparkan di tanah pada hari Minggu Redite-Kliwon[9] – disebut Watugunung Runtuh; dia dibunuh pada hari Seni Soma-Umanis – disebut Sandang Watang, hari “pembuangan layon”; lalu dia diseret di tanah pada hari Selasa Anggara Paing, disebut Paid  Paidan (seret). Kemudian, pada hari Rabu Buda Pon, – disebut Buda Urip ( Rabu Hidup) dia dihidupkan kembali pada hari Kamis Wrespati Wage oleh Batara Wraspati; setelah dia dibunuh sekali lagi oleh Wisnu,  lalu Siwa menghidupkannya kembali pada hari Sukra Kliwon). Melihat bahwa Wisnu akan sekali lagi membunuhnya,  Siwa pun berkata: “ O,  Wisnu, jangan lagi coba membunuh sang Watugunung; bila kau membunuhnya, hilanglah ajaran bagi generasi mendatang; alih-alih membunuhnya lebih baik dia diberikan kehidupan yang kekal.” Pada permohonan ini Wisnu menjawab: “Ingin saya bunuh Watugunung oleh karena dosanya maha besar: dia telah [mencoba] mengawini wanita yang sudah bersuami; dia telah pula bersanggama dengan ibunya dan ibu tirinya; [kesalahan ini] terlalu besar bagi dunia manusia.” Maka Siwa bersabda: “Mulai sekarang ini, pantanglah manusia mengawini wanita yang sudah bersuami, apalagi ibu dan ibu dan ibu tirinya.” Lalu dia bertambah:” Tanpa membunuhnya, dapat kita menghukumnya dengan cara lain, oleh karena dosanya memang besar.” Lalu Wisnu menambah: “He, Watugunung, setiap enam bulan kau akan mengalami masa leteh/kotor.” Yang disahut oleh Watugunung: “Hukuman ini hamba  terima, O, Batara. Ketika saya terjatuh di kedalaman laut, berbuatlah sedemikian rupa sehingga saya dapat memanaskan dunia, agar tiada siapapun di dunia yang menderita kedinginan. Ketika saya jatuh di ladang-ladang, berbuatlah sedemikian rupa sehingga saya membawa hujan yang lebat, supaya tananam-tanaman tidak dilanda kekeringan.  

Batara Siwa lalu menghidupkan kembali raja-raja Wuku serta para Panca Resi (yaitu korban peperangan[10]). Pada hari Saniscara Manis turunlah para dewata untuk membersihkan dunia. Itulah hari ketika orang menghaturkan sesajen kepada lontar-lontar (yaitu Hari Raya Sarawati). Hari Redite Paing disebut Banyu Pinaruh, ketika Watugunung dimandikan/dibersihkan. Para dewata kemudian menulis cerita ini, dan dengan demikian menetapkan sistem dewasa (yaitu Pawukon). Dipakai istilah dewasa oleh karena merupakan hasil karya para dewa. Para dewa kemudian menempatkan para raja wuku di dalam kalender. Para Panca Resi disesuaikan dengan panca-wara, dengan Sang Hyang Garga menjadi Kliwon, Sang Hyang Kursika menjadi Umanis, Sang Hyang Metri menjadi Paing, Sang Hyang Kurusya Pon dan Sang Hyang Pretanjala Wage…

 

 

Ajaran Mitos Watugunung

Itulah versi ringkas dari mitos Watugunung, seperti ditemukan di Gedung Kirtya, Singaraja. Bila ditinjau kandungannya dari sudut antropologi, dengan bantuan konsep-konsep psikoanalitis Freudian, berikut inilah yang dapat diurai secara sederhana:

