UWUG GIANYAR

Berikut  catatan sejarah terkait dengan peristiwa yang terjadi pada abad XIX, yang dikenal dengan peristiwa Rereg/Uwug Gianyar. Catatan sejarah ini diambil dari buku karya Ida Bagus Sidemen, yang berjudul “Seribu Tahun Petanu-Pakerisan, Lembah Budaya yang Menyejarah (914-1899)”, yang terbit tahun 2005.

Cikal Bakal Dinasti Manggis

Pada bab VI buku itu, dikisahkan tentang berdirinya dinasti Manggis di Gianyar. Dinasti Manggis dimulai cikal bakalnya dari Dewa Manggis Kuning, putra Dalem Sagening yang dikirim ke Badung, menemani Anglurah Tegeh Kori. Dari Badung, Dewa Manggis Kuning menetap di Desa Beng dengan membuka hutan bernama hutan Bengkel.

Setelah lama menetap di Desa Beng, Dewa Manggis Api (keturunan IV Manggis Kuning) mendapatkan anugerah nimbalang keprabon dari Dewa Agung Gede (keturunan Ida Dewa Agung Anom) yang membangun keraton di Sukawati.

Selanjutnya, Dewa Manggis Api memindahkan pusat pemerintahannya ke tempat baru yang bernama Gria Anyar atau Gianyar pada Sukra Wage Krulut, tanggal 19 April tahun 1771. Pada paswara Astanagara yang mempunyai rentang waktu dari Saka 1854 sampai 1903, nama gelar yang dipakai oleh Raja Gianyar  adalah Ida I Dewa Manggis.

Pada saat pemerintahan Dewa Manggis V dilangsungkan perkawainan dengan putri kerajaan Mengwi yang bernama Gusti Ayu Oka. Perkawinan ini diikuti dengan penyerahan beberapa bagian  wilayah kerajaan Mengwi  yang berbatasan dengan kerajaan Gianyar sebagai hadiah perkawinan.

Perluasan wilayah kerajaan Gianyar juga dilakukan dengan intervensi militer dengan panglima perang I Gusti Ngurah Jlantik yang menyebabkan wilayah kerajaan bertambah luas. Wilayah Banjarangkan  yang membentang dari Tegalbesar sampai ke Tohpati menjadi wilayah kerajaan Gianyar. Selain itu, kerajaan Klungkung juga mengalihkan kekuasaan perwalian di wilayah Pejeng, Tampaksiring, dan bekas kerajaan Payangan pada kerajaan Gianyar.

Dalam mempertahankan wilayahnya, kerajaan Gianyar membuat paswara Tigang Negara dengan dua kerajaan lainnya (kerajaan Badung dan kerajaan Tabanan) pada tahun 1821. Dilanjutkan dengan Paswara berikutnya pada tahun 1829 yang disaksikan Ida Dewa Agung  Ketut Agung, Klungkung. Paswara Tigang Negara berikutnya adalah pada tahun 1837.

Satu momen sejarah penting di Bali direntang tahun itu adalah kejatuhan kerajaan Buleleng ketangan Hindia Belanda pada tahun 1846 yang dimulai dengan persengketaan terkait hukum Tawan Karang. Pada saat perang Buleleng, lasykar gabungan raja-raja Bali (Mengwi, Klungkung, Gianyar, Karangasem) berjumlah 1.650 terlambat datang dan mengakibatkan jatuhnya Singaraja. Raja Buleleng menyingkir ke Jagaraga. Dan akhirnya bergabung dengan laskyar kerajaan Buleleng di Jagaraga. Pada perang jagaraga I pada tahun 1848, laskar gabungan mendapatkan kemenangan. Akan tetapi pada perang Jagaraga II (kedua) pada tahun 1849, Hindia Belanda berhasil menaklukan Jagaraga.

