Profil Gung Lingsir, Saksi Sejarah di Masa Revolusi Kemerdekaan

Anak Agung Gde Raka menjadi satu di antara pemuda saksi sejarah ketika zaman revolusi kemerdekaan. Penglingsir Puri Kauhan Ubud ini, menceritakan kisahnya kepada Tribun Bali, beberapa waktu lalu.
Kemudian kisahnya ini diunggah ke akun YouTube milik Puri Kauhan Ubud. Awal kisahnya, ketika zaman itu radio menyiarkan semangat Bung Tomo agar pemuda membentuk PRI. Atau kepanjangannya adalah Pemuda Republik Indonesia. Tetua yang kemudian akrab disapa Gung Raka ini, ikut ke dalam PRI Ubud Kelod.

“Waktu itu ada juga PRI Ubud Kaja, tapi untuk Ubud Tengah belum ada. Lalu Sambahan, Bentuyung, Padang Tegal, Taman, semua wilayah ini mempunyai pasukan,” jelas tetua berusia 92 tahun ini. PRI Ubud, dikomandoi Suweta, bekas Cudanco/Peta. “Suweta ini lah yang melatih perang gerilya. Baris-berbaris, bagaimana cara perang gerilya, dan sebagainya,” katanya. Suweta ini juga merupakan teman Gung Raka satu kelas ketika ia SD.

Cerita berlanjut, ia kemudian dari di Ubud, bersama PRI ikut membawa senjata ke Baha dengan pemuda Ubud. “Kami jaga malam, kalau Jepang banyak keluar malamnya itu kami rebut senjatanya di Blahkiuh,” sebutnya, sembari terus mengingat kisah lampau itu. Tak dinyana, Jepang sudah keluar dan di sana kosong tak berpenghuni. “Jepang sudah tahu lebih dahulu,” imbuh pria yang juga kerap dipanggil Gung Lingsir ini. Setelah siang, ia kembali ke Ubud berbaris sembari bernyanyi-nyanyi.

“Cokorda Putra komandannya, sesampai di Ubud semua apel di alun-alun sampai penuh. Sebab dari Taman, Padang Tegal, Ubud, Bentuyung, semua ada,” katanya. Sesudah itu, ternyata tentara Jepang datang dari timur membuat semua berhamburan lari. “Saya juga lari dan bersembunyi bersama Cokorda Putra di pohon beringin yang besar, sebab kami tahu di mana lubang-lubang pohon itu,” sebutnya. Pihaknya membawa bambu runcing, sementara Jepang membawa sangkur.

“Namun Jepang tidak berani membunuh, karena mereka waktu itu sudah kalah. Hanya menjaga keamanan saja,” katanya. Ada orang Bentuyung yang tidak sempat melarikan diri, dan akhirnya diangkut ke Gianyar, kemudian dipukuli. “Ubud itu pro republik, sementara Gianyar pro PPN yang pro Belanda,” ujarnya. Ia mengaku tidak berani tidur di rumah. Ia kemudian dengan rekan-rekannya, ke Negari, Singapadu, dan Kutri. “Sebab di Kutri kan markas FL1 (Fighting Lion 1), saya menjadi penghubung, dan mencari senjata,” jelasnya.

Kemudian ada laporan bentrok di Gianyar, dan hampir perang di Titi Besi, Tengkulak. Ada yang ditembak, kemudian semua berlari. “Dikira bedil kosong, lari semua,” imbuh Gung Lingsir. Ubud kemudian, kata dia, mundur ke Bedulu, lalu kembali lagi.

Keesokan harinya, ternyata Nyepi dan mencari mayat I Kajeng, korban yang kena tembak sebelumnya. Setelah itu, Gung Lingsir pun berpindah-pindah menghindari kejaran. Ubud kala itu menjadi wilayah sangat sepi, hanya suara lolongan anjing yang menghiasi. “Saya kemudian pergi dan tinggal di Negari,” sebutnya. Selama dua hari Gung Lingsir berada di sana. Ada temannya yang pergi ke Batubulan, dan kemudian di jalan bertemu dengan truk NICA. Truk NICA ini ada yang berisi 5,6,3 orang, dan sekitar 50 truk yang lewat. “Bingung kami, akan menuju kemana ini truk NICA,” jelasnya.

