Ide Anak Agung Raka Togog

 

 

Setahun setelah jatuhnya Klungkung, 1909, situasi dan kondisi di Puri Kauhan Ubud sudah berubah. Seperti pernah diceritakan pada bagian lain, salah seorang warga Puri Kauhan, Anak Agung Gde Raka Togog tahun 1909 menjadi mantri polisi di Carangsari. Pada tahun 1910 dia diangkat sebagai punggawa di Desa Kapal. Tahun 1913 dia dinyatakan bersalah atas kasus tanah lalu dibuang ke Sulawesi. Pada saat berangkat ke Desa Kapal, salah seorang pamannya, Anak Agung Gde Putu Geruh ikut menyertainya.

 

                  Supaya lebih jelas, siapakah Anak Agung Gde Putu Geruh itu, harus dibuka kembali silsilah keluarga ini, terutama garis laki-lakinya karena dibagian lain mereka hanya dibicarakan secara terpisah dan sebagian-sebagian. Seperti sudah diceritakan pada bagian lain, cikal bakal keluarga ini di Mengwi dimulai dari Tjokorde Gde  Oka Gelgel yang disebut generasi pertama. Dia memiliki  dua orang anak laki-laki, yakni Tjokorde Gde Rai dan Tjokorde Gede Oka yang merupakan generasi kedua.

 

Tjokorde Gde Rai menurunkan tiga anak laki-laki, yakni Tjokorde Oka Dogdeg, Tjokorde Ketut Rai, dan Anak Agung Ketut Gelgel. Anak Agung Ketut Gelgel menurunkan dua orang putra, yakni Anak Agung Rai Tjetig dan Anak Agung Ketut Arga. Keduanya menyertai Tjokorde Poetoe Nonderan ke Batubulan. Mereka lalu mendirikan Puri di banjar Panggambangan Batubulan. Selanjutnya, seperti sudah dibicarakan pada bagian lain, setelah seluruh Bali dapat dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda, keturunan Anak Agung Ketut Gelgel juga mendirikan Puri di Mengwi, di sebelah barat Pura Taman Ayun.

 

Sedangkan Tjokorde Gde Oka memiliki seorang anak laki-laki bernama Anak Agung Gde Putu Geruh. Mereka adalah generasi ketiga. Tjokorde Oka Dogdeg memliki anak laki-laki bernama Anak Agung Raka Togog. Sedangkan Tjokorde Ketut Rai memilki seorang anak bernama Oka Krebek, yang merupakan generasi keempat. Jadi, Anak Agung Raka Togog yang diangkat menjadi punggawa di Desa Kapal itu adalah generasi keempat, sedangkan Anak Agung Gde Putu Geruh yang menyertainya adalah generasi ketiga. Puri ini direstorasi oleh Binnenlandch Bestuur (BB) sesuai dengan wilayah lamanya menjadi distrik Kapal. Namun sebagai pemimpinnya, BB lebih mempercayakan Raka Togog ketimbang para penguasa Badung yang telah mempertahankan di dan sekitar Kapal yang mereka rebut dari tahun 1891 sampai 1893. Sementara pemiliknya yang asli telah melarikan diri ke berbagai wilayah.[1]

 

Agung Gede Raka Togog. Dia sudah ada di wilayah pengungsian Ubud ketika dipercaya menjabat sebagai punggawa di salah satu distrik di Mengwi, Kapal. Namun sebelum itu, pada tahun 1909 dia pernah menjadi mantri polisi di Carangsari. Setelah itu dia pulang ke Ubud, selanjutnya tahun 1910 menjadi Punggawa di Kapal. Di tempat ini dia mendirikan sebuah rumah yang disebut Puri Arnawa, seperti terungkap dalam babad Puri Kauhan sebagai berikut,

 

Ide Anak Agung Gde Raka Togog, mase pemadegan Sri Gupermen kesah saking Puri Ubud, keangkat dados Mentri Polisi ring Carangsari, duk cara Belanda tahun siu sangangatus sie. Kesah saking Carangsari ide keangkat dados Punggawa Kapal tahun siu sangangatus dasa. Irika ring Kapal ide makarya puri sane kapesengan Puri Arnawa.

 

Setelah Kerajaan Badung dapat dirontokkan oleh pasukan Belanda, sejumlah penguasa lokal itu kembali ke Mengwi. Mereka menempati kembali tanah-tanah miliknya, namun sawah-sawahnya telah diambil alih oleh para penguasa Badung. Asisten penguasa melarang mereka untuk mengambil tanahnya, karena khawatir redistribusi itu akan menimbulkan gangguan yang serius terhadap kedamaian Kapal. Masalah ini terus berembus selama tiga tahun hingga Januari 1910 sebelum musim tanam. Ratusan penduduk asli yang tidak bertanah itu pun akhirnya mendirikan sawah-sawah milik sendiri yang dulu mereka tinggalkan. Para pejabat BB terkejut melihat kejadian itu. Dia melaporkan kejadian itu sebagai ‘gangguan yang agak serius’ kepada atasannya masing-masing.

