Film tak melulu sebagai tontonan yang menghibur semata. Film mestinya mampu menyentuh hati penontonnya, merasuki nurani, dan menuntun laku budi menjadi lebih terpuji.
Geliat dunia perfilman tanah air kian subur. Sejak hadirnya karya-karya sineas Indonesia dengan kualitas terbaik, menjadi sebuah pemacu bagi sineas muda untuk memulai debut filmnya. Berbagai ruang untuk menemukan sineas muda Indonesia pun kian terbuka lebar. Salah satunya berasal dari Purwa Carita Campuhan, sebuah rangkaian pelatihan film hingga kompetisi diwadahi dan didanai.
Adanya Purwa Carita Campuhan berangkat dari ide yang sederhana. “Kegiatan ini muncul dari hal sederhana, kami Puri Kauhan Ubud menyelenggarakan sebuah konservasi air, dari hulu sampai hilir. Melalui kegiatan itu kami ingin melakukan pendekatan dari sisi budaya bahwa cerita rakyat Bali bisa dikemas menjadi karya film,” ujar Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud, Anak Agung Gede Ngurah Ari Dwipayana.
Bermula sejak tahun lalu, kegiatan kompetisi Purwa Carita Campuhan terisi berbagai kegiatan di antaranya pelatihan film sebagai tahap pertama sejak 1 hingga 15 September 2022. Pelatihan tersebut menghadirkan para pembicara yang telah mumpuni dibidangnya. Seperti pelatihan tentang cerita rakyat diisi oleh Mas Ruscitadewi, pengembangan ide cerita oleh Pritagita Arianegara (sutradara film) dan Film Sarad, serta pembuatan proposal dan pitch deck oleh John Badalu sebagai produser film dan programmer.
Sebanyak 30 peserta mendalami berbagai cerita rakyat Bali dengan topik hubungan manusia dengan alam, khususnya yang mengarah pada pemuliaan air dan pelestarian alam. Sebagai penyelenggara, Puri Kauhan Ubud bekerja sama dengan Minikino, organisasi yang aktif menguatkan film pendek di Indonesia.
Melalui hasil kurasi dari Happy Salma, Robi Navicula, dan I Wayan Suarmaja terpilih 15 proyek film terbaik. Kelima belas sineas tersebut harus melalui kompetisi tahap akhir, yakni pitching project film di depan dewan juri akhir, yaitu Garin Nugroho, Tjokorda Raka Kerthyasa, dan Anak Agung Gde Ariawan. Sekian kali penjaringan itu terakumulasilah 5 proyek film terbaik dan berhak atas dana produksi film sebesar 25 juta rupiah.
Yogyakarta Berani Tampil Beda
Rona bahagia pada raut wajah Dhana Paramita masih terlihat jelas. Perempuan asal Yogjakarta itu sendirian maju ke depan ruang Studio Satu, Sinema XXI Level 21 Denpasar disaat keempat sineas lain didampingi oleh kru film lainnya. Dhana, sebagai penulis naskah, pengarah, sekaligus animator bersama rekannya Petra Patria hadir dengan film pendek bertajuk I Swarnangkara.
Keempat sineas lainnya menggunakan teknik produksi film dengan aktor utamanya adalah manusia. Namun, duet sineas Yogyakarta, Dhana dan Petra berani tampil beda dengan menggunakan patung tanah liat sebagai aktor untuk penggarapan film animasi stop motion.
Seusai pemutaran kelima film pendek, Dhana menuturkan awal mula dirinya bergabung dalam proyek film pendek stop motion perdananya. “Sebenarnya ini Bang Petra sendiri yang duluan submit, dia submit ide ceritanya dulu. Di tengah jalan dia kebingungan dan mencoba mengontak teman-temannya cuma banyak yang menolak karena tidak familiar dengan animasi dan stop motion,” ungkap Dhana.
Penolakan rekan-rekan Petra menghantarkan perempuan lulusan ISI Yogyakarta ini untuk membersamai Petra Patria merampungkan ide yang telah terkirim ke pihak panitia Purwa Campuhan Ubud. “Saat aku dikontak Bang Petra, aku gas aja,” kenangnya sembari tertawa lepas.
I Swarnangkara sendiri merupakan cerita rakyat asli Bali yang mengisahkan seorang pemuda bernama I Swarnangkara dengan keserakahannya membabat habis pepohonan di hutan untuk memperkaya diri sendiri. Kisah aslinya, I Swarnangkara mendapatkan ganjaran atas perbuatannya. “Menurut Bang Petra cerita aslinya kejam dan berdarah-darah,” ungkap Dhana.
Alhasil keduanya pun memutar otak agar pesan yang disampaikan bukan terletak pada sadisnya alam saat murka. Melainkan kembali pada cerminan diri sendiri dan kesadaran untuk membenahi perlaku kepada alam yang telah murah hati memberi kehidupan pada manusia.
“Sebenarnya manusia itu sok tahu. Dipikiran kita pasti alam marah, pasti kamu marah, padahal nggak, padahal hanya praduga kita aja. Siapa tahu alam tidak marah, justru dia akan tetap tumbuh dan baik kepada manusia,” terang Dhana.
