UWUG BEDAHULU

Sebelum Dinasti Sri Aji Kresna Kepakisan berkuasa di Swecapura, sudah ada raja-raja yang memerintah atas pulau Bali dalam kurun waktu ratusan tahun. Jejak sejarah dimulai dari prasasti/ stamba Blanjong yang menyebutkan memuat angka tahun Saka 836 (914 Masehi). Jaya Stamba Blanjong menggunakan dua jenis huruf, dua jenis Bahasa dan menyuratkan berita singkat tentang Sri Kesari Warman yang telah menaklukan musuh-musuhnya di Gurun, di Suwal).

Beberapa prasasti berikutnya menyebutkan Singhamandawa sebuah nama kerajaan dan Singhadavala, nama ibu kota kerajaan yang diperkirakan di Manukaya Tampaksiring.

Bukti-bukti prasasti tersebut menunjukkan kekuasaan dinasti Sri Kesari Warmadewa yang melintasi 400-500 tahun sampai dengan raja terakhir Sri Asthasura Ratna Bumi Banten di Bedahulu. Disebut raja terakhir karena terjadi perpindahan kekuasaan dari dinasti Warmadewa ke Adipati Sri Aji Kresna Kepakisan. Perpindahan kekuasaan itu adalah hasil dari penaklukan ekspedisi militer Gajah Mada di Bali pada tahun 1338. Peristiwa ini kita sebut sebagai Uwug Bedahulu.

Catatan sejarah Uwug Bedahulu diambil dari beberapa sumber. Sumber pertama buku Ida Bagus Sidemen, Seribu Tahun Petanu Pakerisan, 914-1899, yang diterbitkan tahun 2004. Sumber lain juga dari karya Ida Bagus Sidemen yang berjudul Dari Wilatikta ke Swecapura, diterbitkan Pustaka Pelajar, 2010.

Dinasti Warmadewa (914-1338)

Ketika Rakai Sanjaya (732-760) sampai dengan Rakai Watukura/ Balitung (898-910) berkuasa di Medang-Mataram Kuno-Jawa, di Bali sudah mulai terbentuk Dinasti Warmadewa. Hal ini ditandai oleh beberapa  prasasti. Salah satu prasasti yang menyebutkan angka tahun 914 adalah prasasti Blanjong. Prasasti Blanjong menyebut nama Adipati Sri Kesari Warmadewa. Mengapa bergelar Adipati masih belum terjawab dalam analisis sejarah. Penyebutan gelar Adipati menunjukkan bahwa Kesari adalah raja vasal/bawahan dari kerajaan lain.   

Sugilanus, dalam presentasinya di Webinar tanggal 4 Februari 2021, membuat gambar yang memperlihatkan  perbandingan rentang waktu berkuasanya dinasti Sanjaya di Medang-Mataram Kuno sampai dengan Singhasari dengan Dinasti Warmadewa.

Gambar diatas memperlihatkan bahwa pada periode Bali Kuno telah berkuasa beberapa raja di Bali mulai dari Sri Kesari Warmadewa, diikuti oleh Sri Ugrasena (914-933). Ugrasena menjadi menarik karena berada direntang tahun yang sama dengan masa Sri Kesari Warmadewa. Salah satu hipotesis yang berkembang adalah antara Kesari dengan Ugrasena sama. Pemakian Ugrasena dilakukan untuk menunjukkan bahwa Raja yang berkuasa sudah mandiri bukan adipate lagi.  

Uggrasena dilanjutkan oleh Sri Aji Tabanendra dan Subadrika Dharmadewi (955) yang disebut dalam prasasti Manukaya. Berikutnya  Sri Chandrabaya Singha (960) yang membangun patirtan di Tirta Hampul, Ratu Indrajaya Singha Warmadewa, Ratu Sri Jayasadhu (995), Sri  Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (984). 

Pada tahun 989-1011, berkuasa Sri Dharmodayana Warmadewa dan istrinya Sri Gunapriya Darmapatni atau Mahendradatta. Pasangan ini disebutkan dalam prasasti Batu Calcutta yang dibuat oleh Raja Airlangga. Sang ratu Luhur Sri Gunapriya Darmapatni adalah puteri dari Makutawangsawardhana, cucu dari Empu Sindok. 

Dari perkawinan antara  Udayana dengan Mahendradatta lahir tiga putra: Airlangga yang diminta Dharmawangsa menjadi raja di Kediri, Marakata dan Anak Wungsu. 

