Skip to content
UWUG BADUNG
UWUG BADUNG
Sudah banyak catatan sejarah yang ditulis terkait Uwug Badung atau lebih dikenal dengan Puputan Badung pada tahun 1906. Tapi yang lebih menarik dari peristiwa heroik itu adalah konteks situasi politik pulau Bali saat itu.
Kerajaan Buleleng, Jemberana dan Karangasem satu demi satu berada langsung dibawah pemerintahan Hindia Belanda. Belanda juga telah memberi peringatan pada kerajaan Klungkung dengan menyerang Kusamba. Kerajaan Gianyar mengkuti jejak Karangasem untuk meminta perlindungan pada Pemerintahan Hindia Belanda dan menempatkan Raja Gianyar sebagai Stedehouder Pemerintah Hindia Belanda.Tinggal empat kerajaan yang tersisa: Badung, Tabanan, Klungkung dan Bangli.
Badung dan Hindia Belanda
Diantara empat kerajaan tersebut, kerajaan Badung memiliki kontrak hubungan yang paling awal dengan Pemerintah Hindia Belanda. Pada November 1808, dibuat perjanjian persahabatan antara Gusti Ngurah Made Pemecutan kerajaan Badung dengan Van der Wahl atas nama Gubernur Jenderal Daendels untuk mendirikan benteng, pangkalan Meriam dan mendaratkan pasukan tak terbatas.
Perjanjian ini menimbulkan reaksi dari kerajaan lain di Bali yang menyebabkan Gusti Ngurah Made Pemecutan mengundurkan diri pada tahun 1810 digantikan oleh putranya Gusti Gde Pemecutan. Pada tahun 1813 Gusti Ngurah Made Pemecutan meninggal dunia dan memberi wasiat agar Badung dibagi tiga penguasa: Gusti Gde Pemecutan, Gusti Made Pemecutan di Kesiman (Gusti Gde Ngurah Kesiman) dan Gusti Jambe Denpasar.
Pada tahun 1818, Belanda mengirim utusan Van de Broek mengadakan perjanjian persahabatan dengan tiga Raja Badung: Gusti Gde Pemecutan, Gusti Gde Ngurah Kesiman dan Gusti Jambe Denpasar. Menindaklanjuti perjanjian Februari 1818 dikirim utusan dari kerajaan Badung, Gianyar, dan Mengwi.
Utusan Belanda kembali datang ke Badung pada tahun 1826 untuk mengadakan perjanjian mendapatkan bantuan merekruit calon-calon tentara di Badung yang akan digunakan melawan pemberontakan Pengeran Diponegoro (Perang Jawa 1825-1830). Untuk itu, Belanda menempatkan Pieere Dubois di Kuta.
Kuta dan Tuban menjadi pusat perdagangan antara Bali dengan Singapura (dibawah jajahan Inggris) yang membawa barang besi, kain, gambir, candu, mesiu, uang logam China senjata api. Sedangkan dari Badung, kapal-kapal mengekspor beras.
Untuk menandingi pengaruh Inggris di Bali, Belanda melalui perusahan dagangnya mengadakan pendekatan ke Raja-raja Bali yang dimulai dari perjalanan Granpres Moliere ke Bali (1839). Dan selanjutnya pada Agustus tahun 1839 dibuka pertama kali kantor dagang Belanda di Kuta (kantor dagang ditutup tahun 1844. Setelah ditutup Mads Lange, pedagang asal Denmark diangkat sebagai Agen Hindia Belanda untuk Bali). Setelah itu pada Desember 1839, Belanda mengangkat Huskus Koppman, Komisaris Pemerintah untuk Bali dan Lombok.
Hak Tawan karang
Pada tahun 1841, kapal dagang Belanda karam di dekat pulau serangan, dan diberlakukan hak tawan karang. Hak Tawan Karang sudha berlaku berabad-abad yang mengakui hak penduduk pesisir untuk menguasai barang dan harta benda dari kapal-kapal yang terdampar atau karam di laut.
