Tiga Dubes RI Putra Bali ikut Pabligbagan Virtual #6 Puri Kauhan Ubud : Di Tengah Pandemi, Perlu Rebranding Pariwisata Bali

Balinetizen.com, Gianyar

Pabligbagan Virtual Puri Kauhan Ubud edisi ke 6  menjadi istimewa karena menghadirkan tiga semeton Bali yang bertugas sebagai Duta Besar di tiga negara: I Dewa Made Sastrawan, Dubes RI untuk Zimbabwe dan Zambia, I Gusti Ngurah Ardiyasa, Dubes RI untuk Sri Lanka dan Maladewa dan I Gede Ngurah Swajaya, Dubes RI untuk  Singapura.

Ketiga Dubes itu menyampaikan pandangan dan pengalaman mereka mengenai konsep wellbeing economy dan wellness tourism.

Sebelumnya, pengantar diskusi diberikan oleh budayawan Goenawan Mohamad. Dalam pengantarnya, Goenawan Mohamad menyampaikan bahwa  ditengah situasi krisis sebagai dampak Pandemi, masyarakat Bali harus mampu membangun harapan. Harapan jangan ditunggu tapi dibangun bersama-sama dan berkali-kali.

Hal senada juga disampikan oleh AA GN Ari Dwipayana, Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud,  Pandemi memberikan pelajaran yang sangat berharga tentang  dua hal: pertama, dalam situasi krisis kita akan makin paham berbagai kekurangan yang harus diperbaiki seperti sistem ekonomi, sistem kesehatan maupun sistem perlindungan sosial. Kedua, pandemi memberikan momentum untuk mewujudkan tatanan baru yang lebih baik.

Diversifikasi Ekonomi

Tatanan baru seperti apa yang perlu dibangun? Dubes Sastrawan menekankan pada swasembada dan swadaya. Hal ini perlu dibangun lagi bukan hanya krn global supply chain terganggu, tapi setiap negara fokus pada urusan domestik mereka.

Dubes Swajaya juga  mengangkat soal perlunya keseimbangan baru  dengan diversifikasi perekonomian Bali. Sehingga untuk memperkuat resiliance, Bali tidak hanya tergantung pada sektor pariwisata. Swajaya menawarkan tiga sektor yang diperkuat: pertanian densitas tinggi berbasis teknologi, industri kreatif berbasis budaya dan ekonomi digital. Sedangkan sektor pariwisata  perlu shifting ke pariwisata premiun class dan  personal tourism.

Wellbeing Economy

Dubes Ardiyasa mengangkat soal pentingnya Bali untuk kembali ke konsep wellbeing economy. Konsep wellbeing economy memiliki akar yang kuat pada nilai2 Tri Hita Karana.

Dubes Swajaya juga mengingatkan bahwa konsep Tri Hita Karana sejalan dengan konsep SDGs yang juga dikedepankan PBB.

Dalam konsep wellbeing economy, kesejahteraan tidak hanya diukur dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi, tapi berdasarkan nilai-nilai keseimbangan antara manusia Bali, budaya Bali dan alam Bali.

Dalam pabligbagan diangkat mengenai pentingnya manusia Bali sebagai subyek utama, bukan obyek. Untuk memperkuat manusia Bali, Dubes Ardiyasa  menekankan prasyarat berupa: akses pendidikan kesehatan dan perlindungan sosial.

Ari Dwipayana menambahkan bahwa makna sejahtera-bahagia (Hita), sehat  dan damai (shanti) bagi masyarakat Bali perlu dirumuskan dan selanjutkan bisa dituangkan dalam strategi kebudayaan Bali, strategi pembangunan maupun juga indeks untuk mengukur sejauhnana capaiannya.

Wellness Tourism

Dalam kesimpulan diskusi tersebut menyebut bahwa pandemi membawa dampak pada  perubahan cara atau gaya  berwisata.  Wisatawan lebih menekankan faktor  safety, hiegenis,  less contact  agar tidak terpapar Covid-19.

Merespon hal itu, Dubes Sastrawan mengajak untuk menata lagi sektor pariwisata  Bali baik dari sisi penyiapan destinasi, services maupun juga dari sisi rebranding.

Dubes Ardiyasa juga mengangkat soal rebranding pariwisata Bali di masa pandemi. Sehingga bisa menawarkan keunikan dan indentitas yang khas dibandingkan dengan distinasi lain. Pak Ardiyasa mencontohkan Sri Lanka sejak 2014 sudah mulai menawarkan wellness tourism dengan Ceylon Ayurveda.

Potensi untuk mengembangan wellness tourism sangat besar karena Bali sudah memiliki kearifan lokal yang sangat kaya, seperti manuskrip pengobatan tradisional. Tinggal bagaimana menyambung antara warisan tradisi itu dengan standar-standar kesehatan modern. Itu bisa dilakukan melalui uji klinis maupun sertifikasi. Dengan cara itu, identitas wellness tourism bukan  sekedar artifisial atau pajangan tetapi betul2 hidup dalam keseharian masyarakat Bali.

Nilai-nilai wellness bukan hanya untuk wisatawan tapi juga bagi masyarakat Bali sendiri. Sehingga masyarakat Bali bisa hidup sehat, sejahtera dan damai. (SUT)

Sumber: Balinetizen.com