Pada bulan Mei tahun 1849, ekspedisi militer Hindia Belanda menyerang Kusamba wilayah kerajaan Klungkung karena kerajaan Klungkung dituduh membantu kerajaan Buleleng. Saat itu Klungkung diperintah Ida Dewa Agung Putra dan Dewa Agung Istri Kania. Setelah kekalahan di Kusamba, Klungkung mengadakan perjanjian baru dengan Belanda tanggal 13 Juli 1849.

Untuk melindungi kerajaannya, pada tahun 1849, kerajaan Gianyar membuat Paswara tiga nagara lagi (Gianyar, Badung dan Tabanan), yang mengikutkan 11 orang punggawa: Punggawa Payangan, Pejeng, Peliatan, Negara, Batubulan, Sukawati, Bedahulu, Babitra, Serongga, Abianbase, dan Blahbatuh. Dilanjutkan pada tahun 1850 dibuat paswara antara Kerajaan Gianyar dengan Kerajaan Klungkung terkait penerapan pengadilan Kerta dua kerajaan.

Pada Agustus 1856, dibuat Paswara yang melibatkan enam kerajaan: Ida Dewa Agung Putra Klungkung, I Gusti Bagus Karangasem, I Gusti Gede Ngurah Buleleng-Karangasem, Dewa Mangis Gianyar, Dewa Tangkeban Bangli, Cokorda Gede Oka Payangan, dan  I Gusti Ketut Besakih Mengwi. Paswara itu tetap memberlakukan hukum tawan karang.

Rereg/ Sagsag Gianyar

Pada tahun 1856 dibawah pemerintahan Dewa Ngurah (Keturunan Manggis yang ke VII), telah diangkat dua orang bersaudara I Made Pasek dan I Ketut Pasek sebagai pemade (Patih) dan jaksa.Selanjutnya posisi Pemade bergeser dari I Made Pasek ke  I ketut Sara yang merupakan adik kandung Jero Nyeri (istri Dewa Manggis VII).

Di masa Dewa Manggis VII pada tahun 1883, terjadi peristiwa yang menarik dimana Dewa Agung Klungkung menyatakan kerajaan Gianyar berada di bawah protektorat/ perlindungan kerajaan Klungkung.

Penyerahan kerajaan Gianyar dibawah perlindungan Klungkung diikuti dengan serangkain peristiwa yang dikenal dengan nama Rereg/ Uwug Gianyar. Rereg Gianyar dimulai dari peristiwa metilas Desa Apuan (Mekel I Gede Gejen) ke kerajaan Bangli serta pebalik (pembrontakan) Cokorda Oka  Negara terhadap Dinasti Manggis.   

Sebab metilas dari Desa Apuan terkait dengan protes rakyat Apuan terhadap tindak sewenang-wenang yang dilakukan Manca Dewa Ngurah Ratna Kania.  Raja Gianyar merespon dengan mengganti dengan Manca baru.  Tapi juga diikuti dengan penangkapan I Gangsar dibawa ke Blahbatuh. Penangkapan ini justru menimbulkan protes. Desa Apuan akhirnya tetap metilas untuk tunduk dibawah perlindungan kerajaan Bangli. Merespon metilas itu, terjadi serangan militer ke Desa Apuan, tetapi Laskar Desa Apuan bisa bertahan dan melakukan serangan balasan dengan menghancurkan tiga empelan/ bendungan kerajaan Gianyar yang menimbulkan kekeringan. Kekalahan pasukan Gianyar di Apuan, membuat desa Apuan masuk ke wilayah kerajaan Bangli yang memunculkan konflik antara kerajaan Gianyar dengan kerajaan Bangli.

Setelah peristiwa metilas Apuan,  muncul lagi pebalik Cokorda Manca Negara, yang bernama Cokorda Bima yang menyatakan setia kepada kekuasaan Kerajaan Klungkung pada tahun 1884. Ada beberapa sumber yang menceritakan soal Rereg Gianyar: Gaguritan Rereg Gianyar Pengawinya tidak dikenali), Guguritan Uwug Gianyar, Gaguritan Bhuwana Winasa) Dari berbagai sumber tersebut (buku Ida Bagus Sidemen), disebutkan ada narasi ketetetahan kewangsan/keagungan serta keterlibatan kerajaan Klungkung dalam pebalik Cokorda Negara yang ditandai dengan kehadiran utusan Klungkung yang dipimpin Cokorda Gede Oka Klungkung yang disertai Ida Pedanda Ketut Pidada menemui Cokorda Negara. Dan juga laskar 200 orang yang dipimpin Cokorda Lingsir.