Hal ini memunculkan dua kontrak antara Raja Kesiman dan Pemecutan dengan Huskus Koopman pada Juli 1841, yang menyatakan kerajaan mereka milik Hindia Belanda (ini ditafsirkan Raja-raja Bali sebagai basa-basi/sopan-santun persahabatan saja bahwa Bali dan belanda adalah satu) dan berjanji tidak menyerahkan kerajaan mereka pada bangsa lain dan tidak mengadakan perjanjian dengan mereka. Perjanjian yang sama dilakukan Huskus Koopman dengan Raja Karangasem, Raja Buleleng dan Dewa Agung Klungkung.
Tapi Pemerintah Hindia Belanda masih mengendaki agar hak tawan karang dihapuskan. Pada bulan November tahun 1842, ditanda tangani kontrak politik yang baru oleh ketiga raja Badung yang menyetujui penghapusan Hak Tawan Karang dan ganti rugi untuk menyelamatkan barang dari kapal yang karam. Pada tahun 1843, Huskus Koopman berhasil melakukan kontrak penghapusan hukum tawan karang dengan Raja Karangasem, Buleleng dan Dewa Agung Klungkung. Diikuti oleh kontrak dengan Raja Tabanan.
Manuver Politik Kerajaan Badung
Ketika Pemerintah Hindia Belanda melakukan ekspedisi militer ke Buleleng pada tahun 1849, kerajaan Badung dan Tabanan mengambil posisi pasif. Badung tidak terlibat dalam upaya untuk membantu kerajaan Buleleng yang sedang diserang Belanda. Posisi yang sama diambil Badung, ketika armada Jenderal Michiels mendarat di Labuan Amuk untuk menyerang Karangasem.
Tapi ketika Kusamba diserang Belanda pada babak kedua. Raja Badung dan Raja Tabanan membawa pasukan besar tiba di Kota Klungkung. Kehadiran pasukan Badung dan Tabanan memunculkan masalah baru bagi Belanda yang berencana menyerang Kota Klungkung. Akhirnya Swieten menunda serangannya ke kota Klungkung.
Raja Kesiman berperan aktif menjadi wakil dari Dewa Agung Klungkung Raja-raja Bali mengadakan pertemuan dengan Berhard von Saxe Waimer, Panglima Tertinggi Angkatan Darat Hindia Belanda yang ditunjuk sebagai pengganti Jenderal Michiels. Pertemuan ini membuahkan hasil berupa penarikan pasukan Belanda dari Kusamba dan dilanjutkan meninggalkan Labuan Amuk serta pengiriman utusan Raja-raja Bali ke Batavia. Belanda akhirnya meninggalkan wilayah kerajaan Klungkung.
Tapi dalam perkembangan berikutnya, Kerajaan Badung menjadi agresif untuk memperluas pengaruh dan wilayah ketika terjadi kemelut di Kerajaan Gianyar dan kerajaan Mengwi. Pada saat kekuasaan Dewa Manggis VII melemah akibat pemberontakan Cokorda Oka Negara dan metilasnya Desa Apuan, pasukan laskar Badung mengambil kesempatan dengan merangsek ke utara masuk ke wilayah Gianyar.
Demikianpula ketika terjadi perselisihan internal di kerajaan Mengwi, pasukan Badung secara tiba-tiba menyerang Sibang dan selanjutnya bergerak menuju ibu kota Mengwi. Sedangkan pasukan kerajaan Tabanan juga melakukan serangan ke Blayu. Dari Bayu lalu bergerak ke wilayah Kaba-kaba.
Menghadapi serangan Badung dan Tabanan, Raja Mengwi mengadakan perlawanan perlawanan terakhir dan melakukan puputan, pada tanggal 20 Juni 1891. Sejak itu kerajaan Mengwi hilang dari peta politik di Bali dan wilayahnya menjadi bagian kerajaan Badung dan Mengwi.
Sehingga pada akhir abad ke XIX, kerajaan Badung memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, dari wilayah pegunungan yang dulu dikuasai Mengwi sampai dengan wilayah pantai. Hal tersebut tidak terlepas dari kecerdikan tiga raja yang memerintah secara kolegial di Badung. Diantara ketiga raja itu Raja Kesiman, Gusti Gde Ngurah Kesiman disebut sebagai aktor utama dibalik berbagai manuver politik kerajaan Badung.
