Skip to content
UWUG MENGWI
UWUG MENGWI
Setelah runtuhnya Gelgel (1651-1686) dan munculnya Asta Nagara, kerajaan Mengwi merupakan salah satu kerajaan besar di Bali. Wilayah kekuasaannya membentang luas sampai ke ujung barat pulau Bali, bahkan melampaui selat Bali sampai ke Blangbangan.
Tapi pada tahun 1891, kerajaan besar ini runtuh. Mengapa kerajaan Mengwi bisa runtuh? Berikut catatan sejarah yang diambil dari beberapa sumber: Pertama, buku karya Dr. Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, Bali Abad XIX, Perjuangan Rakyat dan Raja-Raja Menentang Kolonialisme Belanda, 1808-1908 yang diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press tahun 1989. Kedua, karya Henk Schulte Nordholt, The Spell of Power, Sejarah Politik Bali 1650-1940, Pustaka Larasan, 2009. Ketiga, hasil penelitian Nyoman Wijaya, Menepis Awan, Puri Kauhan Ubud di Balik Layar Sejarah Bali, tidak dipublikasikan.
Kemelut di Mengwi
Dimulai dari kemelut yang terjadi di internal kerajaan Mengwi. Pada tahun 1883 kekacauan memuncak dengan tajamnya konflik antara Raja Gusti Agung Made Agung di Puri Gede, Agung Pekel di Puri Anyar, Agung Kerug dengan Adipati Gusti Agung Made Alangkajeng (Nordholt menyebut namanya Agung Made Raka yang berdiam di Puri Mayun).
Akibat konflik tersebut, Gusti Agung Made Alangkajeng dan Sagung Oka istrinya meninggalkan Mengwi menetap di Badung dengan membawa sejumlah pusaka. Mengapa di Badung? Karena Sagung Oka, istri Gusti Agung Made Alangkajeng adalah seorang puteri dari kerajaan Badung. Hal tersebut menimbulkan ketegangan yang semakin tajam antara kerajaan Mengwi dengan kerajaan Badung.
Setelah Gusti Agung Alangkajeng pergi, jabatan Adipati (patih) Mengwi dipegang oleh Agung Kerug, anak kandungnya, yang juga berdiam di Puri Anyar. Agung Kerug dan Agung Pekel akhirnya berkoalisi untuk memegang kendali pemerintahan. Dimasa Agung Kerug dan Agung Pekel, Mengwi juga terlibat dalam pusaran krisis yang terjadi di Kerajaan Gianyar. Pada tahun 1885, pasukan Mengwi menduduki wilayah barat daya kerajaan Gianyar, untuk membantu intervensi militer Klungkung, Bangli dan Badung ke wilayah Gianyar.
Tapi hubungan Agung Kerug dengan Klungkung mulai tegang ketika kerajaan Mengwi memberi suaka politik pada tiga pejabat tinggi kerajaan Gianyar yang menentang kekuasaan Dewa Agung. Bahkan ketika ada upaya perlawanan dari Punggawa Ubud, Peliatan dan Tegalallang kepada Cokorda Oka Negara yang didukung Klungkung, pasukan Mengwi ikut mendukung perlawanan tersebut. Dan setelah Cokorda Negara kalah dalam perang, pasukan Mengwi diminta oleh Punggawa Ubud dan Peliatan untuk menduduki wilayah Negara. Saat pasukan Mengwi menduduki Negara terjadi perang Negara kedua, yang dimulai dengan serangan Dewa Ketut Sandat, loyalis Cokorda Oka Negara pada pasukan Mengwi.
Selain itu, ketegangan di internal kerajaan Mengwi dipicu oleh sikap pembangkangan Punggawa Sibang yang ingin berdiri sendiri dari kerajaan Mengwi. Bahkan pada tahun 1880, Punggawa Sibang dijatuhi hukuman oleh Raja Mengwi karena dituduh melakukan tindak pidana, melakukan inses yang melibatkan putrinya. Dalam menghadapi kasus ini, Punggawa Sibang meminta perlindungan dari Dewa Agung di Klungkung.