Dalam Gaguritan Bhuwana Winasa disebutkan Cokorda Oka Negara dibantu oleh para sekutu: Panglima I Dewa Ketut Sandat, I Dewa Gde samba (Batuan), I Gusti Alit Oka, I Gusti Alit Ngurah dan I Gusti Ngurah Made (Blahbatuh), Cokorda Oka (Payangan-Tampaksiring), Cokorda Made Raka (Peliatan), dan pra gusti Kuramas.

Pebalik Cokorda Negara juga didukung oleh kerajaan Mengwi dan kerajaan Badung.  Bahkan pasukan Badung bergerak dari selatan yang berhasil menaklukan Kapal, Pagutan, Manguntur, sasih, Tegaltamu serta  Batubulan.

Menghadapi situasi ini Dewa Manggis VII mengirim utusan menemui Dewa Agung di Klungkung untuk memperoleh kejelasan terkait sikap Raja Klungkung. Setelah mendapatkan info dari utusan maka Dewa Manggis VII bersama rombongan berangkat ke Klungkung. Ketika sampai di Kembengan, rombongan diserang oleh Laskar Bangli yang dipimpin Dewa Pogot.Tapi Raja Gianyar berhasil lolos sampai ke Semarapura. Laskar Bangli melanjutkan serangannya dan menguasai Desa Sidan, Petluan, Pagesangan, Bukit Jangrik, Samplangan, Bukit Batutampi, Blahpane, Bukit Celeng dan Dukuh Selat.

Sesampainya di Klungkung, Dewa Manggis VII menyerahkan pusaka kerajaannya, (Keris I Barukama dan I Raksasa Bedak), sabuk, tombak I Sadeg dan I Baru Alis. Selanjutnya Dewa Manggis VII ditempatkan di wilayah Desa Satria (salah satu Manca Klungkung).    

Dewa Manggis VII meninggal di pengasingan dan diselenggarakan upacara pelebonnya di Satria. Tapi, selama di pengasingan, putra-putranya Dewa Manggis VII masih melakukan komunikasi dengan para Punggawanya untuk menyusun siasat perlawanan mengembalikan dinasti Manggis di Gianyar. Siasat ini tetap berjalan walaupun Dewa Ngurah, salah seorang putra bungsu, telah membuat pernyataan untuk tetap setia pada Dewa Agung.

Kembalinya Dinasti Manggis ke Gianyar

Pada tahun 1886 atas bantuan beberapa Punggawa yang setia telah mengembalikan wilayah Gianyar sebagai kerajaan yang mandiri lepas dari Klungkung. Laskar yang dipimpin Cokorda Gede Sukawati, Punggawa Ubud melakukan perang terhadap Cokorda Negara dengan dibantu oleh para Punggawa yang masih setia dan juga dukungan kerajaan Mengwi. Dan akhirnya Cokorda Oka Negara gugur dalam peperangan.

Berdasarkan sumber lain: berikutnya terjadi perang Negara babak kedua. Setelah Cokorda Oka Negara wafat, purinya tidak dirusak, keluarga masih diijinkan tinggal di Puri. Putri Cokorda Oka Negara yang bernama Anak Agung Istri Putra dijodohkan dengan Cokorda Raka Saren Kauh, saudara Punggawa Peliatan. Untuk itu Cokorda Gde Sukawati meminta restu Dewa Agung Klungkung dan meminta pasukan Mengwi hadir di Negara. Tapi pada saat itu, datang Cokorda Pelonot dari Puri Klungkung yang mengambil Anak agung Istri Putra. Perkawinan ini diikuti dengan upaya Dewa Ketut Sandat menyerang pasukan Mengwi yang berada di Negara. Dimulailah perang Negara babak kedua yang berlangsung dua tahun. Wilayah Negara kemudian dibagi menjadi wilayah kekuasaan Punggawa Peliatan, Ubud dan Tegalallang.    

