Skip to content
Pemuliaan terhadap Air sebagai Sumber Kehidupan
Pemuliaan terhadap Air sebagai Sumber Kehidupan
Lagi-lagi Puri Ubud muncul ke permukaan membawa inspirasi sosial. Kali ini datang dari Puri Kauhan Ubud. Tokohnya adalah Dr. AAGN Ari Dwipayana (Gung Ari), selaku Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud. Setelah cukup lama melakukan “tapa-semadi” di UGM, lalu terpilih menjadi Staf Khusus Presiden Jokowi (sekarang sebagai Koordinator Staf Khusus Presiden).
Sudah hampir delapan tahun lamanya malang melintang di Istana Negara. Lalu Gung Ari muncul di tanah kelahirannya, dengan pemikiran tentang kebudayaan Bali, dengan tema : Pemuliaan Terhadap Air Sebagai Sumber Kehidupan.
Bahwa air sebagai sumber kehidupan, telah diterima logikanya secara universal. Tetapi bagaimana caranya untuk memuliakan air, hingga saat ini masih menjadi pertanyaan besar. Air yang maha penting bagi kehidupan, telah diperlakukan sebagai hal yang tidak penting. Air telah dikotori, di-polusi, dll. Demikian juga perlakuan kita terhadap udara, bumi, pertanian, dll.
Bahwa kerajaan-kerajaan besar di dunia, selalu membangun embrio kerajaannya di kawasan yang dekat dengan sungai (air). Termasuk Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dll. Lalu air dimuliakannya, sebagai sumber kehidupan, dengan menjaganya dari pengotoran. Kemudian muncullah kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Rsi Markandya ketika membangun sistem subak, memulainya di kawasan yang dekat dengan sumber air di Subak Puakan, kawasan Desa Taro-Gianyar.
Saya beberapa kali hadir dalam acara-acara yang membahas tema tersebut. Dan dalam acara itu, saya berusaha mendengarkan dengan cermat uraian pemikiran dari Gung Ari. Kesan saya, Gung Ari sangat memahami konsep kebudayaan Bali.
Meskipun cukup lama bermukim di Yogyakarta. Toto-titi Bahasa Bali-nya sangat bagus. Penampilannya tenang, ramah, dan ilmu-pengetahuannya terus di upgrade. Saya merasakan, penampilannya mirip-mirip dengan penampilan dan karakter Gubernur Prof. Ida Bagus Mantra. Barangkali, Gung Ari memiliki potensi sebagai Gubernur Bali.
Pemikiran Gung Ari yang saya ingat adalah bahwa, pembangunan (di Bali) harus dimulai dari hulu. Seharusnya dimulai dari pemuliaaan terhadap gunung/bukit (Giri Kerthi), hutan (Wana Kerthi), dan danau (Ranu Kerthi). Kalau di hulu sudah baik, maka di tengah dan di hilir akan baik. Saya sependapat dengan pemikiran itu. Karena analog dengan konsep ilmu irigasi. Bahwa dalam pengembangan sistem irigasi, maka harus dimulai dari hulu. Kalau di hulu sudah baik (airnya besar dan dikelola dengan baik), maka kondisi irigasi di tengah dan hilir juga akan baik.
Akhir-akhir ini, wacana dalam konteks pemberantasan korupsi juga demikian. Bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari hulu. Kalau di hulu (para pemimpin di Jakarta) memang bersih dan tidak ada bau korupsi, maka di hilir (kalangan masyarakat bawah) pasti ikut takut korupsi. Sering juga diwacanakan sebagaimana halnya dengan ikan. Ikan itu mulai membusuk dari kepalanya. Namun kelemahan politis proses pembangunan yang dilaksanakan di hulu adalah, bahwa output dan juga outcomenya tidak segera kelihatan dan dinikmati publik/konstituen.
Para pemimpin politik umumnya lebih suka memulai pembangunan di hilir. Membangun jalan tol dan infrastruktur lainnya, yang terkadang harus menghancurkan bukit, hutan, sawah, dan merusak lingkungan alam. Karena pembangunan semacam ini dengan cepat bisa dinikmati konstituen, dan membangun citra sang pemimpin politik. Meskipun konskwensinya sangat berat. Karena merusak alam Bali, merusak eksistensi sawah, merusak subak, menghancurkan kehidupan petani yang sudah terlanjur miskin, merusak kebudayaan Bali, merusak potensi ketahanan pangan yang berkelanjutan, dll.
Kolega saya di Fak. Pertanian, Prof. Wayan Sandi (ahli tanah dan lingkungan) dalam orasi ilmiahnya mengatakan dengan jenaka. Bahwa Pulau Bali ini, persis seperti halnya tubuh wanita.
Di bagian tengahnya harus lebat dan basah. Mungkin maksudnya bahwa di bagian tengah Pulau Bali hutannya harus lebat, dan danauya harus tetap ber-air. Kalau tidak demikian, maka alam dan masyarakat Bali akan hancur.
Tahun ini ciri-cirinya sudah terjadi. Banjir dan longsor telah mulai datang dengan hebat. Hal itu adalah sebuah pertanda bahwa di kawasan hulu Pulau Bali, sudah rusak parah. Saya menyebutnya bahwa proses klinisasi, sudah dan sedang terjadi di hulu dengan hebat.
Bila tidak ada perubahan strategi pembangunan di Bali, maka bahaya yang lebih besar, bisa saja mengancam Pulau Bali.
Dengan demikian, apapun yang kita bangun di hilir dengan dana yang sangat besar, akan lenyap dalam sekejap. Aset rakyat yang hidup di hilir, juga akan demikian adanya.
Asetnya yang ditabung selama bertahun-tahun, akan hancur berantakan, hanya dalam hitungan jam. Oleh karenanya, diperlukan pemimpin Bali yang siap untuk tidak populer. Yakni pemimpin Bali yang memuliakan hulu, dan kemudian secara perlahan menuju ke hilir. Dan juga pemimpin Bali yang memuliakan kebudayaan Bali, dalam bentuk dimensi nilai-nilai, interaksi sosial, dan kebendaan (artefak).
Memuliakan air, berarti memuliakan gunung, hutan, dan danau terlebih dahulu. Bila program ini sudah berjalan dengan baik, maka sawah dan subak di Bali akan baik dan ikut dimuliakan (Swi Kerthi).
Selanjutnya, laut di Bali akan baik dan ikut dimuliakan (Segara Kertih), dan akhirnya masyatakat Bali akan bertambah baik, dan ikut dimulaikan (Jagat Kerthi). Itulah hakekat dari Sad Kerthi. Bila kita membangun dari hulu, maka sekali lagi, ada pertanyaan besar. Masih adakah pemimpin politik yang siap untuk tidak populer, di masa sistem politik yang libral seperti sekarang ini? Tetapi pemimpin seperti itulah yang diperlukan oleh Pulau Bali di masa yang akan datang.
*) Penulis, adalah Guru Besar (Emeritus) pada Fak. Pertanian Unud dan Ketua Stispol Wira Bhakti.
Page load link