Selain menghadapi persoalan Punggawa Sibang, Raja Mengwi juga terlibat konflik dengan Kaba-kaba, salah satu manca agung kerajaan Mengwi. Agung Kerug mengirim pasukan untuk menyerang Kaba-kaba. Serangan ini membuat keluarga Puri Kaba-kaba mengungsi dan meminta perlindungan ke kerajaan Tabanan.
Keterlibatan Klungkung dalam Kemelut
Yang menarik dari analisis buku Mr. Ide Anak Agung Gde Agung adalah adanya keterlibatan Kerajaan Klungkung dalam kemelut di Mengwi. Dalam buku itu disebutkan Dewa Agung Klungkung justru membujuk Punggawa Sibang untuk membangkang kepada Raja Mengwi. Mengapa Raja Klungkung bertindak seperti itu? Penjelasannya karena Raja Mengwi membantu Punggawa Ubud Cokorda Gede Sukawati dan Punggawa lain yang setia pada Raja Gianyar Dewa Manggis, untuk menduduki wilayah Negara pada tahun 1886, sesudah pemberontakan Cokorda Oka Negara terhadap Dewa Manggis VII.
Selain itu, setelah Gusti Ngurah Made Agung dinobatkan menjadi Raja Mengwi timbul kecenderungan Kerajaan Mengwi untuk bertindak lebih bebas/ mandiri dari pengaruh kekuasaan Dewa Agung Klungkung. Kerajaan Mengwi menghendaki agar bebas mengurus masalahnya sendiri dan tidak lagi dibawah kekuasaan/ perlindungan kerajaan Klungkung. Sebagai catatan: Mengwi sejak lama dibawah perlindungan kerajaan Klungkung. Ini dapat dibuktikan pada saat penandatanganan kontrak dengan Pemerintah Hindia Belanda, pada tanggal 13 Juli tahun 1849, kerajaan Klungkung bertindak atas nama Mengwi.
Dalam menyikapi kemelut di Mengwi, Dewa Agung Klungkung minta bantuan Raja Karangasem Gusti Gde Jelantik untuk datang ke Mengwi mengusahakan perdamaian dan ketentraman.
Setelah Raja Karangasem mengunjungi Mengwi. Pada pertemuan dengan Raja Karangasem, Raja Mengwi Gusti Agung Made Agung bersedia datang ke Klungkung untuk minta maaf, dengan syarat Raja Karangasem harus turut serta menghadap Raja Klungkung. Hasil pertemuan itu dilaporkan Raja Karangasem kepada Dewa Agung Klungkung.
Tapi akhirnya raja Mengwi tidak datang ke Klungkung karena Punggawa Sibang tidak bersedia ikut dalam rombongan Raja Mengwi ke Klungkung. Ketidaksertaan Punggawa Sibang menimbulkan kekhawatiran Raja Mengwi, jika Punggawa Sibang mengadakan pemberontakan saat Raja Mengwi tidak berada di kerajaan.
Ketegangan dengan Badung
Ditengah kemelut internal, ketegangan hubungan antara kerajaan Mengwi dengan kerajaan Badung dan Tabanan masih berlanjut. Bahkan semakin menguat setelah tahun 1885 ketika Adipati Gusti Alangkajeng (Agung Made Raka) akhirnya wafat di Badung. Agung Kerug meminta agar layon ayahnya dibawa ke Mengwi dan dua keris pusaka yang sebelumnya dibawa ayahnya, dikembalikan. Tapi permintaan Agung Kerug tidak ditanggapi oleh Raja Badung.
Agung Kerug lalu membalas aksi Raja Badung dengan menutup persediaan air irigasi di Sempidi. Aksi itu menimbulkan masalah air di persawahan di wilayah kerajaan Badung
Pada tahun 1891, tiba-tiba laskar kerajaan Badung melakukan serangan ke daerah Sibang. Dan setelah Sibang diduduki, pasukan kerajaan Badung meneruskan serangan ke Mengwi dan berhasil menguasai Mengwi bagian selatan: Sempidi, Sading, Pererenan, Abianbase dan Kapal.
