UWUG KLUNGKUNG

Setelah perang Kusamba, pada tahun 1850 kekuasaan Kerajaan  Klungkung dipegang oleh  Dewa Agung Ketut Agung yang bergelar Ida Dewa Agung Putera.  Untuk membedakan dengan ayahnya yang bergelar Dewa Agung Putera (Kusamba) maka kita sebut Dewa Agung Ketut Agung dengan Dewa Agung Putera II. Dewa Agung Putera II membuat perjanjian baru dengan Komisaris Van Cappellen pada Maret 1851, yang isinya mentaati semua kontrak yang ditanda tangani oleh Ayahnya, Dewa Agung Putera I (Kusamba).  Penandatangan kontrak itu disaksikan Pedanda Gde Wayan Pidada dan Pedanda Made Rai.

Dewa Agung Putera II didampingi Dewa Agung Rai, Adipati Agung, dan Pedanda Ketut Pidada, mempunyai keinginan kuat untuk memperluas pengaruh Dewa Agung sebagai Sesuhunan Bali dan Lombok, baik di lingkup kerajaan-kerajaan  di Bali maupun sampai di Lombok. Langkah-langkah politik kerajaan Klungkung akan mempengaruhi situasi politik yang terjadi di Bali pada saat itu. 

Buleleng dan Jembrana Dibawah Pemerintahan Langsung Belanda

Pada saat Dewa Agung Putera II berkuasa, Raja Bangli Dewa Tanggkeban menyerahkan kembali kekuasaannya di Bulelang kepada Wakil Pemerintah Belanda pada tahun 1854. Penyerahan Buleleng kepada Belanda dilakukan karena Dewa Tangkeban banyak mendapatkan perlawanan dari pemuka-pemuka di Buleleng, sehingga menimbulkan ketegangan. 

Hal yang sama juga terjadi di Jemberana, Gusti Putu Ngurah Raja Jemberana yang diangkat Belanda tahun 1849, menyerahkan kembali kekuasaannya sebagai Raja kepada Hindia Belanda pada Desember 1855.

Sehingga sejak tahun 1854 dan 1855, Buleleng dan Jemberana masuk dalam wilayah kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda  yang diperintah langsung oleh pejabat Belanda. Di Buleleng diangkat Asisten Residen dibawah Residen Banyuwangi. Dan di Jembrana ditempatkan Kontrolir yang langsung dibawah Residen Banyuwangi.   

Tapi dalam perkembangan berikutnya, dengan munculnya pemberontakan  I Wayang Gempol di Buleleng, Pemerintah Belanda pada Desember 1860 mengangkat Gusti Ngurah ketut Jelantik (Keturunan Panji Sakti dari Kubutambahan)  sebagai Regent yang diberi gelar raja. Delapan tahun setelah diangkat, pada tahun 1868, Raja baru bersama Asisten Residen sudah harus menghadapi pemberontakan dua desa Banjar dan Ambengan yang kemudian dikenal dengan Perang Banjar.  Regent I Gusti Ngurah Ketut Jelantik tidak berkuasa lama karena pada tahun 1872 ditahan oleh Belanda karena dicurigai akan memberontak, lalu dibuang ke Padang. Setelah itu terjadi kekisruhan dalam pengangkatan Regent yang baru. 

Akhirnya pada tahun 1882, Pemerintah Hindia Belanda membentuk  Keresidenan Bali dan Lombok yang berkedudukan di Singaraja yang menguasai langsung wilayah Jembrana dan Buleleng. 

Dewa Agung Klungkung sebagai Sesuhunan Bali dan Lombok keberatan dengan dibentuknya Keresidenan Bali dan Lombok yang dianggap akan menyebarkan pengaruh politik di Bali bagian selatan. 

Untuk itu Dewa Agung Putera II mengadakan pertemuan dengan Kerajaan Badung dan Tabanan sehingga bisa bersatu dalam menghadapi pengaruh Belanda ke Bali selatan. Kerajaan Mengwi terlibat dalam pertemuan itu dengan diwakili oleh Kerajaan Klungkung. Tapi pertemuan itu tidak mengikutsertakan kerajaan Gianyar.

 

Hilangnya Dua Protektorat Klungkung

Sebagai sesuhunan Bali dan Lombok, kerajaan Klungkung berupaya untuk mempertahankan pengaruhnya atas kerajaan-kerajaan lainnya di Bali sampai Lombok. Di bagian barat, Kerajaan Klungkung memainkan pengaruh atas kerajaan Gianyar dan kerajaan Mengwi. Dibagian timur, kerajaan Klungkung terlibat dalam pergulatan politik di Lombok terutama setelah perang Lombok I, yang ditandai kekalahkan kerajaan Karangasem-Lombok.