-Mitos Watugunung adalah suatu cerita inses yang, seperti lazim pada cerita tersebut, amat kaya dengan simbol-simbol seksual terselubung. Dari sudut cerita, sang putra terpisah dari ayah dan ibunya pada waktu semasih kecil; kemudian, seperti halnya Oedipus yang membunuh ayahnya dan menikahi ibunya, (lihat di bawah), dia pun mengalahkan ayahnya (Wukir=Giriswara) dan menikahi ibunya; dunia gempar sampai ke kahyangan. Dari sudut symbol, ayahnya digambarkan sebagai Giriswara, yaitu penguasa gunung – suatu lambang phallus (lingga); ibunya memukulnya dengan sendok, -suatu lambang phallus juga; parut luka yang terlihat pada kepala Watugunung adalah lambang vaginal (yoni), seperti halnya sungai dimana wanita yang ingin diperkosa oleh Watugunung sedang mandi; nama Watugunung – yaitu batu gunung- juga mengacu pada lambang phallus (lingga); akhirnya Batara Siwa sendiri merupakan lingga kosmis. Singkatnya sebagian besar dari elemen-elemen mitos dapat –paling sedikit secara Freudian- dikategorikan mengacu pada simbolisme seksual.

Adapun ajaran itu tidak kurang menarik. Sebelum kemenangan para Dewata atas Watugunung, dunia nampak sebagai dunia “tak tertata”. Lembaga keluarga belum tersusun kuat: ibu Watugunung (Sinta) digambarkan mengasari dan bahkan mencederai anaknya sehingga luka itu berbekas berupa parut kepala; anak yang dilukai itu, yaitu Watugunung meninggalkan ibunya; sebelumnya ayahnya pun telah meninggalkan anak-isteri. Kehidupan seksual tidak teratur dan bahkan boleh dikata liar: laki dapat memerkosa wanita. Kehidupan politik pun kacau balau: perang ada dimana-mana; Watugunung dapat menjadi penakluk dunia, bahkan penakluk kerajaan ibu dan ibu tirinya (masing-masing Sinta dan Landep) serta ayahnya sendiri (Wukir). Puncak dari kekacauan-kekacauan ini adalah inses yang dilakukan Watugunung dengan ibunya diikuti dengan kesadaran pada ibunya bahwa dia telah melakukan sesuatu yang pada dasarnya tidap patut, meski sebagai suratan takdir – sesuatu yang tadinya hanya kuasa dilakukan oleh para dewa dari kahyangan. Tetapi Watugunung bukan dewa, melainkan manusia. Akibatnya adalah munculnya kekacauan kosmis, “khaos” yang total: Watugunung melupa jadi dirinya dan merasa menjadi padanan dewa, hingga memprovokasikan Wisnu, penegak kestabilan bumi. Intervensinya memulihkan kestabilan kosmis dan mereduksikan kembali Watugunung kepada posisinya semula sebagai manusia. Namun alih-alih dibunuh, Watugunung dicerahkan dan dijadikan penguasa kalender dan penjamin larangan inses. Jadi, dari tokoh perusak yang memperkosa wanita dan mengancam para dewa kahyangan, dia berubah menjadi sarana dewa-dewa tersebut dan tokoh penegak kestabilan di madiapada.

Tetapi yang paling menarik ialah memahami ajaran yang tersirat di dalam mitos asal Pawukon ini:

-Penciptaan kalender oleh para dewata setelah mengalahkan Watugunung merangkap sebagai titik awal dari penetapan larangan atas inses. Itulah pencerahan yang pertama. Sang ibu dan sang anak yang tadinya ternoda inses kini menempati posisi pada kedua ujung siklus Pawukon, masing-masing Watugunung pada akhir siklus dan Sinta pada awal siklus berikut. Jadi ibu dan anak dipisahkan, dan sekaligus diruwat oleh titik penutup siklus, yang bertepatan dengan Hari Raya Saraswati.