Sedangkan pasukan kerajaan Tabanan juga melakukan serangan ke Blayu. Drai Bayu lalu bergerak ke wilayah Kaba-kaba. Sebelum menguasai Kaba-kaba, keluarga Puri Kaba-kaba telah mendapatkan perlindungan dari kerajaan Tabanan setelah diserang Mengwi. Dan satu peristiwa yang menarik adalah Kerajaan Bangli ikut mengambil keuntungan dari kemelut ini dengan menyerang dan menduduki dua wilayah Mengwi: Carangsari dan Petang.
Menghadapi serangan Badung dan Tabanan, Raja Mengwi mengadakan perlawanan perlawanan terakhir dan melakukan puputan, pada tanggal 20 Juni 1891.
Beberapa keluarga dekat Raja Mengwi, dua putera Anak Agung Gde Agung dan Gusti Ketut agung disertai pendeta kerajaan, Padmi raja Mengwi, Agung Kaler dari Puri Grana menjadi tawanan kerajaan Badung. Sebagian lagi menyelamatkan diri mencari perlindungan di Punggawa Ubud, Cokorda Gede Sukawati.
Perlindungan Raja Karangasem
Para Adipati, Gusti Putu Mayun dan Gusti Made Ngurah dapat menyelamatkan dirinya dan melarikan diri ke desa Seseh. Dari Seseh naik perahu menuju Padang Cove untuk meneruskan perjalanan ke Karangasem menemui Gusti Gde Jelantik.
Ketika menghadap Raja Karangasem pada April 1892, Adipati Mengwi diperlihatkan oleh Raja Karangasem surat dari Raja Badung yang menjawab pertanyaan Raja Karangasem: mengapa Badung menyerang daerah Sibang. Dalam suratnya, Raja Badung menjawab Badung melakukan karena diperintah Dewa Agung Klungkung.
Setelah keruntuhan kerajaan Mengwi maka bagian selatan dikuasai Badung dan bagian barat dikuasai Tabanan. Daerah Sibang diperintah langsung oleh Dewa Agung dari Klungkung. Sedangkan Bongkasa, Carangsari, dan Angantaka dikuasai oleh Punggawa Ubud, Cokorda Gede Sukawati.
Keruntuhan Mengwi menimbulkan ketegangan di perbatasan antara kerajaan Karangasem dengan kerajaan Klungkung. Timbul pertempuran kecil di wilayah perbatasan sehingga dua kerajaan tersebut dalam keadaan perang.
Eskalasi konflik di wilayah perbatasan Karangasem-Klungkung mengundang keterlibatan kerajaan Lombok/ Selaparang untuk membantu kerajaan Karangasem dalam peperangan melawan Klungkung. Tapi keterlibatan kerajaan Selaparang dicegah oleh Residen Bali Lombok di Singaraja untuk menghindari perang yang lebih besar.
Sebagai imbas konflik Karangasem versus Klungkung, raja Karangasem I Gusti Gde Jelantik memberi ijin Punggawa-punggawa Kerajaan Gianyar; Punggawa Abianbase, Punggawa Blahbatuh dan Punggawa Sukawati untuk pulang kembali ke Gianyar. Sebelumnya tiga punggawa ini menempatkan diri mereka dibawah perlindungan Raja Karangasem. Sebagai catatan: para punggawa ini melarikan diri ke Karangasem setelah pada tahun 1883 ketika Raja Dewa Manggis VII menyatakan kerajaan Gianyar berada dibawah perlindungan kerajaan Klungkung dan selanjunya diasingkan di Desa Satria-Klungkung. Berdasarkan catatan buku Ide Anak Agung Gde Agung, pada tanggal 19 Januari 1893, Dewa Pahang bersama saudaranya Dewa Gde Raka meninggalkan desa Satria menuju Gianyar
Perlindungan Punggawa Ubud
Selain memperoleh perlindungan dari Puri Karangasem, keluarga Raja Mengwi disertai pendeta kerajaan mendapatkan perlindungan dari Punggawa Ubud, Cokorda Gede Sukawati. Bahkan dua putra Raja Mengwi, Anak Agung Gde Agung (disebut dengan nama I Gedu) dan Gusti Ketut Agung dengan bantuan I Ngandeng melarikan diri dari Badung menuju Ubud. (Sumber lain menyebut nama Gusti Agung Made Ngurah dan Gusti Nyoman Kaler).