Kuturan-Bharadah Samaya

Setelah meninggalnya Udayana, dinasti Warmadewa dilanjutkan oleh Marakata dan berikutnya Anak Wungsu (1050-1078). Berdasarkan paparan Sugilanus, diperkirakan setelah meninggalnya Mahendradatta, di Bali ditandai dengan kehadiran Mpu Kuturan pada tahun 1001. Namun, nama  Kuturan atau Senapati Kuturan disebut dalam berbagai prasasti, yang melewati rentang waktu yang panjang. Beberapa analisis menyebutkan Kuturan bukan nama orang tapi sebuah jabatan senapati. Peran Kuturan sendiri sangat penting dimasanya, karena disebut-sebut dalam pelutuk banten, desain arsitektur Meru, konsepsi Pakraman dan yang paling penting adalah Samuan Tiga yang menjadi basis terbentuknya Kahyangan Tiga di Pakraman.   

Pada saat Airlangga berkuasa di Jawa pernah mengirimkan  Mpu Bharadah ke Bali pada tahun 1042 sebagai utusan untuk menyampaikan keinginan Airlangga untuk menobatkan salah satu putranya menjadi Raja Bali. Tapi keinginan itu ditolak oleh Mpu Kuturan karena Bali sudah memiliki Raja yakni Anak Wungsu. Pertemuan ini disebut dengan Kuturan-Bharadah Samaya di Silayukti. 

 Anak Wungsu sendiri berkuasa setelah berumur 40 tahun dari tahun 1050 sampai dengan 1078. Anak wungsu menerbitkan sekitar 27 prasasti yang tersebar di seluruh Bali.

Setelah Anak Wungsu, raja yang memerintah adalah Soka Lendukirana (1098) yang termuat dalam prasasti Canggi. Dilanjut oleh Sri Maharaja Sri Suradhipa (1115), Bhatara Haji Uganendra Dharmadewa (1119), Jaya Sakti (1146-1150), Jayapangus (1178-1181) dengan menerbitkan 30 buah prasasti. Dan berikutnya yang berkuasa adalah Paduka Sri Maharaja Haji Ra-Ajaya yang memerintah bersama  Ibunya Sritaya (1200). Setelah itu yang berkuasa, Paduka Bhatara Guru Sri Adikunti Ketana yang digantikan putranya Sri Bhatara Parameswara Sri Wirama bersama permasisurinya Dhana Dewiketu (1204). 

Pengaruh Singasari

Pada tahun 1284 terjadi intervensi militer Raja Kertanegara (1268-1292) dari kerajaan Singasari ke Bali pada tahun 1284. Sejak itu Bali berada dalam pengaruh Jawa. Ini ditandai oleh sistem religi yang berkembang setelah pengaruh Kertanegara di Bali. 

Dalam bukunya, Ida Bagus Sidemen menyebutkan pengaruh ajaran Siwa Bhairawa, Tantrayana aliran Niwreti. Hal itu didibuktikan dengan kompleks arca peninggalan  masa pengaruh Singasari yang bernama Arca Kebo Edan. Arca itu berwujud Bhairawa yang sedang menari Tantra dengan phallus yang menjulur keluar disertai benjolan bulat, 

Beberapa raja yang berkuasa dibawah pengaruh Singasari antara lain: Bhatara Guru (1324). Bhatara Guru digantikan cucunya bernama Sri Tarunajaya. Pada tahun 1338, disebutkan raja yang berkuasa di Bali bernama Sri Asthasura Ratna Bumi Banten yang membangun keraton di Bedahulu. Raja Bedahulu disebutkan namanya di berbagai prasasti, seperti: prasasti Perean (1339).

Raja Bedahulu adalah raja terakhir dari Dinasti Warmadewa. Raja Bedahulu lebih digambarkan dalam cerita-cerita rakyat sebagai raja sakti berkepala Celeng (babi). Penggambaran ini disebutkan oleh Ida Bagus Sidemen sebagai cara menggambarkan perbedaan sistem kepercayaan antara Majapahit (Siwa Sidhanta- Siwa pasupata) dengan Bedahulu (Bhairawa, Tantrayana-Niwreti).

Runtuhnya Bedahulu

Pada tahun 1331, Gajah Mada dilantik menjadi Mahapatih Mangkubumi Kerajaan Majapahit. Selang dua belas tahun setelah dilantik, Gajah Mada menaklukan Bali pada tahun 1343. 