-Dengan sendirinya terlihat disini bahwa Saraswati sesungguhnya bukanlah melambangkan “pengetahuan” di dalam artian yang sempit nan akumulatif itu, tetapi lebih tampil sebagai Kesadaran. Dan memanglah, kesadaran yang paling awal dan paling universal yang muncul pada manusia purba ialah kesadaran bahwa kehidupan seksual di dalam keluarga dan masyarakat harus mengikuti aturan atau norma tertentu. Sanggama tidak boleh dilakukan berdasarkan kekasaran dan tidak boleh menyangkut anggota sesama keluarga, lebih lebih ibu dan anak – seperti dilakukan Watugunung sebelum pencerahannya.

-Lebih jauh larangan atas inses sebagaimana dikisahkan melalui pencerahan Watugunung, sejatinya boleh dianggap merupakan tindakan sosial yang pertama pada manusia purba – sebagaimana diyakini oleh teori Freud. Melarang inses adalah identik dengan meletakkan dasar hukum dan kehidupan sosial pada manusia yang bersangkutan. Jadi mitos Watugunung dengan Hari Raya Saraswatinya melambangkan peletakan dasar kehidupan sosial itu.

-Terkait dan sejajar dengan kesadaran akan perlunya aturan seksual ini adalah munculnya Kesadaran akan waktu, yang dilambangkan oleh Watugunung yang dijadikan penguasa kalender setelah mencapai pencerahannya pada hari Saraswati.

-Namun disini terlihat pula bahwa kesadaran akan waktu di Bali – dan Jawa- sesungguhnya bukanlah berakhir dengan kemenangan pemberontakan, melainkan mengembalikan manusia nya kepada agama atau ajaran akan nilai kesejatian, sebagaimana dilambangkan oleh Watugunung yang pada akhirnya kalah, sadar dan kemudian dijadikan penguasa dari suatu kalender yang mengatur hampir semua kegiatan ritual. Memang boleh jadi pelanggaran dan pemberontakan Watugunung menandakan awal dari kesadaran dari manusia purba sebagai insan yang “otonom” dari Bhwana Agung, tetapi pada akhirnya upaya itu terhendi dan bukanlah kebebasan yang diraihnya; manusia itu (Watugunung) sebaliknya kalah dan menemui pencerahan atau epiphany- di mana dia menyatu kembali di dalam sistem yang tadinya diberontaki. Inti ajaran jelas: keseimbangan kosmis mutlak harus dijaga, dan hal ini diartikan bahwa manusia, sebagai mikrokosmos alias Buana Alit harus tetap bersikap sebagai Buana Alit itu, yaitu mutlak harus menaati peraturan ritual yang merupakan syarat terjaganya keseimbangan makro-kosmis (Buana Agung). Aturan ritual tersebut terkandung di dalam kalender Pawukon dan sistem Wariga; manusia dapat hidup selaras dengan keseimbangan kosmis hanya dengan menyesuaikan tindakan dan kegiatannya dengan baik-buruknya “dewasa” sebagaimana tertera di dalam kalender Pawukon dan Wariga.

-Jadi mitos Watugunung dapat dianggap melambangkan berakhirnya, atau teratasinya, “kegelapan” manusia purba. Dengan Kesadaran yang Tercerahkan sebagaimana terwujud di dalam 1/ pelarangan atas inses, 2/ kesadaran akan waktu dan penyusunan kalender, 3/ penetapan aturan social dan ritual-ritual agama, 4/ epiphany alias pencerahan, terungkap unsur-unsur yang merupakan hakikat dari Jati Diri Manusia yang beradab versi Bali (dan Jawa). Mitos Watugunung sejatinya melambangkan bagaimana manusia keluar dari kepurbaan yang paling purba – yaitu baru muncul sebagai homo sapiens- untuk menjadi makhluk yang beradab, satu satunya makhluk yang terpilih di muka bumi ini. Yang dikisahkan di dalam mitos tiada lain ialah “pengadaban” di dalam dan melalui agama. Oleh karena itu Watugunung dapat dianggap sebagai “cultural hero” –tokoh yang “mengadabkan” masyarakat Bali (dan Jawa) ke arah kemulian manusia seutuhnya.