 

Salah satu program kerjanya sebagai punggawa adalah menjanjikan akan mengembalikan tanah-tanah rakyat Mengwi yang dijarah oleh tentara Badung dan Tabanan. Dia lalu mendata tanah-tanah itu, tapi penguasa Badung melarangnya. Pemerintah kolonial Belanda juga tak setuju, karena jika diteruskan akan terjadi kekacauan di Bali. Semua tanah jarahan perang bisa dikembalikan lagi kepada pemiliknya. Tapi program itu sudah terlanjur berjalan, ada beberapa tanah milik rakyat yang sudah bisa dikembalikan kepada pemiliknya, namun di tengah jalan ada pihak-pihak yang melakukan korupsi. Kesalahan itu ditimpakan kepada Anak Agung Gde Raka Togog selaku punggawa. Tahun 1913 ada yang memfitnah dirinya akan memberontak kepada pemerintah Hindia Belanda. Dia lalu ditangkap, kemudian dibuang ke Prigi, Sulawesi selama tiga belas tahun. Tahun 1923 setelah masa pembuangannya berakhir, dia pulang ke Bali dan sempat pergi ke Lombok. Setelah itu kembali ke Ubud, lalu meninggal, seperti terungkap dalam babad Puri Kauhan Ubud di bawah ini,

 

“Tahun siu sangangatus telulas, wit sakaning kapisunang membrontak marep ring gupermen ide kaselong ke Prigi ring Selebes dasa tahun. Budal saking Selebes duk tahun siu sangangatus telulikur ide polih lunga ke Lombok, nyurianin linggih ide putran Ide Dewa Agung Gde sane melinggih ring Semarabawa. Kesah saking Lombok, ide newata ring Puri Kauhan Ubud.”

 

 

Latar belakang kejadian akhirnya menjadi agak jelas. Ternyata secara rahasia Punggawa Raka Togog berjanji kepada penduduk bahwa sawah-sawah mereka akan dikembalikan. Janji tersebut bahkan disertai dengan sumpah di Pura Sada, Kapal. Lebih dari itu, Punggawa Raka Togog bahkan sudah mengatur, melalui konpensasi, ia akan menerima tidak lebih dari 15 ribu rix-dollar secara keseluruhan dan 60 rix dollar di muka. Melalui punggawa Raka Togog, Puri Kapal Kaleran telah membuat komitmen, namun terbukti tidak dapat dilaksanakan. Tak ada apapun yang terjadi, sehingga para penduduk yang tidak punya tanah memilih untuk mengambil tindakan sendiri. Tindakan mereka gagal karena BB tetap mempertahankan keadaan seperti yang dihadapi tahun 1906 dan tidak bersedia mengembalikan tanah mereka. Oleh karena itu sebagian besar penduduk Kapal tetap tidak mempunyai tanah. Peristiwa inilah yang merupakan akhir dari karir Raka Togog sebagai punggawa. Dia dituduh telah melakukan pemberontakan, lalu diasingkan selama sepuluh tahun di luar Bali.

 

Fakta tersebut di atas selaras dengan informasi yang disampaikan oleh Henry van Kol mengenai Oka Krebek di Puri Ubud, saat dia berdialog dengan Punggawa Gde Soekawati pada tahun 1911 sebagai berikut,

 

“een trouwe dienaar  van  van Oeboet,

de Djaksa, mengde zich meermalen in het gesprek.

Een bloedverwant van desen,

eenmaal poenggawa van Kapal (Badoeng), was (in 1909) voor 10 jaren naar Banda “verbanden “ (?) de zorg voot het een sawah-kwestie;  de Djaksa had daardoor de zorg voor het onderhoud van diens vrouw en drie kinderen

(Pengabdi  setia Tjokorde Ubud yaitu Djaksa,

sering ikut campur dalam pembicaraan. Salah seorang anggota keluarga Jaksa ini pernah menjabat sebagai punggawa di Kapal, yang termasuk ke dalam wilayah Badung pada tahun 1909. Namun karena ada perkara tanah, dia diasingkan ke Banda selama sepuluh tahun. Oleh karenanya Jaksa itu menanggung biaya hidup

 istri dan tiga orang anaknya)[2]

 

Atas dasar fakta ini Kol menyempatkan diri bertanya kepada Tjokorde Gde Soekawati sebagai berikut,

 

Kon deze veroor-deelde nit wat dichter bij,

 b.v. naar Lombok, woorden gezonden,

 dan zou hij zijn bij zich nemen? (Apakah terhukum ini tidak dapat dibawa ke tempat yang lebih dekat.

 

Namun seperti sudah diceritakan pada bagian lain, sejarah lisan yang berkembang di Puri Kauhan Ubud punya cerita yang sedikit berbeda mengenai sebab-sebab Raka Togog diasingkan. Sejarah keluarga Raka Togog kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Dia memiliki seorang anak perempuan, Anak Agung Ayu Raka Kopi dan dua orang anak laki-laki, Anak Agung Gde Rai Taker dan Anak Agung Gde Oka Pringga alias Anak Agung Gde Oka Maong alias Anak Agung Gde Soeryo Mataram. Anak Agung Putu Geruh memiliki seorang anak laki-laki bernama Anak Agung Gde Ngurah Santaka. Anak Agung Gde Geruh juga menjadikan Anak Agung Gde Rai Taker putra dari Anak Agung Raka Togog sebagai anak angkatnya.

 

[1] Bagian ini merupakan petikan dari Henk Schulte Nordholt, op. cit., pp. 288-289.

[2] H. van Kol, Driemaal Dwars door Soematra en Swerftocten door Bali (Rotterdam: W.L.&J. Brusse’s Uiygevar Maatschappij, 1914), p. 348