Gung Lingsir kemudian menyusul ke Batubulan, setelah jam 4 pagi ia melihat petani-petani ke sawah berbau rokok putih. Kemudian terlihat tentara Belanda (NICA) berderet. Tak berselang lama, suara rentetan tembakan menggema sekitar pukul 05.30 pagi. Tembakan terdengar menuju utara ke Singapadu, sebab kabarnya di Singapadu ada senjata. Kemudian di Batubulan masyarakat nepak kulkul, semua menyingkir ke Pagutan di barat.

“Di Pagutan ada markas Gus Japa, saya ke sana dan disuruh jaga diberikan senapan Cis isinya 24 kretek,” sebutnya. Senjata ini bisa membunuh orang, dan pasca itu Batubulan juga sepi. Kemudian ia mencari ayam dan dibawa ke markas untuk makanan. Gung Lingsir ikut jaga malam. Baku tembak terus terjadi dari Singapadu, sampai ke Pagutan, dan ia mundur ke Sedang, lalu ke Pemanis, lanjut ke Penatih menyingkir.

“Saya kemudian ikut ke barat bersama tiga orang, ada kabar senjata dari Jawa datang dan diperlukan tenaga,” imbuhnya. Hingga di Sudamara, Gung Lingsir kemudian menunggu agar aman menyeberang ke Bengkel Anyar ke markas. Setelah sepi dan aman, lalu berangkat malamnya berjalan sampai di Munduk Malang. Terus berjalan ke Utara, lalu diberikan lokasi rumahnya. Gung Lingsir kemudian melihat senjata 12,7 penembak udara. Penerbang udara akhirnya menembak helikopter yang datang dan berhasil.

Datang kemudian dua mustang, ditembak kembali oleh penembak udara. Banyaknya tembakan, membuat Gung Lingsir melempar badannya ke bawah jineng (bale lumbung). Lalu ia dipanggil ke markas, ke utara di tengah hutan. Ternyata di hutan ini banyak pasukan berkumpul, termasuk ada Gusti Ngurah Rai. “Saya termasuk masih kecil, lalu ketemu rekan dari Tabanan, Badung, dan semuanya punya senjata,” jelasnya.

Sementara orang Gianyar, hanya bawa badan saja tidak bawa senjata. Gung Lingsir kemudian ditugaskan di bagian logistik atau pengangkut, dan membawa pelor 12,7 satu kisa. Tak lama markasnya dibom mortir. Untungnya di hutan ada palang merah. Beruntung Belanda tidak berani ke hutan ini. Gung Lingsir kemudian tidur di sebuah pura bersama beberapa orang lainnya. Nama puranya adalah Pura Pucak Sari di sebelah hutan.

“Malamnya datang Kijang yang meraung-raung. Ternyata duwe pura, dan kami memohon untuk dijaga,” ujarnya. Bersiap perjalanan ke Gunung Agung, Gung Lingsir membawa dua kisa berisi pelor 12,7 dan satunya jagung bakar, serta singkong dan nasi bungkus. Masuk hutan pada malam hari, pelan-pelan dengan 2 ribu orang sembari berpegangan tangan naik turun gunung.

Gung Lingsir juga membawa ranjau darat yang ukurannya sebesar paha. Kemudian ketika dipasang, ternyata meledak dan akhirnya pasukan NICA menembak. Semua lari ke hutan karena tidak membawa senjata. “Belanda tidak berani mengejar ke hutan,” katanya. Perjalanan juga naik turun ke Gunung Batukaru, serta menaiki gunung-gunung lainnya. Sampai di Gitgit, ia kemudian menyeberang jalan, menunggu sepi dan sampai di kebun kopi. Terus ke timur dan tiba di Tansit.