Akhir film pendek animasi I Swarnangkara, sang tokoh utama berdamai dengan rasa bersalahnya dan alam yang sejatinya memanglah maha pengasih dan penyayang memeluk I Swarnangkara dan menjelma sebagai tanaman baru yang tumbuh disisi I Swarnangkara. Sebagai pendatang baru di dunia film pendek animasi, Petra dan Dhana berhasil mengemas setiap set dengan apik.
Pembuatan latar tempat stop motion yang memakan waktu sebulan itu berhasil membangun suasana film, yang awalnya tegang dan mencekam berakhir meneduhkan. Proses pengambilan gambar selama dua minggu di Yogyakarta ini, membuat Dhana dan para kru film harus ekstra sabar terhadap karakter tanah liat yang mudah kering dan retak. “Jadinya kalau setiap ambil adegan kita rehat, eh boneka clay-nya udah kering dan ada retak-retaknya kita tempel terus,” ujar Dhana yang bercita-cita untuk melenggang pada kompetisi film pendek animasi lainnya.
Boni dan Kacang Dari Mencuri Hati Penonton
Tak hanya I Swarnangkara, keempat film lainnya telah berupaya memberi secercah tuntunan bahwa memuliakan air merupakan kewajiban umat manusia. Penayangan film diawali dengan Boni, sebuah film pendek yang mengisahkan seorang anak perempuan bernama Boni. Ida Made Dwipayana, sang produser beserta tim mengemas kisah buah boni, atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan buah lobi-lobi sebagai buah yang berharga di Karangasem. Buah itu pun kian langka dan Boni sebagai tokoh utama, seorang anak kecil polos berusaha menyelamatkan buah boni.
Apakah usahanya berhasil? Akhir film ini sulit ditebak, ketika tokoh Bibi Boni dalam film ini berteriak ‘Boniii’ entah maksudnya hanya memanggil Boni atau Bibinya berseru bahwa ada pohon boni yang berhasil tumbuh di sungai. Sebab, Boni sempat menebar buah boni yang bentuknya berupa biji kecil-kecil berwarna merah kecoklatan.
Kisah dari film pendek Kacang Dari tak kalah menarik hati. Tokoh protagoni yang hadir dalam film ini layaknya seorang ibu yang mendambakan seorang anak. Sosok ibu adalah ibarat air yang menghidupi setiap jenis tanaman. Kebahagian tokoh utama kian mereka tatkala dirinya menemukan sebuah biji kacang bercahaya dan langsung ditanaminya. Biji kacang tersebut akhirnya menjadi seorang gadis cantik dan diberi nama Kacang Dari. Sayangnya, kebahagiaan mereka diusik oleh tokoh antagonis, yang merusak kebahagiaan Ibu dan Kacang Dari.
Para aktor dalam film ini begitu menghayati peran, telak sudah penonton terbawa perasaan Sang Ibu dan Kacang Dari, sama-sama merasakan kehilangan. Lantunan nyanyian keduanya begitu lembut, sampai-sampai terdengar pula suara tangis haru dari bangku penonton. Dodek Sukahet dan kru Film Kacang Dari, berhasil mengemas cerita rakyat Pujungan menjadi karya yang tak hanya indah secara teknik dan visual. Film pendek ini, tetap berupaya mengemas unsur tuntunan di dalamnya dengan apik. Baik dari nyanyian dengan sisipan pesan cinta kasih terhadap alam yang didukung dengan kemampuan akting para aktor nan mumpuni.
Dua film lainnya, I Tundung dan Tonya Bindu keduanya sama-sama menarik dan berusaha untuk memberikan pesan agar manusia senantiasa menjaga alam. I Tundung mengisahkan seorang pemuda yang harus merelakan dirinya menjadi sosok ular penjaga hutan selamanya dan sang pujaan hati tak dapat mengenali dirinya lagi.
Sedangkan Tonya Bindu mengisahkan seorang pemuda yang kehilangan sosok ayah karena sang ayah mengalami musibah tenggelam di sungai. Tenggelamnya sang ayah pun dikaitkan oleh kisah mistis keberadaan hantu yang membuat orang tenggelam. Padahal, hantu tersebut adalah ‘penunggu baik’ dan tenggelamnya sang ayah lantaran air sungai yang begitu keruh dan penuh sampah alhasil mempersulit pandangan saat berenang.
Sayangnya, kedua film ini belum mampu mengemas pesan dengan rapi, pesan yang tersampaikan terlalu gamblang. Seperti ‘dinasihati’ dan pada film Tonya Bindu, akting pemerannya belum matang dan beberapa property terasa tak sesuai dengan linimasa waktu film. Semisal pada adegan sembahyang bersama beberapa tokoh ada yang mengenakan baju polo padahal dalam keseharian tokoh dalam film ini bertelanjang dada. Jika memang mengangkat rentang waktu di masa lalu, kejelian dari sisi kostum perlu diperhatikan. Begitu pula para tokoh I Tundung, ada yang aktingnya masih belum maksimal.
Terlepas dari hal-hal tersebut, keunggulan akan senantiasa berdampingan dengan kelemahan. Kelima film ini tetaplah yang terbaik dan telah melewati sekian tahap seleksi hingga sampai ke produksi dan penayangan perdana di Bali. Selain sebagai upaya konservasi air dengan pendekatan kebudayaan, adanya kegiatan seperti ini diharapkan pula sebagai kelestarian cerita rakyat Bali dan bangkitnya industri perfilman dan karya sineas negeri.