UWUG BULELENG

Setelah kehancuran kearajaan Gelgel, pada abad ke-19, muncul delapan kerajaan yang masing-masing berdaulat. Salah satunya adalah kerajaan Buleleng. Wilayah kekuasaan Buleleng membentang luas sepanjang bagian utara pulau Bali, kemudian masuk merangsek ke selatan ke wilayah Jemberana.
Tapi tahun 1846, kerajaan Buleleng dapat dihancurkan oleh ekspedisi militer Hindia Belanda. Dan dilanjutkan pada ekspedisi kedua dan ketiga yang menaklukkan benteng pertahanan di Jagaraga. Akhirnya kerajaan Buleleng sepenuhnya ditaklukan Belanda pada tahun 1849.

Uwug Buleleng ini menjadi catatan sejarah yang menarik karena konflik dengan Hindia Belanda dimulai dengan persoalan hak tawan karang. Hak tawan karang adalah hak untuk merampas semua barang dan harta yang berada diatas kapal yang karam.
Raja-raja Bali mempertahankan hak tawan karang ini yang berdampak pada terjadinya uwug Buleleng, Uwug Karangasem, Uwug Kusamba, Uwug Badung dan terkahir Uwug Klungkung.
Catatan peristiwa yang sangat lengkap bis akita baca buku Dr. Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, Bali Abad XIX yang menyertakan dokumen kontrak-kontrak antara Raja-raja Bali dengan Pemerintah Hindia Belanda.

Dinasti Panji Sakti
Ki Gusti Panji Sakti adalah pendiri dari dinasti kerajaan Buleleng atau disebut Semarapura. Panji Sakti berperan penting dengan I Gusti Ngurah Sidemen dan Kiayi Jambe Pule dalam perebutan Gelgel yang dikuasai oleh Maruthi selama 35 tahun.
Panji Sakti digantikan anaknya bernama Gusti Panji Danurdrstra dan selanjutnya diganti oleh Gusti Nyoman Oka. Gusti Nyoman Oka digantikan anaknya bernama Gusti Jelantik Sastra. Pada tahun 1780, Gusti Jelantik Sastra meninggal digantikan anaknya Gusti Made Jelantik.
Pergantian ini menimbulkan kemelut internal antara Gusti Made Jelantik dengan sepupunya Gusti Nyoman Penarungan. Dalam kemelut itu, Raja Karangasem Gusti Gede Karangasem menyerbu Bulelang dan mengangkat Gusti Nyoman Penarungan menjadi Raja. Tapi tidak lama. Kemudian Raja Karangasem mengangkat Gusti Nengah Bengkel (Gusti Nyoman Jelantik) sebagai wakil raja Karangasem di Buleleng.

Dinasti Karangsem di Buleleng
Setelah empat tahun Gusti Nengah Bengkel menjadi wakil Raja Karangasem di Buleleng, maka Raja Karangasem mengangkat Gusti Gde Ngurah Karangasem, seorang putra dari Puri Karangasem sebagai Raja Buleleng dengan Gusti Nyoman Jelantik sebagai Adipati agung.
Di masa berkuasanya Gusti Gde Ngurah Karangasem, Buleleng memperluas kekuasaannya sampai Jembrana, yang sebelumnya dikuasai kerajaan Mengwi. Salah satu titik masuknya adalah menindak orang-orang Bugis di Loloan.
Pada tahun 1808, Raja Buleleng Gusti Gde Ngurah Karangasem telah menguasai Jembrana, dan selanjutnya menduduki Banyuwangi pada tahun 1814. Hal ini menimbulkan respon dari Inggris (Raffles) dengan mengirim pasukan ke Buleleng pada tahun 1814-1815. Usaha ini menimbulkan perlawanan dari Raja-raja di Bali dengan mengirim bantuan ke kerajaan Buleleng. Akhirnya pasukan Inggris mundur dari Buleleng.
Tahun 1816 Raja Buleleng mengirim utusan ke Batavia untuk meminta bantuan beras karena saat itu sawah tidak menghasilkan akibat terjadi letusan Gunung Tambora di Sumbawa (1815). Pemerintah Hindia Belanda mengirim 30 koyang beras.
Tahun 1817, Pemerintah Hindia Belanda mengirim utusan van de Broek untuk membujuk Raja Buleleng untuk mengadakan perjanjian perdagangan. Tapi utusan itu kembali ke Batavia pada tahun 1818 dengan tangan hampa.
Pada tahun 1818 terjadi pemberontakan dari Gusti Ngurah Jembrana untuk melepaskan diri dari kekuasaan Buleleng. Pemberontakan itu berhasil membuat Jembrana menjadi kerajaan merdeka. Tapi tidak berselang lama pada tahun 1821, Raja Buleleng baru Gusti Made Pahang menyerbu Jembrana lagi dan menduduki kembali Jembrana sampai tahun 1849.