Di dalam perspektif Bali (dan Jawa) ini, satu satunya manusia yang mungkin ada ialah manusia sebagaimana terlambangkan oleh kisah Watugunung, tetapi tradisi Yunani mempunyai cerita inses dengan kesimpulan yang sama sekali berbeda: mitos Oedipus.

 

Oedipus dan Watugunung

Mitos Oedipus

-Seperti terlihat di atas, mitos Watugunung merupakan suatu cerita inses, dengan pemecahannya yang khas. Tetapi sejatinya cerita inses ditemukan di seluruh dunia, di dalam mitos awal dari hampir semua suku bangsa. Versinya bermacam-macam, tetapi dimanapun cerita itu selalu merupakan cerita “peletakan dasar” dari peradaban. Jadi inses selalu bersentuhan dengan fenomena ‘pengadaban’.

Ajaran berbeda

-Cerita inses yang paling terkenal adalah cerita Yunani Oedipus – yang kemudian diadopsi oleh seluruh dunia Barat. Cerita mitis tersebut berasal dari zaman Yunani purba (+-1000 SM), dan dijadikan pokok tragedi Sophocles yang tersohor bernama Oedipus Raja (awal abad ke-5 SM).

-Sebagai pembanding mitos Watugunung, akan saya kisahkan secara singkat cerita tersebut. Dahulu kala, pada awal bangsa Yunani, ayah Oedipus, yaitu raja Theba Laius, ditakdirkan oleh peramal suci di kuil Dewa Apollodi Delphi bakal dibunuh oleh putranya, yang kemudian akan mengawini ibunya sendiri Ratu Jocasta. Untuk menghindar prahara tersebut, Ratu menyuruh seorang abdi untuk membunuh anak bayinya, si Oedipus yang baru lahir itu dengan meninggalkannya di puncak gunung. Tetapi Oedipus tidak dibunuh, melainkan diserahkan untuk diasuh pada seorang penggembala dari kota Corinthia. Ketika dewasa, Oedipus diberitahu oleh peramal bahwa dia akan membunuh ayahnya dan melakukan inses. Untuk menghindar suratan takdir ini, dia meninggalkan ayahnya (ayah angkatnya yang masih dikira ayah biologisnya) dan menggembara. Tetapi kutukan takdir tak terelakan. Oedipus membunuh ayahanda biologisnya yang tidak dikenalinya ketika bertemu dengan dia di pertigaan jalan oleh suatu pertengkaran kecil yang tak sengaja. Kemudian dia dihadang di perjalanan ke Theba oleh Sphinx betina yang membunuh semua orang lewat, bila tidak mampu menginterpretasikan teka-tekinya yang monster ajukan: makhluk apa yang berkaki empat pada pagi hari, berkaki dua pada siang hari, dan berkaki tiga pada senja hari. Oedipus mampu menjawab bahwa itulah manusia pada ketiga fase umurnya. Mendengar jawaban, Sphinx lalu bunuh diri. Kemudian, setiba di Theba dimana dia disambut sebagai pahlawan pembunuh Sphinx, Oedipus menikahi ibunya dan diangkat menjadi raja. Sementara kematian ayahnya tetap membawa aib dan petaka pada kota Theba. Dan ketika pada akhirnya ditemukan bukti bahwa Oedipus telah membunuh ayahnya dan menikahi ibunya Jocasta, ibundanya itu membunuh diri. Lalu Oedipus membutakan diri. Dia dianggap mengotori Theba oleh Creon, raja baru di kota Theba, beliau lalu mengusirnya. Oedipus buta kemudian mengelelana secara merana tanpa arah, ditemani putri bungsunya Antigona, sambil mengutuk para dewata…..

