UWUG GELGEL

Pada tahun 1383, Dalem Smara Kepakisan memindahkan keraton ke Swecapura atau dikenal sebagai Gelgel. Hampir tiga ratus tiga tahun, dinasti Sri Aji Kresna Kepakisan mengendalikan pemerintahan dari Keraton Gelgel. Tahun 1651 keraton Gelgel direbut oleh I Gusti Agung Maruti. Maruti menduduki keraton Gelgel selama 35 tahun dan akhirnya dihancurkan oleh pasukan koalisi yang mendukung Dinasti Sri Aji Kresna Kepakisan.

Catatan sejarah Uwug Gelgel pada tahun 1686 terekam dalam berbagai sumber terutama Babad Dalem, hasil riset dan beberapa buku. Salah satu buku yang bisa dipakai acuan adalah buku karya Dr. Mr. Ide Anak Agung Gde Agung yang juga mencatat berbagai laporan situasi Bali dari kunjungan orang asing ke Bali.

Kejayaan Gelgel

Keruntuhan kerajaan Majapahit terjadi saat pemerintahan Dalem Watu Renggong (1460-1550). Keruntuhan itu membuat kerajaan Gelgel menjadi kerajaan yang mandiri.

Pada periode itu, Malaka Islam ditaklukan oleh Portugis (1511). Dengan jatuhnya Malaka maka rute perdagangan yang dulunya melalui Malaka bebelok ke selatan menyusuri pantai barat Sumatera, menyeberangi selat sunda, menyusuri pantai utara Jawa dan pesisir selatan Kalimantan, Sulawesi menuju Maluku. Dengan rute baru itu maka proses penyebaran Islam berjalan ke seluruh nusantara.

Di Jawa juga muncul kerajaan Islam Demak yang mulai ekspansif untuk memperluas pengaruh kekuasaannya. Ekpedisi militer dilakukan pada tahun 1518 untuk mengalahkan Patih Udara. Kerajaan Demak yang kemudian dilanjutkan dengan Kerajaan Mataram terus merangsek sampai ke timur sampai ke wilayah Blambangan. Bali juga tidak terlepas dari konstelasi geo-politik yang sedang berubah khususnya di Jawa. Ekspansi Kerajaan Demak memunculkan benturan terbuka maupun upaya persuasif untuk menaklukan Bali. Itu dibuktikan pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong, datang utusan pengislaman yang dipimpin oleh seorang Mubaligh yang bernama Ki Moder.

Dalem Watu Renggong adalah penguasa yang memiliki karakter ekspansif. Wilayah kekuasaannya terus diperluas kearah timur maupun kearah barat. Ke timur sampai ke Lombok, Sumbawa. Sedangkan ke barat sampai wilayah Puger, Pasuruan dan Blambangan.

Untuk mendukung pemerintahannya, Dalem Watu Renggong didukung oleh Arya Patandakan sebagai patih, Arya Pinatih sebagai Demung, Arya Kubon Kelapa sebagai temenggung dan Kiayi Ularan sebagai Senapati.

Selain itu Dalem Watu Reggong didampingi Purohita, Dang Hyang Angsoka dan putranya Dang Hyang Astapaka yang merupakan pendeta Budha serta Dang Hyang Nirartha yang mengajarkan ajaran Siwa Sidhanta.

Dalem Watu Renggong memerintah Gelgel  selama 90 tahun. Pemerintahannya berakhir tahun 1550. Dalem Watu Renggong mempunyai dua putera: Dewa Pangharsa dan Dewa Sagening. Dalem Pangharsa dinobatkan menggantikan ayahnya menjadi Raja dengan gelar Dalem. Karena tidak memiliki putra maka Dalem Pangharsa dijuluki Dalem Bekung.

Dalem Bekung

Pada bulan Februari 1597, tiga kapal Cornelis de Houtman mendekati Bali untuk mendapatkan persediaan air dan perbekalan lain yang dibutuhkan. Satu kapal berlabuh di pantai jemberana, satu di Kuta dan satu lagi di Labuhan Amuk. Aernoudt Lintgens membuat catatan yang terperinci dari pengalamannya selama di Bali. Saat itu, Raja Bali sedang menyiapkan keberangkatan 20.000 pasukan menuju Blambangan yang diduduki oleh pasukan Mataram. Litgtgens sempat bertemu raja tersebut yang digambarkannya berusia 40 tahun dengan 200 istri. Raja Bali yang digambarkan Litgens adalah Dalem Bekung.

Dua awak Cornelis de Houtman, Emanuel Roodenburch dan Jacob Claasz tidak ikut naik ke kapal dan menetap di Gelgel. Sebelumnya di Gelgel sudah seorang peranakan Portugis  bernama Peter de Noronha yang sudah dua belas tahun menetap di Bali. Tenaganya diperlukan oleh Raja dalam persoalan perdagangan dengan orang asing.