Pada tahun 1861, I Gusti Gde Ngurah Kesiman wafat digantikan oleh anaknya yang juga bernama Gusti Ngurah Gde Kesiman. Ngurah Gde Kesiman memegang jabatan sebagai Adipati Agung sehingga jmemainkan peranan yang menonjol dalam percaturan politik kerajaan Badung. Sedangkan Raja Badung dijabat oleh Gusti Jambe Denpasar (Gusti Gde Ngurah Denpasar).
Uwug Badung
Pada tanggal 27 Mei 1904, kapal Sri Kumala karam di Pantai Sanur. Pemilik kapal melaporkan bahwa barang muatan dan uang yang terdapat diatas kapal dirampas oleh penduduk desa yang berdiam di pesisir Sanur. Hal ini menjadi masalah bagi kerajaan Badung yang sebelumnya telah menandatangani penghapusan Hak tawan karang pada tahun 1849. Berdasarkan kontrak tahun 1849, seluruh ganti rugi dibebankan kepada Raja Badung.
Raja Gusti Ngurah Gde Denpasar dengan tegas menolak untuk membayar gati rugi kepada pemilik kapal. Dan merasa tidak melanggar kontrak tahun 1849.
Merespon penolakan Raja Badung, Pemerintah Hindia Belanda melakukan blockade terhadap kerajaan Badung, baik untuk menghalangi dan menghentikan perdagangan maupun melarang penangkapan ikan di laut. Tapi blockade yang dilakukan oleh Belanda tidak efektif karena kerajaan Tabanan menentang adanya blockade terhadap Badung. Karena sikap kerajaan Tabanan itu, Belanda juga mengenakan blokade pada kerajaan Tabanan pada tahun 1905.
Dalam perkembangan berikutnya, Pemerintah Hindia Belanda menyiapkan rencana agresi militer pada kerajaan Badung dan Tabanan. Pada tanggal 14 September 1906, pasukan Belanda mendarat di Sanur dengan Panglima Rost van Tonningen. Kapal-kapal perang Belanda melakukan penembakan meriam kearah pantai. Pada tanggal 15 September 1906, laskar Badung mengadakan perlawanan menyerah bivak militer Belanda di Sanur.Pertempuran sengit terjadi. Belanda merangsek menyerang Puri Denpasar dan Puri Pemecutan. Pada tanggal 20 September 1906, sekitar pukul 11 sampai 11.30 , Raja Badung melakukan puputan. Puri Denpasar juga hangus terbakar karena tembakan Meriam. Sore harinya, Puri Pemecutan juga terbakar dan Raja Pemecutan juga gugur dalam pertempuran.
Pada tanggal 28 September 1906, operasi militer dilanjutkan menuju Tabanan. Terjadi pertemuan dengan Raja Tabanan Gusti Ngurah Agung di Baringkit. Panglima Rost van Tonningen meminta Raja Tabanan menyerah tanpa syarat.Akhirnya Raja Tabanan menuju Denpasar bertemu dengan Komisari Liefrinck. Dan diputuskan Raja Tabanan diasingkan ke Lombok. Tapi sebelum berangkat ke Lombok, Raja dan putra mahkota ditemukan bunuh diri. Pasukan ekspedisi lalu berangkat ke Tabanan menduduki Puri Tabanan dan Puri Kaleran.
Dengan demikian Belanda telah berhasil menaklukan dua kerajaan di Bali selatan dengan agresi militer. Setelah opersi militer maka tinggal dua kerajaan yang belum ditaklukkan: Bangli dan Klungkung. Untuk memberi tekanan pada dua kerajaan ini, Panglima Rost van Tonningen mengadakan pameran kekuatan militer di Gianyar dan lepas pantai Kusamba. Tekanan itu membuahkan hasil, Dewa Agung dan Raja Bangli menandatangani kontrak dengan Komisaris Liefrinck pada tanggal 17 Oktober 1906. Tapi, perang belum berakhir. Dua tahun sesudahnya, pada tahun 1908 terjadi serangan militer Hindia Belanda terhadap kerajaan Klungkung yang dikenal dengan Puputan Klungkung.
Page load link