-Cerita Oedipus di atas menempati suatu posisi yang amat penting di dalam sejarah pemikiran Barat dari awal abad ke-20. Yang disebut  Oedipus komplex, yaitu hasrat “untuk membunuh ayah” – yaitu memberontak terhadap ayah- dan menikahi ibu – yaitu mencintai ibu secara berlebih hingga mengawininya- dijadikan satu alat kunci dari teori “analisa bawah sadar” serta dari terapi neurosis dan psikosis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, perintis ilmu psikanalisa (psycho-analysis). Menyusul karya-karya perintis Freud, mitos-mitos inses ala Oedipus yang ditemukan di seluruh dunia dikaji dengan pisau analitis Freudian, hal mana memperkuat keyakinan adanya struktur dasar yang sama pada psike (struktur batin) semua manusia – meskipun kesimpulan dapat berbeda, seperti akan kita lihat di bawah ini dalam kajian ajaran Watugunung.

 

Perbandingan mitos Oedipus dan Mitos Watugunung.

Amatlah menarik melakukan perbandingan antara mitos Oedipus dan mitos Watugunung. Di dalam garis besar ceritanya, kedua mitos ini sekilas mata amat mirip dari sudut struktur dasar narasi, dan memang membenarkan keyakinan teori Freudian bahwa mitos inses bersifat universal. Kedua cerita mirip. Baik Oedipus maupun Watugunung telah putus hubungan dengan ayahnya – Oedipus membunuhnya, sementara Watugunung ditinggal oleh Giriswara dan kemudian mengalahkan Wukir- dan kemudian menikahi ibunya yang telah lama ditinggalkannya. Kedua tokoh melakukan inses atas takdir dewata – diketahui oleh peramal dalam halnya Oedipus, sementara hal mana itu merupakan kesaktian yang dianugerahkan oleh Siwa pada Watugunung. Keduanya juga jaya dan menjadi raja. Pada akhirnya keduanya pula mengancam kestabilan dunia – Oedipus dengan menjadi sumber petaka bagi Theba, Watugunung dengan menggoyangkan baik dunia maupun kahyangan para dewata.

Namun pada taraf ini, yaitu pada reaksi kedua tokoh terhadap para dewata, yaitu sikap mereka terhadap agama, struktur kedua mitos ini mulai berbeda dengan sangat jelas:

-Oedipus adalah sebagai wakil dan sekaligus lambang “manusia”. Hal ini nampak dengan jelas ketika dia memecahkan teka-teki yang diajukan Sphinx kepadanya. Ketika berhadapan dengan nasib buruk berupa inses yang tidak difahaminya, dia “berontak” dan membutakan diri sebagai lambing kebutaan akan makna hidup yang sesungguhnya. Dia kemudian dibuang dan pergi berkelana, dengan hanya ditemani oleh putri bungsunya.

-Kebutaan Oedipus dapat dianggap sebagai lambang ketidakpengertian tokoh ini atas nasibnya. Ketidakpengertian itu lalu dijadikan dasar penolakannya- atau sikap sangsinya- terhadap agama: “tiada satu dewa pun akan berbicara bagi saya”, kata Oedipus pada akhir tragedi Sophocles.

-Dengan sikap seperti di atas ini, tak ayal lagi bahwa Oedipus hadir sebagai tokoh Yunani, dan “Barat”, yang amat tipikal. Bahkan, sejajar dengan tokoh-tokoh Yunani lain seperti Sisiphus, dia dapat dianggap sebagai salah satu lambang manusia Barat. Dia pakai rasio untuk menanggulangi soal dam misteri yang dihadapinya – dilambangkan oleh peristiwa Sphinx. Tetapi ketika tertimpa nasib buruk, dia menolak suratannya. Meski agama tidak ditolaknya secara absolut, kebenarannya senantiasa disangsikannya. Pada akhirnya yang dihadapi manusia yang menyangsikan “dewa” itu tiada lain adalah Angst – nama lain dari kebutaan. Dia tampil sendirian sebagai “ego”, di hadapan misteri-misteri hidup.

-Jadi mitos Oedipus dapat dianggap sebagai salah satu titik “awal” dari antroposentrime budaya Yunani dan kini Barat, dengan tokoh Oedipus sebagai prototip manusianya – suatu ragam manusia yang hadir terpisah dari kosmos, suatu ragam manusia yang rasional dan  “bebas”, tetapi terongrong oleh kebutaan/ kehampaan.