Hak Tawan Karang
Buleleng telah lama menjalin hubungan perdagangan dengan Singapura, Malaya. Catatan dalam laporan Belanda disebutkan pada tahun 1835 telah bersandar perahu-perahu Mandar di pelabuhan Patemon, Temukus, Buleleng dan Sangsit yang membawa candu besi dan kain.
Peningkatan hubungan dagang dengan Singapura yang dikuasai Inggris mendorong Pemerintah Hindia Belanda meningkatkan pengaruh politiknya di Bali. Pengaruh politik itu dilakukan dengan kontrak dengan raja-raja Bali. Pada tahun 1841, dilakukan perjanjian antara Komisaris Huskus Koopman dengan Raja Karangasem, Raja Buleleng dan Dewa Agung Klungkung. Kontrak itu berisikan: kerajaan mereka milik Hindia Belanda (ini ditafsirkan Raja-raja Bali sebagai basa-basi/sopan-santun persahabatan saja bahwa Bali dan Belanda adalah satu) dan berjanji tidak menyerahkan kerajaan mereka pada bangsa lain dan tidak mengadakan perjanjian dengan mereka.
Pemerintah Hindia Belanda tidak puas dengan kontrak tersebut. Pemerintah Hindia Belanda mengendaki agar hak tawan karang dihapuskan. Pada tahun 1843, Huskus Koopman berhasil melakukan kontrak penghapusan hukum tawan karang dengan Raja Karangasem, Buleleng dan Dewa Agung Klungkung. Diikuti oleh kontrak dengan Raja Tabanan.
Walaupun sudah ada kontrak penghapusan hak tawan karang, namun masih terjadi peristiwa penerapan Hak Tawan Karang yang terjadi di Jembrana dan Buleleng. Peristiwa kapal kara juga terjadi di wilayah Karangasem pada tahun 1845. Dan dijalankan hak tawan karang.
Untuk itu Pemerintah Hindia Belanda mengirim utusan Komisaris Mayor ke Buleleng pada tahun 1845. Dalam pertemuan dengan Raja dan Adpati Agung I Gusti Nyoman Jelantik, Komisaris Mayor tidak berhasil meminta Raja mengesahkan kontrak dengan Huskus Koopman pada tahun 1841 dan 1843.

Uwug Buleleng
Kegagalan perundingan dengan Raja Buleleng membuat Belanda mempersiapkan serangan militer ke Buleleng dan Karangasem. Pada Juni 1846, armada perang Belanda sudah mencapai pantai Buleleng. Komisaris Mayor menyerahkan ultimatum kepada Raja Buleleng selambat lambatnya tiga hari harus ada jawaban dari raja Buleleng.
Raja Buleleng meminta waktu untuk mengdakan perundingan dengan Dewa Agung di Klungkung. Tapi permintaan Raja itu ditolak oleh Komisaris Mayor.
Pada 28 Juni 1846, serangan Belanda dimulai. Dalam sehari pasukan Belanda sudah bisa menguasai kota Singaraja karena Raja telah mengungsi ke Jagaraga. Keraton Raja Buleleng dihancurkan.
Pada Juli 1846, Raja Buleleng dan Raja Karangasem menandatangani perjanjian dengan Komisaris Mayor. Isi perjanjiannya sama dengan perjanjian tahun 1841 dan 1843. Dalam perjanjian juga diatur mengenai pampasan perang yang harus dibayar kedua kerajaan itu pada Belanda. Dan pada tahun 1846, Gubernur Jenderal Rochussen mengunjungi Buleleng untuk merayakan kemenangan. Dibangunlah benteng di pelabuhan Buleleng.

Benteng Jagaraga
Adipati Agung I Gusti Jelantik tidak mau menyerah dengan menyusun benteng pertahanan di Jagaraga. Benteng ada di pedalaman jauh dari pantai, sehingga tidak terkena jangkauan tembakan meriam Belanda. Benteng diperkuat dengan senjata api dan Meriam kecil (Lila) yang didatangkan dari Singapura.
Pada September 1846, ada kapal karam di pantai Lirang Buleleng dan pantai Kusamba-Klungkung yang terkena hak tawan karang. Ini artinya kontrak politik tidak dijalankan oleh Raja-raja Bali.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda kembali mengeluarkan ultimatum kepada Raja Buleleng, Raja Karangasem dan Dewa Agung Klungkung. Pada tahun 1848, kembali Hindia menyatakan perang kepada ketiga kerajaan: Bueleleng, Karangasem dan Klungkung.
Pasukan Belanda mendarat di Sangsit dan menguasai Bungkulan. Dari Bungkulan, pasukan Belanda bergerak menuju Jagaraga. Perlawanan sengit dilakukan di Jagaraga. Akhirnya Belanda mundur lagi ke Sangsit. Kemudian naik kapal meninggalkan Sangsit dengan kekalahan.
Agresi militer ketiga dilakukan Hindia Belanda pada April 1849. Awalnya bergerak dari Singaraja lalu bergeser ke Sangsit. Tapi sebelumnya terjadi pertemuan antara Jenderal Michiels dengan Raja Karangasem dan I Gusti Jelantik di Singaraja dan berikutnya di Sangsit.
Pertemuan tidak membawa hasil. Pasukan Hindia Belanda menyerang lagi Benteng Jagaraga pada tanggal 15 April. 1849. Setelah pertempuran yang sengit, esok harinya benteng Jagaraga berhasil dikuasai Belanda.
Raja Karangasem dan Gusti Jelantik mundur ke Kawasan Batur. Tapi tidak bertahan lama karena Kerajaan Bangli memanfaatkan situasi dengan menyerang dan menguasai Batur. Mereka lalu mengungsi ke Karangasem.
Benteng Jagaraga lalu dihancurkan dan Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gusti Made Rai sebagai Punggawa yang sementara berkedudukan di Sangsit. Kekuasaan kerajaan Buleleng atas Jembrana juga berakhir dengan mengangkat Gusti Alit Gentuh sebagai Raja Jemberana yang baru.