Dalam catatan sejarah disebutkan pada tanggal 3 Mei 1893, Raja Tabanan memberitahu Liefrinck (Kontrolir Hindia Belanda) bahwa setelah kerajaan Mengwi jatuh, beberapa keluarga Raja Mengwi melarikan ke Gianyar dan bermukim dan mendapatkan perlindungan dari Punggawa Ubud. Disebutkan juga dalam pembicaraan dengan Liefrinck bahwa pelarian Mengwi telah berhasil menguasai tiga desa bekas kerajaan Mengwi: Carangsari, Angantaka dan Bongkasa. Raja Tabanan menyampaikan bahwa pelarian Mengwi di Ubud menjadi ancaman.
Setelah itu, saat Liefrinck bertemu dengan Raja Gianyar Dewa Manggis Pahang pada 8 Mei 1893, hadir pula Gusti Gde Agung, anak Raja Mengwi yang meninggal dalam pertempuran dengan Badung. Dalam pertemuan dengan Liefrinck itu, Gusti Gde Agung ikut memberikan pendapatnya.
Kembali ke Mengwi
Setelah sekian lama bermukim di Ubud, para pelarian Mengwi mulai menjalankan aksi untuk mendapatkan kembali negara Mengwi. Pada tahun 1895, pasukan Gusti Gde Agung (alias I Gedu) melakukan serangan ke wilayah yang diduduki Badung. Terjadi pertempuran sengit di Penarungan. Tapi pasukan Gusti Gde Agung dapat dikalahkan oleh panglima Badung, Gusti Alit Raka Debot.
Akibat kekalahan ini, Gusti Gde Agung kembali ke Ubud. Sedangkan, Puri Kaleran Kapal dan Muncan diratakan dengan tanah. Selanjutnya, pemimpin pasukan perang Badung, Gusti Alit Raka Debot ditempatkan sebagai penguasa baru Desa Kapal dan tinggal di banjar Muncan. Di pusat Desa Kapal, didirikan Jro Titih, kediaman bangsawan Badung lainnya. Kerajaan Badung juga menempatkan warganya di beberapa tempat di bekas wilayah kerajaan Mengwi seperti Munggu, Gerih dan sebagainya.
Pada Juni 1898, kerajaan Badung tiba-tiba menyerang wilayah kekuasaan Punggawa Ubud. Punggawa Ubud, Cokorda Gede Sukawati berhasil memukul mundur serangan Badung di Abiansemal. Dan dalam serangan kedua, pasukan Badung yang berjumlah 1000 orang dapat juga dipukul mundur di Penarungan.
Pada tahun 1898, Gusti Gde Agung meninggalkan Ubud, menuju Carangsari. Dengan bantuan Manca Carangsari, Gusti Gde Agung meneruskan perjalanan ke Abiansemal dan menetap disana. Gusti Gde Agung disebut dengan nama Cokorda Abiansemal.
Kehadiran Cokorda Abiansemal tidak memunculkan respon aksi militer dari kerajaan Badung pada Abiansemal. Cokorda Abiansemal dibiarkan kembali ke wilayah bekas kerajaan Mengwi, asal tidak memperluas pengaruh atau daerah kekuasaannya. Inilah titik awal kembalinya dinasti Mengwi kembali ke bekas wilayah negaranya.
****
Page load link