UWUG KUSAMBA

Setelah menaklukan Buleleng dan Karangasem pada tahun 1849, Belanda melanjutkan ekspedisi militer ke Klungkung. Mengapa kerajaan Klungkung menjadi sasaran agresi Belanda karena Kerajaan Klungkung dianggap melanggar kontrak politik yang terjait dengan penghapusan hak tawan karang. Pada September 1846, ada kapal karam di pantai Lirang Buleleng dan pantai Kusamba-Klungkung yang terkena hak tawan karang. Semua barang dan harta di kapal tersebut dirampas oleh penduduk pesisir pantai.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda kemudian mengeluarkan ultimatur kepada Raja Buleleng, Raja Karangasem dan Dewa Agung Klungkung. Pada tahun 1848, kembali Hindia menyatakan perang kepada ketiga kerajaan: Bueleleng, Karangasem dan Klungkung.

Ultimatum itu dijalankan melalui agresi militer yang dipimpin Jenderal Michiels. Peristiwa ini dikenal dengan Perang Kusamba atau Uwug Kusamba yang terjadi di tahun 1849. Dewa Agung yang disebut sebagai Sesuhunan Bali Lombok dapat dikalahkan dalam peperangan itu.

Dewa Agung: Sesuhunan Bali dan Lombok

Setelah keruntuhan kerajaan Gelgel pada tahun 1686, berdiri kerajaan Klungung yang diperintah oleh Dewa Agung Jambe (1687). Walaupun sejak tahun 1700-an, di Bali sudah muncul kerajaan yang berdiri sendiri, namun kekuasaan Dewa Agung Klungkung tetap diakui oleh Raja-raja di Bali sebagai sesuhunan Bali dan Lombok. Hal itu terlihat dari kontrak-kontrak yang dilakukan dengan Hindia Belanda pada permulaan abad ke-19 yang mencantumkan posisi Raja Klungkung sebagai Sesuhunan Bali dan Lombok.

Raja Klungkung pertama, Dewa Agung Jambe mempunya tiga putra: Dewa Agung Di Madya, Dewa Agung Anom yang kemudian diberikan tempat ke Sukawati-Gianyar dan menurunkan Dalem Sukawati dan Dewa Agung Ketut Agung diberi tempat di Gelgel.

Dewa Agung Di Madya juga beputra tiga: Dewa Agung Gede, Dewa Agung Made dan Cokorda Ketut Rai yang betempat di Akah. Dewa Agung Gede yang bertempat tinggal di Puri Denpasar berselisih dengan saudaranya Dewa Agung Made. Dari perselisihan itu, Dewa Agung Gede pindah ke Akah, lanjut ke Talibeng dan kemudian menuju Taman Bali.

Dewa Agung Made memiliki sembilan anak, diantaranya: Dewa Agung Panji, Dewa Agung Sakti, Sri Agung Bungkulan, Sri Agung Muter, Agung Made Sangging, Agung Ketut Agung, Agung Putu Kebon, Agung Wiadri.

Perselisihan juga kembali terjadi antara Dewa Agung Panji dengan Dewa Agung Sakti. Dari perselisihan itu, Dewa Agung Panji mengungsi ke Tulikup-Gianyar yang selanjutnya menurunkan trah Dewa Agung Panji (Puri Nyalian, Puri Bakas, Puri Kusamba, Puri Kaleran Bangli dan Puri Kauhan Ubud). Sedangkan putra Dewa Agung Sakti yang bernama Dewa Agung Putra atau Dewa Agung Putra Kusamba memegang kendali pemerintahan. 

Ekspedisi militer Belanda terjadi pada berkuasanya Dewa Agung Putra yang didampingi oleh adiknya Dewa Agung Istri Kania (Balemas). Dewa Agung Putra tercatat namanya dalam kontrak perjanjian dengan Huskus Koopman Komisaris Belanda pada tahun 1841 bersama Dewa Agung Gede, Anak Agung Ketut Rai, Pedanda Wayahan Pidada dan Pedanda Wayahan Sidemen. Dalam kontrak disebutkan kedudukan Dewa Agung Putra sebagai Sesuhunan Bali dan Lombok. Dewa Agung Putra juga tercatat lagi dalam dokumen kontrak pada Mei 1843 dan Juli 1849 yang terkait penghapusan hak tawan karang.

Uwug Kusamba

Pembangkangan kerajaan Klungkung atas kontrak penghapusan tawan karang memunculkan reaksi keras dari Hindia Belanda. Setelah Karangasem dapat ditaklukan, pasukan Jenderal Michiels meminta tambahan pasukan dan tenaga pengangkut untuk bergerak ke Klungkung.  