Kunjungan kedua armada niaga Belanda terjadi pada Juni 1601 dibawah pimpinan Cornelis Heemskerck yang membawa surat dari Pangeran Maurits Van Nassau kepada Dalem Bekung di Gelgel.

Dalem Bekung menghadapi masa yang sulit. Wilayah kekuasaan yang berada diluar Bali satu demi satu melepaskan diri dari Gelgel. Di Gelgel sendiri terjadi kemelut internal yang dimulai dengan pemberontakan I Dewa Anggungan, keturunan Dalem Samprangan.

Pemberontakan Dewa Anggungan dimanfaatkan oleh I Gusti Batan Jeruk (Keturunan Arya Kepakisan) untuk merebut tahta kerajaan. Keduanya bekerjasama untuk menggulingkan kekuasaan Dalem Bekung. I Gusti Batan Jeruk merasa berhak atas tahta karena beranggapan yang seharusnya menjadi cakradara di Bali adalah Arya Kepakisan yang merupakan keturunan ksatrya Kediri, penerus Raja Airlangga. Sedangkan Dalem Dinasti Kepakisan adalah keturunan Brahmana.

Pemberontakan Dewa Agungan dan Batan Jeruk dapat dipadamkan oleh para Arya yang masih setia pada Dalem Bekung yang dipimpin oleh Arya Kubon Tubuh (Keturunan Arya Kutawaringin). Akhirnya  Batan Jeruk melarikan diri dan terbunuh di desa Bungaya. Dan Dewa Anggungan dan saudara-saudaranya, menyerahkan diri dan selanjutnya dihukum dengan penurunan status kewangsaannya.

Pemberontakan kedua terhadap Dalem Bekung dilakukan oleh Krian Pande Bhasa yang tercetus karena persoalan perempuan. Pemberontakan I Gusti Pande Bhasa dapat dipadamkan oleh para pedamping setia Dalem.

Ketidakpuasan atas kepemimpinan Dalem Bekung semakin memuncak. Dan hal ini mendorong pergantian kekuasaan dari Dalem Bekung ke adiknya Dalem Sagening.

Dalem Sagening

Pada masa pemerintahan Dalem Sagening, kondisi keamanan dan gejolak internal bisa dipulihkan. Rencana pemberontakan yang dilakukan oleh Arya Pinatih bisa digagalkan. Dalem Sagening memiliki 19 putra dan menempatkan putra-putranya sebagai penguasa di berbagai daerah protektorat baru.

Pada saat Dalem Segening berkuasa, di Jawa diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645). Peperangan antara Bali dengan Mataram terus terjadi untuk memperebutkan wilayah Blambangan, Pasuruan dan Blitar.

Peperangan dengan Mataram membuat Dalem Segening diperhatikan oleh Gubernur Jenderal Hendrik Brouwer  (1632-1638). Gubernur Jenderal menghendaki agar diadakan persekutuan dengan Bali untuk melawan Sultan Agung di Mataram. Gubernur Jenderal menawarkan bantuan beras dan angkutan kapal untuk mengangkut pasukan Bali ke Blambangan. Tapi tawaran itu ditolak karena Dalem Sagening ingin mempertahankan hubungan baik dengan Kompeni maupun Mataram.

Kondisi berubah ketika pada tahun1639, pasukan Bali di Jawa diserang Mataram, Dalem Segening mengirim utusan ke Batavia untuk meminta bantuan. Akan tetapi permintaan Dalem Sagening tidak dikabulkan karena saat itu Kompeni (VOC) tidak berperang lagi dengan Mataram.

Dalem Sagening digantikan putranya yang bergelar Dalem Di Madya yang lebih dikenal dengan sebutan Dalem Di Made. Di masa Dalem Di Made, raja-raja penguasa Blambangan, Sasak dan Sumbawa kembali mengakui kekuasaan Raja Gelgel atas wilayah kerajaan mereka. Dalem Di Made mengirim ekspedisi militer untuk menaklukan Blambangan yang dipimpin oleh Krian Tabanan dan Krian Pacung  dengan 20.000 prajurit. Sampai dengan tahun 1633, kerajaan Blambangan masih berada dibawah kekuasaan Gelgel. Dalem Dimade juga melakukan ekspedisi militer ke Nusa Penida yang dipimpin I Gusti Jlantik.

Uwug Gelgel 

Keamaan di Gelgel berlangsung singkat. Pemberontakan kembali terjadi. Kali ini dilakukan oleh Patih Gusti Agung Maruthi (Keturanan Arya Kepakisan) pada tahun 1651.

Pemberontakan Maruthi berhasil menduduki keraton Gelgel. Dalem Dimade berserta keluarga dan 300 pengikut yang setia melarikan diri menuju Desa Guliang. Di desa Guliang, Dalem Di Made mendirikan keraton yang baru dan menyatakan dirinya masih tetap sebagai raja  Bali yang sah.   

Para Arya yang tersebar tidak memberikan pengakuan pada kekuasaan Maruthi di Gelgel. Mereka mulai membangun kekuasaannya di wilayahnya masing-masing terlepas dari  kekuasaan Gelgel yang dipegang oleh Maruthi.