Adapun situasi Watugunung amat berbeda. Memang, seperti Oedipus, Watugunung pun menantang para dewata. Tetapi konteksnya sangat berbeda. Cerita Watugunung tidak melambangkan kisah manusia yang memberontak terhadap nasib dan agama untuk pada akhirnya mencapai “otonomi” sebagai “ego” rasional yang mengalami “kebutaan” dan Angst. Dia sebaliknya mengisahkan cerita seorang tokoh mitis yang ingin menjadi padanan para dewata- ia dikisahkan ingin berkuasa atas pria dan wanita, melakukan inses, ingin menikahi Nawang Ratih dan menyerangan kahyangan. Tapi dia pada akhirnya gagal menjadi “dewa” – karena dihukum atas inses dan sikap lancangnya terhadap dewata.

-Dengan dihidupkan kembali di dalam keadaan yang tercerahkan, Watugunung pada akhirnya takluk pada ritme waktu dan aturan ritual sebagaimana ditentukan oleh para dewata. Bersamaan dengan itu, dengan diangkat menjadi penguasa kalender, dia  melepaskan sikap angkara murkanya, yaitu “egonya”, untuk mengalah pada aturan dan kepercayaan kolektif yang tengah disusun dewa itu. Pendeknya, dari pemberontak, dia menjadi penegak agama. Dengan ini, dia dengan sendirinya “gagal” menjadi “manusia” otonom di dalam artian Barat. Tetapi, menariknya, hal itu tidak dipandang sebagai suatu kegagalan, melainkan sebagai suatu pencerahan dan suatu kemenangan, yang terulang setiap tahun melalui siklus kalender pada hari Sarawati, Hari Kesadaran.

-Disini terlihat dengan jelas perbedaan antara mitos dan tokoh Watugunung dan Oedipus. Bila mitos Oedipus melambangkan antroposentrisme Barat, Mitos Watugunung dapat dianggap sebagai salah satu titik penentu dari “kosmo-sentrisme” Bali dan Jawa, dengan Watugunung sebagai salah satu prototip manusianya. Dapat dianggap sebagai suatu ragam manusia yang berupaya hidup selaras dan senafas dengan ritme kosmos, yang tidak “bebas”, tetapi merasa tercerahkan.

Jadi “kebutaan” dan “pencerahan” yang dihadirkan masing-masing dalam cerita Oedipus dan cerita Watugunung merupakan dua poros yang membedakan sudut pandang dari kebudayaan Yunani dan Barat di satu pihak, dari kebudayaan Bali dan Jawa di lain pihak. Di dalam sikap Oedipus yang “otonom” dan menyangsikan agama (dewa) terlihat benih benih pemikiran Plato (hermeneutika), tradisi pencerahan yang dipelopori Descartes itu, (kerasionalan subyek) hingga tradisi skeptisime modern, mulai dari Nietzche sampai Heidegger, Sartre dan Derrida. Sedangkan di dalam sikap Watugunung yang tunduk pada sabda dewa yang diberontaki terlihat asal tradisi ritualis Bali dan mistik Jawa sebagai tradisi timur.

Lebih jauh lagi Oedipus dan Watugunung tidak lagi melambangkan perbedaan pendekatan antara budaya Yunani-Barat dan Bali-Jawa, melainkan pertarungan yang ada di dalam diri kita sebagai manusia modern: apakah kita bersikap ala Oedipus dan menyangsikan suratan agama, yang memang tidak mungkin difahami secara rasional, demi tampil sebagai manusia yang otonom, ataukah kita sebaliknya bersikap ala Watugunung dan menyerah total pada suratan agama itu, tanpa perlu ada upaya untuk memahaminya.

Pilihannya – atau suratannya- ada pada kita.