Pada Mei 1849, pasukan Belanda berangkat dari Padang Bai ke Gola Lawah. Di Goa Lawah, laskar gabungan tiga kerajaan, yang terdiri dari kerajaan Klungkung, kerajaan Mengwi dan kerajaan Gianyar mempertahankan Goa Lawah dari serangan pasukan Belanda. Tapi Goa Lawah tidak bisa dipertahankan karena Belanda menyerang dengan senjata api dan Meriam. Akhirnya laskar gabungan mundur ke Kusamba.

Di Kusamba, laskar gabungan melakukan perlawanan sengit. Tapi akhirnya Kusamba bisa direbut Belanda dan Laskar mundur lagi ke Kota Klungkung (Semapura). Puri Kusamba dapat diduduki oleh Jenderal Michiels. 

Pada tanggal 25 Mei 1849, pasukan Klungkung dan laskar gabungan menyusup ke Kusamba dan mendadak melakukan serangan. Dan Kusamba dibumi hanguskan oleh laskar gabungan. Penyerangan mendadak ini membuat Jenderal Michiels tertembak kaki kanannya dan terjungkal. Jenderal Michiles dibawa ke Padang Bai, tapi tidak nyawanya tertolong.   Setelah menyrang Kusamba, laskar gabungan kembali mundur ke Klungkung.

Van Swieten yang menggantikan Jenderal Michiels memutuskan untuk mengosongkan Kusamba dan menarik pasukannya ke Padang Bai. Seluruh pasukan Belanda akhirnya bergeser dari Kusamba menuju Padangbai. 

Selang beberapa lama di Padangbai, pada Juni 1849, Van Swieten memerintahkan pasukannya menyerang Kusamba. Kusamba kembali dapat diduduki oleh pasukan Belanda. 

Tapi, kondisi berubah. Pada saat pasukan Belanda di Kusamba, Raja Badung dan Raja Tabanan membawa pasukan besar tiba di Kota Klungkung. Ada 33 ribu pasukan gabungan ydari lima kerjaan ang berada di kota Klungkung. Kehadiran pasukan Badung dan Tabanan  memunculkan masalah baru bagi Belanda yang berencana menyerang Kota Klungkung. Akhirnya Swieten menunda serangannya ke kota Klungkung.

Perkembangan berikutnya Raja-raja Bali mengadakan pertemuan dengan Berhard von Saxe Waimer, Panglima Tertinggi Angkatan Darat Hindia Belanda yang ditunjuk sebagai pengganti Jenderal Michiels. Pertemuan ini membuahkan hasil berupa penarikan pasukan Belanda dari Kusamba dan dilanjutkan meninggalkan Labuan Amuk serta pengiriman utusan Raja-raja Bali ke Batavia. Belanda akhirnya meninggalkan wilayah kerajaan Klungkung.

Berbeda dengan Klungkung yang masih mandiri, kejatuhan Buleleng dan Karangasem, membuat pemerintah Hindia Belanda menggabungkan kerajaan Buleleng ke kerajaan Bangli. Dewa Gde Tangkeban, Raja Bangli dilantik menjadi Raja Buleleng. Sedangkan kerajaan Karangasem digabungkan dengan kerajaan Selaparang dengan mengangkar Raja Karangsem yang baru sebagai stedehouder. 

Pada tanggal Juli 1849 dilakukan pertemuan di Kuta antara Van Swieten, Wakil Komisaris Hindia Belanda dengan Raja Klungkung (Diwakili anaknya Dewa Agung Ketut Agung), Ketiga Raja Badung, Gusti Ngurah Agung Raja Tabanan, Gusti Agung Ketut Agung Raja Mengwi dan Dewa Pahang Raja Gianyar. Dalam pertemuan itu dibicarakan soal  penghapusan hak tawan karang dan juga ekspor budak belian dari Bali. Pertemuan berakhir dengan adanya kontrak perjanjian antara Raja-raja yang hadir kecuali Raja Mengwi dengan Van Swieten. Raja Mengwi tidak menandatangani kontrak karena kerajaan Mengwi dibawah protektorat Kerajaan Klungkung.Dalam kontrak juga disebutkan  Dewa Agung sebagai sesuhunan Bali dan Lombok menyetujui raja-raja lain  menandatangani perjajian dan bertanggungjawab bahwa Raja Mengwi akan secara jujur dan setua mentaati perjanjian yang telah ditandatangani Dewa Agung klungkung. Dengan perjanjian itu, masalah politik di Bali saat itu dianggap selesai.

Pada Agustus 1850, Dewa Agung Ketut Agung menggantikan ayahnya menjadi Raja Klungkung dengan gelar Ida Dewa Agung Putera.