Beberapa Arya sepakat untuk mengembalikan kekuasaan Dinasti Sri Aji Kresna Kepakisan. Para Arya ini antara lain: Gusti Anglurah Sidemen yang berkuasa di Sidemen, Ki Gusti Panji Sakti di Buleleng dan Kiayi Jambe Pule di Badung. Mereka membangun koalisi untuk melakukan serangan milter untuk merebut kembali keraton Gelgel.

Laskar gabungan yang dibentuk menyerang Gelgel dari segala arah. Laskar Badung yang dipimpin Kiayi Jambe Pule menyerang dari selatan. Laskar Ki Gusti Panji Sakti menyerang dari arah barat. Laskar Ki Gusti Sidemen menyerang Gelgel dari arah utara dan timur.

Laskar Maruthi tidak mampu menahan serangan dari segala penjuru lalu Maruthi melarikan diri melewati Jimbaran, terus ke Kapal  dan akhirnya menetap di hutan desa Rangkan Kuramas. Akhirnya laskar gabungan berhasil merebut keraton Gelgel pada tahun 1686.

Para Arya yang setia pada Dalem Di Made sepakat untuk menetapkan putra Dalem Di Made yang bernama Sri Agung Jambe menjadi raja baru dengan gelar Dewa Agung Jambe pada tahun 1687. Gelar Dalem  yang sudah dipakai sejak Dalem Samprangan  (1352) tidak dipakai lagi, diganti dengan gelar Dewa Agung

Atas nasehat Ki Gusti Sidemen, keraton dipindahkan dari Gelgel yang pernah dikuasai Maruthi 35 tahun, ke desa Klungkung dengan nama keraton Smarapura. Keraton Smarapura. Sedangkan saudara kandung Dewa Agung Jambe yang bernama Sri Agung Mayun diangkat sebagai Cakradara di wiayah Tampaksiring dengan gelar Dewa Agung Mayun.

Dewa Agung Jambe mengirimkan surat kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia untuk memperkenalkan diri sebagai Raja baru di Bali dan menginformasikan bahwa Maruthi telah mati terbunuh di Gelgel.

Munculnya Asta Negara

Uwug Gelgel menandai era baru di Bali, dimana bermunculan kerajaan-kerajaan kecil: Klungkung, Karangasem, Buleleng, Bangli, Gianyar, Mengwi dan Tabanan yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan Gelgel.

Cikal bakal kerajaan Mengwi mulai muncul pada tahun 1690, ketika I Gusti Ngurah Anom, putra Maruthi menjadi penguasa di wilayah Kapal dengan gelar I Gusti Agung Made Agung. Putra I Gusti Agung Made Agung yang bernama I Gusti Agung Putu dengan bantuan Anglurah Belayu membuka hutan dan membangun Puri. Berawal dari Gusti Agung Putu inilah kerajaan Mengwi mulai menjadi besar. Sehingga diberi julukan Cokorda Sakti Blambangan.

Pada tahun 1710, kerajaan Sukawati sudah berdiri dengan keraton di Gerogak. Kerajaan ini didirkan oleh Dewa Agung Anom, putra Dewa Agung Jambe. Dewa Agung Anom bergelar Sri Aji Maha Sirikan atau Sri Aji Wijaya Tanu. Keturunan Dewa Agung Anom yang bernama Dewa Agung Gede (1745-1770) kemudian menyerahkan kekuasaan kepada Dewa Manggis Api yang selanjutnya mendirikan kerajaan Gianyar. Kerajaan Gianyar menyatakan sebagai kerajaan yang mandiri pada tahun 1771 dengan Raja Dewa Manggis Api.

Kerajaan Karangasem cikal bakalnya dimulai dari keturunan Batan Jeruk yang bernama Gusti Oka (1588-1615) yang mendapatkan pelimpahan kekuasaan dari I Dewa Karangamla. Dengan runtuhnya Gelgel pada tahun 1686 maka dimulailah era pemerintahan Negara-negara di Bali.

Sampai dengan 1686, Badung belum disebut sebagai sebuah kerajaan. Badung masih masuk dalam kekuasaan kerajaan Mengwi sampai tahun 1767 ketika kekuasaan Mengwi semakin melemah. Melemahnya kekuasaan Mengwi dimanfaatkan oleh I Gusti Kaleran mempersatukan daerah Badung yang sebelumnya terpecah dengan melepaskan diri dari Mengwi dan mengangkat diri sebagai Raja Badung dengan gelar I Gusti Ngurah Denpasar.

Munculnya kerajaan-kerajaan baru yang mandiri setelah uwug Gelgel membuat situasi Bali menjadi sangat dinamis. Persahabatan dan permusuhan bisa berubah dengan cepat. Peperangan dan perdamaian juga berlangsung dengan singkat. Ini berlangsung sepanjang tahun 1700 sampai dengan Belanda menegakkan kekuasaannya di Bali.