Kajian komparatif di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak reinterpretasi modern dari cerita-cerita tradisional Bali dan Jawa yang dapat digali untuk ditawarkan kepada pemikir dan seniman untuk merangsang kreativitas selanjutnya[11]. Bila dijadikan sastra, atau teater tragedi, dengan problematika psikologis dan filosofis yang dikandungnya, saya yakin hal ini akan memperluas posisi kebudayaan lokal di dalam kancah nasional dan internasional.

Tawaran kreatif ini kini saya limpahkan kepada kita semua untuk dijawab sebagaimana mestinya.

Titiang ngaturang Panganjali umat

OM, SANTI SANTI, OM


[1] Tulisan ini disajikan dalam versi Indonesia pada kesempatan Forum Naskah Teater Indonesia, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta bekerjasama dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tanggal 20 Oktober di Badan Pengembangan Bahasa.

[2] Mitos Watugunung agaknya dibawa ke Bali pada waktu pendudukan Majapahit. Meskipun Jawa telah kini terIslamkan, mitos tersebut masih dikenal di kalangan luas masyarakat Jawa. Detil-detil kajian di bawah akan mengacu pada versi Bali dari mitos tersebut.

[3] Siklus ini meliputi 30 Wuku dari 7 hari, yang mengambil nama dari tokoh-tokoh mitos Watugunung. Di dalam ke-210 hari dari siklus yang disebut Pawukon ini berputar-putar tidak kurang daripada 10 jenis “-wara”, yaitu “minggu-minngu” yang terdiri dari satu (ekawara) sampai sepuluh (dasawara) hari. Untuk penjelasan dari system ini, selain lontar dan buku tentang wariga yang umum di Bali, lihat Darta, I G.N., Couteau J., Breguet G. Time, Rites and Festivals, Babbooks, Jakarta 2013.

[4] Misalnya di Babad Tanah Jawa (Olthof, W.L.,”Poenika serat Babad Tanah Djawi saking Nabi Adam doemoegi in taoen 1647, 1941, Gravenhage. Untuk versi lisan, lihat Covarrubias,M, “Island of Bali,” 1937, New York; dan Simpen, W., “Katuturan Purwaning Wariga”, 1988, Bali.

[5] Naskah ini merupakan naskah saduran, kecuali bagian akhir – berhuruf tebal, yang diterjemahkan secara lebih ketat. Tidak ada peristiwa penting yang dilewatkan. Adegan peperangan disingkat menjadi beberapa kalimat saja.

[6] Sapta Resi adalah penguasa planet- planet dan penguasa saptawara, yaitu minggu 7 hari asal Sumer (Mesopotamia) yang kini diterapkan di seluruh dunia. Panca Resi adalah penguasa pancawara, yaitu “minggu” 5 hari. Catur Lokaphala adalah penguasa mata angina, serta penguasa caturwara, yaitu “minggu” empat hari.

[7] Salah satu Sapta Resi, disebut disini sebagai mertua Batara Wisnu,

[8] “Dia yang melihat”, nama pribumi Bali untuk seorang Batara yang disebut sebagai ipar Batara Wisnu.

[9] Under bracket refer is the crossing of the seven-day week and the five-day week (see below).

[10] Baik raja Wuku maupun Panca-resi dijadikan penguasa dari

[11] Sementara ini, yang telah dilakukan oleh seniman dan pemikir Bali ialah mereinterpretasi naskah-naskah Barat dengan kacamata Bali. Di dalam hal ini harus menyambut upaya reinterpretasi yang dilakukan oleh I Wayan Dibia atas naskah Sophocles di dalam geguritannya Adhipusengara. Tokoh Oedipus “membuang diri untuk menghukum diri atas dosa yang telah diperbuat selama ini…untuk menempuh jalan kematian seperti dikehendaki Tuhan. Jadi I Wayan Dibia melakukan bacaan “Bali” atas mitos Oedipus: Oedipus bukanlah putus asa dan “buta” terhadap “arti hidup”, tetapi “berdosa” dan menghukum diri sesuai dengan ajaran agama. Interpretasi Bali ini amat menarik dan sah-sah saja. Yang kini dinantikan ialah seniman/penulis yang akan menawarkan suatu bacaan Bali atas cerita Watugunung, iatu yang akan menampilkan Watugunung dirongrong kesangsian dan Angst seperti “saudaranya” Oedipus.