Lanjutnya, ada temannya membawa pelor satu peti. Ia mengatakan pelor tersebut sangat berat. Gung Lingsir pun hampir menyerah, namun tetap meminta kekuatan kepada bhatara-bhatari di Bali. Perjalanannya lanjut menyeberang ke Kintamani, Kelampu, dan ke Puncak Penulisan membawa pelor. “Terpaksa kami tinggal di hutan dua hari, dan saya tidur dengan cuaca dingin sekali,” sebutnya. Lalu ia membuat lubang di tanah dan masuk ke sana, setelah dua hari baru dapat nasi bungkus. Intinya yang penting perut terisi saja.

Dari Kintamani turun ke barat, ia melihat ada ayam bertelur dan telur itu dimakan mentah untuk menambah stamina. Sampai di desa, pelor tersebut kemudian ditaruh lalu makan, dan sesuai komando yang tidak bawa senjata dikembalikan ke masyarakat. Rombongannya tetap bertiga dan pergi ke Carang Sari.

Sialnya di Carang Sari kemudian dikepung Belanda. Untuk itu, Gung Lingsir bersama dua temannya sembunyi di Tukad Yeh Ayung. Sore setelah sepi, baru mereka naik berjalan ke selatan sampai Sedahan. Hingga di Penatih, ia tinggal cukup lama di sana saat bertemu sanak saudara. Namun tetap tidak tinggal di desa, mereka bertiga tinggal di tengah sawah. Membuat perlindungan di antara kebun cabe, tebu, dan sebagainya untuk sembunyi.

Ketika NICA berpatroli mereka bisa sembunyi di tengah sawah tidak terlihat. Makanan pun dibawakan dari Desa Peninjauan, yang merupakan makanan dari dapur umum. Gung Lingsir kembali mencari tempat yang layak dan baik untuk berlindung, tujuannya ke Peraupan. Di dekat sungai Ayung, ia kemudian mencari ikan julit, kelelawar untuk dimakan. Dan kembali ke terowongan untuk berlindung. “Kalau mau masuk ke terowongan ini harus buka pakaian dan menyelam baru bisa masuk,” jelasnya.

Perubahan situasi, Gung Lingsir bersama temannya kemudian ke Kapal bertiga. Lalu ke Mengwi, dan istirahat di Baha. Seminggu di Puri Mengwi, akhirnya diserahkan ke dinavis yang merupakan polisi rahasia tentara Belanda. “Saya diinterogasi di sana, dan diserahkan ke Pekambingan di penjara dan saya sempat ditendang, serta dipukul dengan bedil punggungnya,” ujar Gung Lingsir pilu. Setelah beberapa bulan, tak ada yang sadar ia masih dipenjara.

Namun tiba-tiba datang ketupat isi sate kambing, dan ia tidak tahu siapa pengirimnya. “Kemudian Tjokorda Sosrobahu mengirimkan saya buku agar tidak bosan,” katanya. Akhirnya semua orang Gianyar, termasuk Gung Lingsir dikumpulkan dan ada yang dipukul sampai terkencing-kencing. Sekitar 50 orang, ia di antaranya tanpa memakai baju dengan kamen pun hasil meminta. Tiba-tiba ada seorang nenek yang mengenal Gung Lingsir, dan ia pun dipanggil ke kantor polisi lalu diinterogasi. Sampai akhirnya diizinkan pulang setelah tanda tangan.

Sampailah ia di Puri Kauhan Ubud, tanpa sandal atau alas kaki. “Sampai di rumah dihaturkan segehan, lalu mengganti baju. Orang tua di puri sangat senang,” katanya. Kompyang Gung Lingsir memohon agar ia segera dilepaskan dalam doanya. Namun tetap wajib lapor.

Akhirnya Gung Lingsir magang di sebuah kantor, hanya saja tidak ada yang menyapanya. Disebabkan kantor tersebut pro Belanda. Hanya beberapa bulan, Gung Lingsir meminta bersekolah di Badung yaitu SLU. “Saya diizinkan sama Gung De Oka, yang penting hati-hati di sana,” katanya. Gung Lingsir berpesan, agar sejarah dijadikan pelajaran berharga yang harus diambil apinya bukan abunya.

Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul Profil Gung Lingsir, Saksi Sejarah di Masa Revolusi Kemerdekaan.

Penulis: A. A. Seri Kusniarti
Editor: Irma Budiarti