Kerajaan Klungkung juga memainkan pengaruh di kerajaan Gianyar. Pada tahun 1883, Di masa Dewa Manggis VII kerajaan Gianyar menyatakan berada di bawah protektorat/ perlindungan kerajaan Klungkung.

Demikian pula terkait pemberontakan Cokorda Oka Negara (1885) yang menyatakan dirinya berada dibawah kekuasaan kerajaan Klungkung. Dari berbagai sumber disebutkan keterlibatan kerajaan Klungkung dalam pebalik/ pemberontakan Cokorda Negara yang ditandai dengan kehadiran utusan Klungkung yang dipimpin Cokorda Gede Oka Klungkung yang disertai Ida Pedanda Ketut Pidada menemui Cokorda Negara. Dan juga laskar 200 orang yang dipimpin Cokorda Lingsir.

Selain menghadapi perlawan Cokorda Oka Negara, Raja Manggis VII menghadapi tekanan dari arah utara oleh kerajaan Bangli, Permusuhan Bangli dengan Gianyar dipicu oleh penyerangan Gianyar pada Payangan dan Tampaksiring pada tahun 1853 yang sebelumnya  di wilayah itu masuk wilayah Bangli. Permusuhan dua kerajaan semakin tajam terkait dengan metilas yang dilakukan oleh Desa Apuan ke kerajaan Bangli (1884).

Pasukan Bangli dipimpin oleh Dewa Made Raka memasuki wilayah kerajaan Gianyar pada Februari 1855, dan menduduki 10 desa yang berada di sebelah selatan BukitJati, serta 2 Desa diseputar Apuan.

Dari arah selatan kerajaan Gianyar harus menghadapi tekanan  kerajaan Badung yang sudah bergerak menguasai beberapa wilayah kerajaan Gianyar. Menghadapi kondisi itu, pada tahun 1885, Raja Manggis VII meninggalkan Gianyar meminta perlindungan ke Dewa Agung  di Klungkung dan selanjutnya ditempatkan di daerah Satria.

Untuk mewujudkan ketentraman dan keamanan di wilayah Gianyar pasca Dewa Manggis VII di Satria, Kerajaan Klungkung meminta Bangli mengirim pasukan ke Gianyar termasuk menduduki Ibu Kota Kerajaan. Punggawa Blahbatuh, Abianbase dan Sukawati melarikan diri ke Peliatan, lalu menuju Mengwi untuk mendapatkan perlindungan dari Raja Karangasem.

Setelah para Punggawa melarikan diri, pasukan Klungkung menduduki Lebih, Tulikup, Kembengan, Abianbase, Sukawati, dan Blahbatuh. Sukawati ditempatkan dibawah kekuasaan Cokorda Oka Negara. Sedangkan, Cokorda Lingsir Nagi, salah seorang saudara Raja Klungkung, kemudian ditempatkan di Blahbatuh. Kerajaan Klungkung terus menanamkan pengaruh di Gianyar termasuk dalam memicu munculnya perang negara I dan Perang Negara  II.

Pada Perang Negara I, Klungkung berupaya mendamaikan perselisihan antara Punggawa Negara dengan Punggawa Peliatan terkait dengan wilayah Desa Sindu yang direbut Negara dari Peliatan. Tapi upaya perdamaian tidak berhasil dan memunculkan perang Negara I. Perang Negara I berakhir dengan kekalahan Cokorda Oka Negara. Perang Negara II dipicu perselihan yang muncul karena puteri Cokorda Oka Negara berencana Anak Agung Istri Putera (sumber lain menyebutkan Istri Muter) yang rencananya dijodohkan dengan saudara Punggawa Peliatan, diambil istri oleh Cokorda Pelonot, keluarga Dewa Agung. Ini yang memunculkan Perang Negara II yang berlangsung dua tahun.  

Gianyar berupaya lepas dari pengaruh Klungkung, menjadi kerajaan yang mandiri setelah Dewa Pahang (Manggis VIII) kembali ke Gianyar setelah pengasingan di Satria pada Januari 1893. Setelah melakukan berbagai upaya, Pemerintah Hindia Belanda mengakui kerajaan Gianyar melalui kontrak yang ditandatangani oleh Residen Danenbarg dengan Dewa Pahang, 20 November 1893. Dan dalam perkebangan berikutnya, untuk menghindari tekanan terus menerus dari kerajaan Bangli dan Kelungkung maka Gianyar menyatakan berada dibawah  kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda pada Maret tahun 1900. Dan Raja Gianyar, Dewa Gde Raka dikukuhkan sebai Stedehouder Pemerintah Hindia Belanda.