Daftar Bacaan 

Anandakusuma, S.R.: Putru Astika Carita, Denpasar 1981.

Belo, J.: Bali, Temple Festival, Seattle, 1953.

Brandes, J.: De maandnaam Hapit, TITLV, deel XLI, 23-24, Batavia 1899,.

Bulke, C.: La naissance de Sita, BEFEO XLVI 1952: 108-117.

Couteau, J. :Watugunung, inceste et calendrier, Archipel 35, 1988.

Covarrubias, M.: “Island of Bali”. New York, 1936, terbit kembali Oxford UP, 1972.

Damais, L.C. : Epigrafi dan Sejarah Nusantara, Pilihan Karangan Louis-Charles Damais, Jakarta 1995; terutama Penanggalan Jawa Kuno: 101-109,” diterjemahkan dari Le calendrier de l’ancienne Java, Journal Asiatique 1967: 133-142; dan Tentang Perlambangan Warna pada Mata Angin: 1110-164, diterjemahkan dari Etudes javanaises III: à propos des couleurs symboliques des points cardinaux, BEFEO LVI, 1969: 75-118.

Darta, I G.N., Couteau J., Breguet G.: Time, Rites and Festivals, Babbooks, Jakarta 2013.

Dibia, I Wayan: Gaguritan Adhipusengara”, Yayasan I Wayan Gria, Singapadu, 2006.

Gina, W.: “Pengantar Wariga Dewasa”, 1992.

Geertz C.C: Person, Time and Conduct in Bali: An Essay in Cultural Analysis, Southeast Asia Program, Cultural Report Series 14, Yale, 1966.

Goris, R.: Holidays and Holy Days, in J.L. Swellengrebel, ed., di Bali, Studies in Life, Thought and Ritual, KITLV, Dordrecht-Holland/Cinnaminson-USA, 1984 (diterjemahkan dari Bali’ hoogtijden), TITLV, LXXIII, 1933.

Hooykaas, C.: Kama and Kala: Materials for the Study of Shadow-Theatre in Bali, Amsterdam, 1973.

Hooykaas, C.: Cosmogony and Creation in Balinese Tradition, KITLV, The Hague, 1974.

Hooykaas, C.: A Balinese Temple Festival, Bibliotica Indonesica, KITLV 15, The Hague, 1977.

Korn, V.E. De dorpsrepubliek Tnganan Pagringsingan, Santpoort, 1933.

Lefort, J.: La saga des calendriers ou le frisson millénariste, Paris, 1998.

Olthof, W.L. ed: Poenika serat Babad Tanah Djawi saking Nabi Adam doemoegi in taoen 1647.,” “s Gravenhage, 1941.

Ossenbruggen, F.D.E. van: 1977.Java’s Mocapat: Origins of a Primitive Classification System, di P.E. Josselin de Jong (ed.): “Stuctural Anthropology in the Netherlands, KITLV, Translation Series 17, Den Haag, 1977; diterjemahkan dari De Oorsprong van het Javaansche begrip montja-pat, in verband met primitieve classificaties, 1918.

Pigeaud Th: Javaans-Nederland Handwordenboek, Groningen-Batavia, 1938.

Pigeaud, Th.G.: Literature of Java, 3 vols, The Hague, 1967-1970

Simpen, W.: Katuturan Purwaning Wariga, no place (Bali), 1988.

Warna, W. and Murdha, I.B. (ed.): Usana Jawa Usana Bali, Bali 1986.

Zoetmulder, P.J.: Old-Javanese English Dictionary, The Hague, 1982