Pada tahun 1890, dua putra Raja Manggis VII kembali ke Gianyar. Para Punggawa mengangkat Dewa Manggis Pahang (keturunan VII) sebagai raja Gianyar. Dewa Manggis Pahang kemudian digantikan oleh adiknya I Dewa Gede Raka, yang dinobatkan sebagai Anak Agung Manggis VIII (anak Dewa Manggis VII yang bernama Anak Agung gde Putra dianggap belum pantas naik tahta karena masih sangat muda). Permakluman kemandirian Gianyar dari Klungkung disampaikan Anak Agung Ngurah Agung kepada Residen Bali Lombok di Singaraja pada Januari 1893.

Kerajaan Gianyar banyak kehilangan wilayah. Selain Desa Apuan yang sudah masuk ke kerajaan Bangli, Wilayah Kepungawaan Banjarangkan yang meliputi Desa Tegalbesar, Negari, Koripan, Tusan, bakas, Anjingan, Getakan, Gunungrata, Nyalian, Bumbungan dan Tohpati masuk ke kerajaan Klungkung.

Untuk mempertahankan kedaulatannya, raja Gianyar mengirim surat mengadakan persekutuan dan meminta bantuan Raja Karangasem. Raja Karangasem menyatakan kesanggupannya membantu kerajaan Gianyar menghadapi setiap kemungkinan serangan dari Klungkung. Selain dengan kerajaan Karangasem, Dewa Manggis juga mengadakan perjanjian dengan kerajaan Badung.

Pada tahun 1892, dimasa pemerintahan Dewa Manggis VIII terjadi peristiwa keruntuhan kerajaan Mengwi sebagai akibat diserang oleh kerajaan Badung dan Tabanan. Senin Kliwon 1892 adalah hari jatuhnya kerajaan Mengwi. Kemudian wlayah kerajaan Mengwi dibagi-bagi oleh kerajaan Badung dan Tabanan. Dan anggota keluarga Raja Mengwi menyingkir/ mengungsi ke Ubud.       

Untuk melindungi kerajaannya, pada tahun November 1893 dan Desember 1896, kerajaan Gianyar juga melakukan perjanjian (Surat Pasobaya dan surat Pamajangkan) dengan Hindia Belanda. Dalam pejanjian disebutkan ada 13 Punggawa yang ikut tanda tangan. Pada surat Pasobaya antara kerajaan Gianyar dengan Hindia Belanda pada tahun 1896  juga disebutakan 13 Punggawa: Ubud, Peliatan, Bebitra, Tulikup, Abianbase, Sidan, Siangan, Blahbatuh, Blahbatuh Kaleran, Sukawati, Tegalallang, Tampaksiring dan Kuramas. Sebelumnya kontrak politik pertama kali dengan Hindia Belanda dilakukan Juli 1849 setelah terjadinya perang Kusamba.

Pada Budha Paing Krulut, 15 Juli 1903, dilakukan penobatan Dewa Gede Raka  sebagai Stedehuder yang diberi gelar Anak Agung Manggis VIII. Karena dibawah perlindungan Belanda maka dilakukan perjanjian batas wilayah dengan kerajaan Klungkung pada Oktober 1902. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Tampaksiring, Payangan, Sibang, Abiansemal masih menjadi wilayah kerajaan Klungkung.  Kemudian diikuti perjanjian tambahan 23 September 1904 dimasa pemerintahan Dewa Agung Putra.

Pada tahun 1904, mulai muncul perselisihan tapal batas antara Klungkung dengan Gianyar terkait masalah Abiansemal, dan juga kasus pelarian warga Gianyar ke klungkung. Hal inilah yang selanjutnya menimbulkan invasi militer Belanda ke kerajaan Klungkung pada tahun 1908 yang dikenal dengan Puputan Klungkung.

*****