Di Kerajaan Mengwi, Klungkung juga memainkan pengaruh yang cukup besar. Setiap perjanjian dengan pihak luar, kerajaan Mengwi diwakili oleh Raja Klungkung. Ini dapat dibuktikan pada saat penandatanganan kontrak dengan Pemerintah Hindia Belanda, pada tanggal 13 Juli tahun 1849, kerajaan Klungkung bertindak atas nama Mengwi.

Pengaruh Klungkung juga terjadi dalam pergulatan internal kerajaan Mengwi, yang muncul karena perlawanan Punggawa Sibang. Bahkan dalam peristiwa keruntuhan kerajaan Mengwi pada tahun 1891 karena serangan Badung dan Tabanan juga dianggap oleh Raja Karangasem sebagai intervensi kerajaan Klungkung. Sehingga, keruntuhan Mengwi menimbulkan ketegangan di perbatasan antara kerajaan Karangasem dengan kerajaan Klungkung. Timbul pertempuran kecil di wilayah perbatasan sehingga dua kerajaan tersebut dalam keadaan perang.

Perkembangan yang terjadi di Gianyar dan Mengwi membuat Kerajaan Klungkung kehilangan dua kerajaan yang selama ini jadi protektoratnya. Kerajaan Gianyar yang pada tahun 1883 menyatakan dibawah perlindungan kerajaan Klungkung, justru pada tahun 1900 menyatakan diri dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda. 

Demikian pula kerajaan Mengwi yang selama ini menjadi kerajaan protektorat Klungkung akhirnya runtuh pada tahun 1891, karena sudah masuk menjadi wilayah kerajaan Badung dan kerajaan Tabanan.

Uwug Klungkung

Setelah terjadi perang puputan Badung dan lanjut ke penaklukan kerajaan Tabanan pada tahun 1906, tingga ada dua kerajaan yang belum dikuasai Belanda: Klungkung dan Bangli. Kedua kerajaan ini mengadakan perjanjian baru pada tanggal 17 Oktober 1906 di Gianyar. Kontrak itu ditanda tangani oleh Ratu Dewa Agung Putra, Dewa Agung Gde Semarabawa, Pedanda Gde Wayan Pidada, Tjokorda Gde Raka dan Tjokorda Mayun. Ratu Dewa Agung Putra dalam kotrak tahun 1906 adalah Raja Klungkung baru yang dinobatkan  pada  tahun 1904 menggantikan Dewa Agung Putera II. 

Dalam merespon perkembangan situasi yang tidak menguntungkan kerajaan Klungkung, Dewa Agung Putera bersikap menghindari konfrontasi dengan Pemerintah Hindia Belanda. Sikap itu ditunjukkan seperti pada tahun 1904, Dewa Agung menandatangani perjanjian penghapusan mesatya di Kerajaan Klungkung. Demikian juga dalam kontrak tahun 1906, Dewa Agung bersedia memenuhi tuntutan Belanda untuk menyerahkan Sibang dan Abiansemal yang sebelumnya masuk wilayah Klungkung kepada Belanda. 

Tapi pada tahun 1908, terjadi pertikaian baru antara Dewa Agung dengan Pemerintah Hindia Belanda. Raja Klungkung. Ketegangan dimulai  ketika pada April 1908, Belanda mengumumkan monopoli atas perdagangan dan penjualan candu. Dan Pemerintah Hindia Belanda membuka kantor penjualan candu di seluruh Bali. Direncanakan dibuka 120 kantor penjualan candu.

Pada April 1908 terjadi penyerangan kantor penjualan candu di Gelgel. Serangan itu dipimpin Cokorda Gelgel. Pasukan Belanda melakukan balasan sehingga terjadi pertempuran. Belanda berhasil menduduki Puri Gelgel. 

Merespon kejadian di Gelgel, pasukan Belanda merapat di Kusamba dan kapal-kapal Belanda menembakan Meriam ke kota Klungkung.  Pasukan Belanda dengan cepat mendekati kota Klungkung.

Dewa Agung disertai keluarga dan 200 pengikut melakukan perlawanan puputan pada tanggal 28 April 1908.  Keluarga yang masih selamat kemudian diasingkan ke Lombok. Puri Dewa Agung Klungkung yang dirancang seperti Istana Majapahit pada tahun 1700 dirobohkan dan hanya satu pintu gerbang yang tertinggal.

Dengan jatuhnya kerajaan Klungkung maka semua kerajaan di Bali, kecuali Bangli  berada dibawah kekuasaan Hindia Belanda.  Setelah puputan Klungkung, Raja Bangli mengadakan pembicaraan dengan Residen Bali dan Lombok pada tahun 1908, meminta agar Bangli diberikan kedudukan yang sama seperti Gianyar dan Karangasem. Pada Januari 1909, kerajaan Bangli diubah statusnya menjadi kerajaan yang berada dibawah kekuasaan Hindia Belanda.