Banyak legenda yang muncul terkait taktik dan strategi Gajah Mada menaklukan Raja Sri Asthasura Ratna Bumi Banten. Legenda itu antara lain soal strategi jukut paku dan yeh caratan, taktik membunuh Kebo Iwa dengan menimbun hidup-hidup dengan kapur tohor sampai dengan siasat meminta Pasung Gerigis untuk berperang ke Sumbawa sampai terbunuh disana. Kebo Iwa dan Pasung Gerigis adalah dua figur terkuat yang mendampingi  Raja Sri Bedahulu.

Selain legenda, tidak ada prasasti tertulis yang menggambarkan proses ekspedisi militer Gajah Mada ke Bali. Dan tidak ada juga catatan sejarah yang memperlihatkan bagaimana proses keruntuhan keraton Bedahulu.

Dari berbagai Babad disebutkan bahwa dalam melakukan ekspedisi militer, Gajah Mada didampingi oleh 12 Arya dan 3 Wesia (Tan Kahur, Tan  Mundur, Tan Kober).

Setelah berhasil menaklukan Sri Asthasura Ratna Bumi Banten pada tahun 1343, Gajah Mada tidak lagi menggunakan keraton Bedahulu sebagi pusat pemerintahan, tapi memindahkan keraton ke Samprangan. Keraton Samprangan berdiri pada tahun 1350, tujuh tahun setelah Gajah Mada berhasil mengalahkan Sri Bedahulu. Gajah Mada juga menobatkan  Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai Adipati Bali (1350-1380). 

Kehadiran Adipati baru ini tidak sepenuhnya diterima oleh pendukung dinasti Warmadewa. Hal ini ditandai dengan perlawanan dari beberapa desa di wilayah Bali Mula (pegunungan) yang tidak mengakui kekuasan Majapahit. 

Munculnya perlawanan ini membuat Adipati Sri Kresna Kepakisan menghadap Raja Hayam Wuruk di Majapahit karena merasa tidak mampu membangun ketentraman dan keamanan di Bali. Dari sumber Babad disebutkan bagaimana perjalanan Adipati Kresna Kepakisan ke Wilatikta. Dan dari hasil perjalanan ke Majapahit itu, Adipati Kresna Kepakisan diberikan bantuan tambahan senjata pusaka dan pasukan untuk mengalahkan pemberontakan di desa-desa Bali Mula.

Proses konsolidasi pemerintahan di Samprangan berlangsung dalam tiga puluh tahun sampai Adipati Sri Kresna Kepakisan wafat pada tahun 1380. Kedudukannya diganti putra tertua bernama I Dewa Ngile yang dinobatkan sebagi Adipati dengan gelar Dalem Samprangan (1380-1383). 

Dalem Samprangan hanya berkuasa tiga tahun. Dalem Samprangan digantikan adiknya I Dewa Ketut Ngulesir. Pergantian kekuasan yang sangat singkat ini terjadi karena ketidakpuasan dari para Arya terhadap gaya kepemimpinan Dalem Samprangan. Hal ini membuat para Arya mencari pengganti Adipati. Maka terjadilah suksesi yang ditandai dengan pengangkatan I Dewa Ketut Ngulesir menjadi Dalem Sri Smara Kepakisan pada tahun 1383. Adipati baru ini memindahkan keratonnya dari Samprangan ke Swecapura atau Gelgel. 

Pengangkatan Dalem Smara Kepakisan mendapatkan pengakuan dari Majapahit. Hal ini dibuktikan dengan kunjungan Dalem Smara kepakisan ke Majapahit Jawa. Kunjungan pertama, hadir dalam  pesamuan agung di keraton Majapahit. Kunjungan kedua Dalem Smara Kepakisan adalah menghadiri undangan Cakraningrat, Raja Madura. 

Dalem Smara Kepakisan berkuasa sampai dengan tahun 1460 yang mendekati  waktu keruntuhan kerajaan Majapahit pada tahun 1500. Pada saat keruntuhan Majapahit, Dinasti Kepakisan yang berkuasa di Bali adalah Dalem Waturenggong (1460-1550). Setelah seratus lima puluh tujuh tahun dari uwug Bedahulu (1343), terjadilah peristiwa uwug Majapahit (1500), Sirna Ilang Krethaning Bhumi.

*****