Ubud Sering Macet, Masihkah Bisa Jadi “Ubad”?

 

Ubud berasal dari kata “ubad” atau obat. Selain keindahan alam dan kaya atraksi seni budaya, Ubud dikenal sebagai destinasi wisata kelas dunia karena dipercaya mempunyai “energi penyembuhan” bagi wisatawan yang datang mengunjunginya. Tapi dengan kondisi Ubud saat ini yang crowded atau sering diwarnai kemacetan, masihkah Ubud bisa menjadi “ubad”?

 

Keprihatinan terhadap kondisi Ubud saat antara lain disampaikan warga asli Ubud Anak Agung Bagus Ari Brahmanta, yang kini menjabat staff ahli bidang Ekonomi dan Pembangunan Kabupaten Gianyar dan mengetahui banyak hal seputar Ubud dan perkembangannya sampai kini.  Hal ini disampaikan Agung pada acara Art, Culture, Culinary, Community Gathering Shrida Taste of Ubud, (22/6/2019).

 

“Orang yang lahir dan besar di Ubud sekarang yang merasakan sekali perubahan itu. Karena itu saya ndak berani keluar wilayah (Ubud). Kalau dulu orang yang datang ke Ubud durasinya 5 hari, 10 hari, dua minggu atau lebih untuk melihat nuansa Ubud, sekarang sudah menurun,”ujar Agung.

 

Saat ini, kata Agung, wisatawan yang datang ke Ubud lebih sering disuguhi kondisi lalu lintas yang crowded atau sering diwarnai kemacetan.

 

“Dengan kondisi Ubud seperti saat ini yang sering macet, lalu bagaimana kita bisa mengamankan budaya itu sendiri. Contohnya kemacetan saat ada upacara agama atau adat. Kalau dulu (Ubud) tak seperti itu,” ujarnya.

 

Meski kondisi Ubud sudah banyak berubah dan fungsi “ubad” nya juga mulai dipertanyakan, namun Agung mengatakan saat ini “ubad” di Ubud masih ada namun dalam bentuk lain.

 

“Ubud tetap menjadi “ubad” dalam bentuk lain, misal wisatawan yang datang bisa ikut aktivitas yoga yang banyak sekali ada di sini, juga menikmati  musik, aktivitas spiritual dalam “culture living”, tapi saya sendiri sebagai orang Ubud melihat hal ini sepertinya kita stres juga, karena kita bisa bandingan Ubud dulu dan sekarang,” ujarnya.

 

Meski sudah banyak berubah, Agung Ari berharap Ubud tetap memberi kenyamanan bagi wisatawan dan tetap menjadi “ubad”. Wisatawan yang datang ke Ubud masih bisa menikmati suasana Ubud tempo dulu namun dalam jam-jam tertentu.

 

“Orang bisa melihat dan menikmati Ubud jaman dulu dengan jalan-jalan di pagi hari sebelum jam 9 pagi, atau setelah jam 11 malam. Jadi ada waktu yang pas untuk melihat Ubud yang sebenarnya. Setelah jam itu sudah  nggak bisa karena ada sesuatu yang berbeda sekarag. “Ubad” di Ubud sekarang sudah dalam bentuk lain, dulu kan mandi di kali bisa berjam jam tidak terasa, sekarang ada pancuran di pura. Sekarang parsial, kalau dulu sepenuhnya bisa menikmati Ubud. Saat ini masih ada sebagian kecil yang tersisa,”ujar Agung.

 

beritabali.com

“Cita-cita saya sebenarnya tidak menginginkan adanya pembangunan yang masif di Ubud. Tapi kita tak bisa berbuat apa. Perkembangan wisata harus dikontrol, karena kalau industri besar berkembang itu akan mematikan industri masyarakat lokal, sudah terbukti banyak “homestay” di Ubud yang turun harga karena jaringan industri pariwisata itu dimiiki pemodal besar,” imbuhnya.

 

Dunia pariwisata di Ubud, kata Agung, tidak berkembang sesuai harapan karena tidak ada pola dan visi bersama untuk Ubud dan Bali. Banyak aturan-aturan terkait pengaturan usaha dunia pariwisata yang sudah dilanggar sejak tahun 1974.

 

“Sejak tahun 1974 sudah dilanggar, mulai RTRW, DTR, dan berbagai aturan lainnya, semuanya dilanggar. Dengan alasan peningkatan PAD (pendapatan daerah) atau PHR  (pajak hotel restoran) itu maka orang izinkan (membangun), karena pajak hotel dan restoran untuk pembangunan, jadi disini ada pembangunan versus budaya. Di satu sisi orang lokal optimalkan budaya, sementara sekarang investasi pembangunan yang masif menghancurkan industri masyarakat lokal, “community base tourism” itu sudah tidak ada,” ujarnya.

 

Source: Beritabali.com